foto tvrisumbar
OLEH Suswinda Ningsih, M.Ikom (Dosen Ilmu Komunikasi, Pemerhati Media dan Budaya Digital)
KEKAYUAN, bebatuan, pasir dan lumpur akibat banjir bandang di Sumatera belum sepenuhnya mengendap. Ratusan nyawa melayang di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Ratusan ribu mengungsi. Ironisnya, di tengah duka yang menganga, kita disuguhi tontonan klasik: krisis komunikasi pemerintah yang tak kalah pekat dari lumpur bencana itu sendiri. Jurus yang ditampilkan cenderung "setengah hati", sebuah naga birokrasi yang gagap bersuara di tengah riuh rendahnya media massa.
Masalah fundamentalnya dimulai dari "status". Media massa dengan tajam menangkap anomali ini. Di satu sisi, data BNPB menunjukkan skala kehancuran yang massif ratusan korban jiwa adalah angka yang tak bisa diremehkan. Para gubernur di tiga provinsi pun sigap menetapkan tanggap darurat daerah. Tapi, pemerintah pusat memilih untuk "menggantung" status bencana nasional.
Dalam bahasa komunikasi politik, ini adalah sebuah blunder semantik. Pesan yang sampai ke publik menjadi bengkok, "Bencana ini besar, tapi tidak cukup besar untuk membuat negara mengibarkan bendera darurat nasional."
Saya sebagai akademisi komunikasi menyebut ini sebagai inkonsistensi pesan yang merusak kredibilitas sumber informasi (pemerintah). Media, dalam fungsi watchdog-nya, segera menyoroti kerancuan ini.
Ruang kosong informasi ini segera diisi oleh spekulasi: Apakah ini soal anggaran? Soal citra politik agar terlihat "mampu" menangani sendiri? Apa pun alasannya, kegagapan dalam menentukan status ini menunjukkan jurus setengah hati dalam penanganan krisis, yang membuat koordinasi di lapangan terhambat, dan publik pun bertanya-tanya, di mana prioritas negara?
Kesenjangan Narasi "Respons Cepat"
Pemerintah mengklaim respons cepat. Pesawat Hercules dikerahkan, ton-an bantuan disiapkan. Narasi resminya adalah pemerintah hadir. Namun, realitas lapangan yang ditayangkan media massa bercerita lain.
Jurnalisme investigasi Tempo dan media lain menemukan desa-desa terisolasi yang belum tersentuh bantuan seminggu pasca-bencana. Ada jurang menganga antara klaim input (komunikasi) (bantuan dikirim) dan realitas outcome (komunikasi) (bantuan diterima).
Di sinilah komunikasi krisis pemerintah jatuh pada lubang yang sama: terlalu fokus pada manajemen citra ketimbang manajemen substansi. Mereka asyik membangun framing "bekerja", tapi abai bahwa framing tersebut runtuh ketika berhadapan dengan tangisan warga di posko pengungsian yang minim logistik.
Jurus setengah hati terlihat jelas dari cara mereka memilih jalur apologia (pembelaan diri), yang justru memicu kritik lebih tajam dari media dan masyarakat sipil.
Satu-satunya titik terang dalam komunikasi pemerintah adalah janji untuk menginvestigasi faktor kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan eksploitasi lahan di hulu sungai. Ini adalah langkah komunikasi risiko yang penting untuk jangka panjang.
Pemerintah mulai beranjak dari sekadar penanganan darurat menuju mitigasi berbasis akar masalah. Namun, janji ini harus dikawal ketat oleh media. Jangan sampai komunikasi lingkungan ini hanya menjadi lip service atau pengalih perhatian dari kelambanan respons darurat.
Komunikasi Risiko Bencana
Pemerintah perlu menerapkan prinsip komunikasi risiko bencana secara sistematis, tidak hanya setelah bencana terjadi, tetapi sebagai budaya kerja:
- Dialogis dan Partisipatif:Komunikasi risiko bukan sekadar sosialisasi satu arah. Pemerintah wajib melibatkan masyarakat lokal, akademisi, dan NGO dalam mengidentifikasi risiko kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai). Warga di daerah rawan longsor harus menjadi subjek informasi, bukan objek yang hanya diberitahu saat sirene berbunyi.
- Transparan Mengenai Ancaman:Berani mengakui secara terbuka peta kerentanan wilayah dan potensi ancaman, termasuk dampak dari izin usaha yang merusak lingkungan. Kejujuran ini membangun kepercayaan.
- Edukasi Mitigasi Berkelanjutan:Pesan mitigasi harus diulang terus-menerus, tidak hanya saat musim hujan tiba. Edukasi mengenai tata cara evakuasi, pentingnya menjaga hulu sungai, dan bahaya deforestasi harus menjadi kurikulum komunikasi publik yang permanen.
Pemerintah harus belajar, komunikasi bencana bukan soal retorika di meja rapat Jakarta. Ia adalah soal empati, kecepatan, dan akuntabilitas nyata di tengah lumpur Sumatera.
Jika jurus setengah hati ini terus dipertahankan, krisis kepercayaan publik akan menjadi bencana permanen yang lebih sulit diatasi daripada banjir bandang itu sendiri.*