Djohermansyah Djohan: Korupsi Kepala Daerah Bukan Kecelakaan, tapi Produk Sistem

Senin, 22/12/2025 15:40 WIB
Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang, salah satu dari sepuluh orang yang diamankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Bekasi, Jawa Barat, Kamis (18/12/2025).

Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang, salah satu dari sepuluh orang yang diamankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Bekasi, Jawa Barat, Kamis (18/12/2025).

Jakarta, sumbarsatu.com — Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang bersama ayahnya, H.M. Kunang—seorang kepala desa—kembali membuka borok lama tata kelola pemerintahan daerah.

Kasus dugaan suap pengadaan proyek ini mempertegas bahwa korupsi di daerah bukan kecelakaan administratif, melainkan produk sistem politik dan birokrasi yang dibiarkan cacat secara struktural.

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Djohermansyah Djohan, menilai kasus Bekasi bukan anomali, melainkan pengulangan pola yang terus direproduksi sejak pilkada langsung diberlakukan.

“Jika kita hanya sibuk membenahi prosedur pengadaan barang dan jasa, kita sedang menipu diri sendiri. Masalahnya jauh lebih dalam,” tegas Djohermansyah dalam wawancara, Senin (22/12/2025).

Ilusi Sistem Elektronik dan Manusia di Balik Layar

Selama ini, sistem pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik kerap dipersepsikan sebagai jaminan transparansi. Namun, menurut Djohermansyah, kepercayaan berlebihan pada teknologi justru menutup mata terhadap aktor utama di balik layar.

Ia menyebut fenomena “the man behind the screen”—manusia yang mampu merekayasa proses digital tanpa meninggalkan jejak administratif.

“Secara dokumen semuanya tampak benar. Tapi proyek bisa diatur bahkan sejak sebelum dilelang. Pemenang sudah ditentukan. Ini bukan soal sistem, ini soal penyalahgunaan kekuasaan,” ujarnya.

Praktik “ijon proyek”, di mana kesepakatan dibuat sebelum proses lelang dimulai, disebut sebagai bentuk paling telanjang dari korupsi struktural di daerah.

Akar persoalan, kata Djohermansyah, terletak pada biaya politik pilkada langsung yang tidak rasional. Sejak 2005, lebih dari 400 kepala daerah terseret kasus korupsi—angka yang menurutnya mencerminkan kegagalan sistemik, bukan kebetulan.

“Kepala daerah yang mengeluarkan biaya besar akan terdorong mengembalikan modal. Kekuasaan lalu berubah menjadi alat transaksi,” katanya.

Dalam kondisi ini, proyek pembangunan, perizinan, hingga jabatan birokrasi menjelma komoditas politik. Negara kehilangan fungsi pelayanan publik dan bergeser menjadi arena tawar-menawar kepentingan.

Kerusakan sistem makin parah dengan maraknya jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah. Kewenangan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian kerap disalahgunakan untuk membalas jasa politik.

“Ketika jabatan menjadi alat balas jasa, birokrasi kehilangan profesionalismenya. Aparatur tidak lagi bekerja untuk publik, tetapi untuk kekuasaan,” ujar Djohermansyah.

Akibatnya, birokrasi yang seharusnya netral justru menjadi perpanjangan tangan kepentingan politik dan ikut mengamankan proyek-proyek bermasalah.

Pengawasan Lumpuh Sejak Awal

Masalah krusial lainnya adalah lemahnya pengawasan internal. Inspektorat daerah, yang idealnya menjadi penjaga integritas, justru berada di bawah kendali kepala daerah.

“Bagaimana mungkin inspektorat berani mengawasi jika kariernya ditentukan oleh orang yang diawasi?” katanya.

Tanpa pengawasan independen, kekuasaan di daerah berjalan nyaris tanpa rem.

Di sisi lain, penegakan hukum terhadap koruptor dinilai belum menimbulkan efek jera. Hukuman ringan, remisi yang longgar, hingga fasilitas lembaga pemasyarakatan yang relatif nyaman melemahkan pesan keadilan.

“Pejabat publik yang mengkhianati mandat rakyat seharusnya dihukum lebih berat, bukan lebih ringan dari warga biasa,” tegasnya.

Korupsi sebagai Produk Sistem

Bagi Djohermansyah, korupsi kepala daerah harus dipahami sebagai produk sistem, bukan sekadar penyimpangan individu. Selama pilkada mahal, partai politik transaksional, pengawasan lemah, dan birokrasi tidak netral terus dipertahankan, OTT hanya akan menjadi rutinitas.

“Kita hanya mengganti pelaku, bukan memperbaiki panggungnya,” katanya.

Ia menekankan perlunya reformasi menyeluruh: penataan ulang sistem pilkada, penguatan pengawasan independen, pembenahan kepartaian, serta penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan.

Tanpa perubahan struktural, korupsi akan terus menjadi wajah laten pemerintahan daerah—dan publik kembali dipaksa menganggap skandal sebagai hal biasa. ssc/rel



BACA JUGA