foto mediapagi
OLEH Zulkarnaini Diran (Pendidik)
SETIAP kejadian ada hikmahnya. Allah tidak menjadikan sesuatu secara kebetulan. Setiap kejadian pasti mengandung hikmah. Ada maksud Allah yang terbaik untuk hamba-Nya dalam setiap hal yang diciptakan-Nya. Di dalam musibah terdapat banyak hikmah yang dapat dipetik. Di antaranya memperkuat iman, memupuk kesabaran, mendekatkan diri kepada Allah, menyiapkan diri untuk senantiasa bersyukur, dan memberi peluang untuk berbagi.
Setiap orang beriman akan diuji oleh Allah. Jika lulus dalam ujian itu, pertanda imannya kuat. Bahkan ujian itu sendiri menjadi proses untuk memperkuat iman. Sebagaimana diungkapkan Allah di dalam Al-Qur’an:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
(QS. Al-‘Ankabut [29]: 2–3)
Musibah atau bencana yang ditimpakan Allah Swt kepada hamba-Nya merupakan instrumen atau alat untuk menguji iman. Jika lolos dalam ujian itu, pertanda imannya kuat, dan seiring ujian yang terus-menerus datang, iman itu akan semakin kuat.
Musibah juga merupakan ladang untuk memupuk kesabaran. Cara paling efektif untuk melatih dan menumbuhkan kesabaran adalah dengan berhadapan langsung dengan kenyataan seperti musibah dan segala kesulitannya.
Ketika musibah datang menimpa, kita menerimanya dengan tabah, ikhlas, dan meyakini bahwa hal tersebut didatangkan Allah SWT karena ada maksud terbaik di dalamnya. Jika musibah disikapi dengan cara seperti itu, pertanda kita sedang memupuk kesabaran dengan sungguh-sungguh. Kesabaran (ṣabr) adalah sifat mulia yang sangat ditekankan dalam Islam, dan hanya dapat diasah melalui ujian-ujian yang berat.
Seorang hamba yang bersabar dalam menghadapi musibah tidak hanya menahan penderitaan, tetapi juga mengumpulkan pahala yang besar. Kesabaran termasuk ibadah hati yang agung dengan pahala yang dijanjikan Allah Swt. Allah berfirman:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
(QS. Az-Zumar [39]: 10)
Ayat ini menunjukkan bahwa pahala bagi orang yang sabar menghadapi ujian adalah tanpa batas, sebuah imbalan luar biasa atas ketabahan mereka.
Musibah juga menjadi momen taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah). Ketika diterpa musibah, seorang hamba merasakan kedekatan yang istimewa dengan Allah Swt. Salat, zikir, dan munajat yang dilakukan di tengah cobaan sering kali lebih khusyuk dan tulus dibandingkan saat dalam keadaan lapang. Kesempatan ini menjadi momen berharga untuk meningkatkan kualitas hubungan dengan Yang Maha Agung. Allah berfirman dalam Hadis Qudsi:
“Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, pasti Aku akan melindunginya.”
(HR. Bukhari)
Musibah juga dapat menumbuhkan kesadaran. Sesungguhnya keadaan terbaik bukanlah ketiadaan masalah, tetapi kemampuan untuk melihat kebaikan di tengah masalah dan bersyukur atas semua yang masih dimiliki. Rasa syukur ini membawa ketenangan batin dan menjauhkan diri dari sifat serakah serta kufur nikmat. Allah Swt berfirman:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.”
(QS. Ibrahim [14]: 7)
Musibah, sebagai lawan dari nikmat, mengingatkan hamba akan ancaman azab (jika kufur) dan janji penambahan (jika bersyukur), sehingga menuntunnya kembali kepada kesadaran untuk senantiasa bersyukur dalam kondisi apa pun.
Musibah, baik yang menimpa diri sendiri maupun orang lain (seperti bencana alam atau kesulitan ekonomi), memberikan peluang emas untuk berbagi dan berbuat kebaikan (iḥsān). Saat seseorang tertimpa musibah, ia menerima bantuan yang menumbuhkan rasa syukur dan persaudaraan. Sebaliknya, ketika melihat orang lain ditimpa musibah, ia terdorong untuk membantu.
Tindakan berbagi harta, waktu, tenaga, atau bahkan sekadar memberikan ucapan yang menenangkan adalah wujud nyata dari iman dan kasih sayang sosial. Islam sangat memuji perbuatan menolong sesama, terutama ketika mereka berada dalam kesulitan. Inilah cara musibah mengaktifkan fungsi sosial umat. Allah Swt mendorong hamba-Nya untuk berinfak dan berbuat baik, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Sebagaimana firman-Nya:
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (iḥsān).”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 134)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa berinfak dilakukan bahkan di waktu sempit (dalam keadaan kesulitan atau musibah), menunjukkan bahwa musibah tidak menghalangi seseorang berbuat kebaikan, melainkan justru dapat menjadi momen beramal bagi yang mampu.*