Laporan Nasrul Azwar
FESTIVAL MenTari #5 yang digelar selama dua hari Jumat-Sabtu, 14-15 November 2025 di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam ISI Padang Panjang menampilkan 10 koreogfer muda yang berasal dari Sumatera Barat telah usai. Secara umum, pelaksanaan sukses dan lancar. Festival yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2021 ini mengangkat tema “Turun dari Langit”.
Festival yang digagas Serikat Koreografer Cahaya Indonesia (SEKOCI) mempertemukan 10 koreografer muda, terdiri dari lima alumni MenTari dan lima koreografer diaspora Minangkabau dari Yogyakarta, Bandung, Jambi, dan Jakarta.
Sejak pertama digelar pada 2021, program ini telah menjadi ruang belajar bagi 32 koreografer muda dengan dukungan 8 mentor lintas disiplin. Selain penampilan karya tari, Festival MenTari juga dirangkai dengan workshop dan diskusi karya.
Penyelenggaraan festival melibatkan kolaborasi dengan Yayasan Seni Tari Indonesia (YSTI) serta dukungan Bakti Budaya Djarum Foundation, Indonesia Kaya, dan tahun ini menggandeng Manajemen Talenta Nasional (MTN) Seni Budaya Lab: On-Site Musik Tari.
Sepuluh koreografer yang tampil di Festival MenTari #5, menghamparkan lanskap tematik yang beragam—dari kritik sosial, spiritualitas, ekologi, hingga identitas digital. Para koreografer muda menunjukkan keberanian membaca zaman melalui tubuh dan komposisi yang menjadi bentuk arsitektur koreografi. Namun, keberanian itu juga mengungkap sejumlah tantangan konseptual, dramaturgis, dan teknis yang dapat menjadi catatan penting bagi perkembangan koreografi mereka selanjutnya.
Menurut Sahrul N, dosen ISI Padang Panjang, kesepuluh koreografer yang tampil dalam Festival MenTari #5 menunjukkan keberanian mengusung tema besar, namun masih membutuhkan pendalaman baik secara teknis maupun konseptual.
“Gagasan dan isu yang diangkat para koreografer memang beragam dan menarik, tetapi implementasinya dalam wujud penciptaan masih tampak lemah dan belum sepenuhnya berdasar. Komposisi gerak dan tubuh yang disajikan, dalam pembacaan saya, banyak yang belum memiliki argumen artistik yang kuat. Alhasil, gerak yang muncul terasa longgar, terputus dari fondasi gagasan, dan kehilangan daya makna. Ini bagian yang, menurut saya, perlu dipertajam kembali,” ujar Sahrul.
Ia menambahkan, aspek ruang juga menjadi persoalan penting yang banyak terabaikan. Para koreografer, katanya, kerap tidak mempertimbangkan skala panggung yang sangat luas.
“Di Gedung Hoerijah Adam, ukuran panggung besar. Ketika karya hanya menampilkan satu hingga empat penari, mereka tampak seperti ‘ditelan’ panggung. Perlu strategi artistik untuk menyiasatinya—melalui tata cahaya, penggunaan properti, desain ruang, maupun pola lantai—agar tubuh penari tetap menjadi pusat perhatian dan tidak tenggelam oleh ruang,” jelasnya.
Sahrul mengatakan, kritik ini bukan sekadar catatan kelemahan, tetapi dorongan agar para koreografer muda dapat membangun hubungan yang lebih padu antara gagasan, tubuh, ruang, dan dramaturgi, sehingga karya-karya mereka memiliki kekuatan estetik yang lebih utuh.
Sementara itu, Hartati—koreografer senior Indonesia sekaligus penggagas Festival MenTari—menyampaikan harapan agar sepuluh koreografer muda yang tampil tahun ini memiliki napas panjang dalam meniti proses kreatif. Menurutnya, ketekunan berproses, keberanian mengasah diri, dan konsistensi memperluas wawasan adalah fondasi penting untuk membangun karier yang berkelanjutan.
“Mereka ini punya potensi besar. Festival ini sengaja kami hadirkan untuk membuka ruang agar muncul koreografer-koreografer Sumatera Barat yang mampu bersaing di tingkat nasional bahkan internasional. MenTari didesain sebagai wadah bagi koreografer muda untuk berkarya, bereksperimen, dan menguji kemungkinan-kemungkinan baru,” ujar Hartati.
Ia menekankan bahwa perjalanan menjadi koreografer bukan sekadar soal mencipta karya, tetapi tentang komitmen jangka panjang.
“Kita berharap mereka kuat, tidak mudah goyah, dan memiliki napas panjang untuk memilih koreografi sebagai jalan karier dalam dunia seni pertunjukan. Proses mereka masih panjang, dan festival ini adalah salah satu pijakan awal untuk tumbuh,” tutupnya.
Susas Rita Loravianti, Direktur Festival MenTari, menjelaskan, secara keseluruhan, Festival MenTari #5 tidak hanya menjadi ruang eksplorasi gagasan, tetapi juga peta tantangan baru bagi para koreografer muda.

“Bagaimana menyeimbangkan konsep besar dan kejelasan dramaturgi, bagaimana mengolah energi tubuh agar tidak semata-mata menjadi ilustrasi ide, dan bagaimana mempertahankan fokus estetik di tengah kecenderungan simbolisme yang melimpah,” jelas Susas Rita Loravianti.
Membaca 10 Koreografi
Saya menikmati dan membaca terhadap 10 koreografi yang dihadirkan sejak sore hungga malam, Jumat-Sabtu, 14-15 November 2025 di Gedung Hoerijah Adam ISI Padang Panjang. Saya menonton bersama ratusan mahasiswa—di kota kecil yang selalu hujan ini—dengan saksama.
Saya memberi apresiasi semangat berkarya dan keberanian eksperimetasi 10 koreografer muda ini. Paling tidak militansi melahirkan sebuah cipta seni (tari) kontemporer masih tampak berkeringat. Berikut catatan pendek dari pembacaan saya.
Bacamin di Balik Kubangan
Koreografer Adityawarnan membuka panggung melalui tari Bacamin di Balik Kubangan, menghadirkan lima penari—Gebi, Belalagea, Suci Rahmadhani, Reza Mashendra, dan Yola Afrimanova—untuk memvisualkan metafora sosial tentang anugerah yang terdistorsi menjadi kubangan hasrat.
Dalam sinopsisnya, ia menulis tentang “sesuatu yang ditentukan dan diteteskan dari atas langit, yang diharapkan menjadi genangan tatanan kehidupan, namun justru berubah menjadi lumpur yang dipenuhi hasrat, ego, dan popularitas.” Gagasan ini memberikan landasan konseptual yang menarik bagi bangunan koreografi.
Tari Bacamin di Balik Kubangan digerakkan dengan ritme yang padat dan repetisi gerak tapi dalam komposisi tertentu terlihat berhasil menciptakan atmosfer dan tegangan, seolah tubuh-tubuh penari tenggelam dalam pusaran nilai sosial yang mengabur. Tapi pada komposisi lainya, repetisi jadi benar-benar pengulangan.
Meski demikian, kritik muncul pada cara gagasan tersebut diwujudkan dan diimplementasikan di panggung. Beberapa bagian terasa terlalu ilustratif, seakan tubuh sekadar bergerak tanpa benar-benar mengolahnya menjadi pengalaman estetik yang lebih dalam.
Alih-alih menghadirkan ambiguitas dan ketegangan yang dapat memperkaya makna, koreografi cenderung berjalan linear dan datar, serta nyaris monotion, membuat simbol-simbol yang muncul kurang menggugah secara dramaturgis.
Potensi konsep yang kuat sebenarnya membuka peluang untuk eksplorasi tubuh yang lebih kompleks—baik dalam dinamika gerak, kualitas ruang, maupun relasi antarpenari—sehingga metafora tentang “kubangan”, misalnya, tidak hanya terlihat, tetapi juga dapat dirasakan sebagai pengalaman yang menubuh.
Narasini
Koreografi Narasini karya Lovia Triyuliani menawarkan gagasan kontemporer tentang tubuh yang hidup di bawah bayang-bayang algoritma dan digital. Fragmentasi empat tubuh—Anggi Sukma, Yunni Foresti, Yuni Partiwi, dan Nurul Hayati—berhasil memvisualkan tekanan digital yang memecah identitas, persepsi, dan emosi. Namun, pada aspek pemaknaan lewat ekspresi kirang memadai.
Transisi dari keheningan menuju ledakan gestural memberi tegangan tapi tidak memberi kejut yang membekeas. Dua dunia estetik – algoritma digital dan realitas—yang dibayangkan Lovia belum sepenuhnya terjalin utuh dalam satu dramaturgi yang solid di atas panggung sehiingga tampak Narasini adalah realitas yang dikonkretkan.
Dalam catatan koreografinya, Lovia menegaskan Narasini sebagai refleksi tentang manusia di era digital, ketika narasi menjadi bentuk kekuasaan baru yang mampu mengendalikan tubuh, pikiran, dan emosi. Karya ini mengeksplorasi bagaimana narasi dapat membingkai bahkan membelokkan kenyataan—tergantung siapa yang bercerita dan untuk kepentingan siapa.
Tubuh-tubuh penari menjadi metafora manusia yang terus dinegosiasikan oleh algoritma, viralitas, dan arus informasi yang tak pernah padam. Di titik ini, Narasini menggugah karena membaca dunia digital bukan sebatas fenomena visual, tetapi sebagai struktur kekuasaan yang memengaruhi cara manusia merasakan dirinya.
Dengan dukungan komposer Agung Perdana dan penata cahaya Frandi Yutra, karya ini sebenarnya memiliki perangkat artistik yang cukup kuat. Namun, sejumlah bagian tampak tergesa-gesa dalam menarasikan gagasan besar Narasini.
Beberapa gestur muncul terlalu cepat tanpa cukup waktu untuk membangun ketegangan, sehingga alur emosional yang semestinya dapat lebih dalam justru melewati penonton begitu saja. Jika tempo dramaturgi diperhalus dan ruang kontemplatif diperkuat, Narasini akan mampu menyentuh kompleksitas dunia digital dengan resonansi yang lebih kuat dan lebih padu.
Ritus Dunia Miring
Koreografer Dendi Wardiman, melalui karya Ritus Dunia Miring, memotret bagaimana tradisi yang semula menjadi penuntun justru dapat menjelma candu. Energi ruang yang dibangun cukup kuat; tensi tubuh para penari terasa menekan dan menciptakan atmosfer ritual yang intens. Namun, tantangan yang juga tampak pada beberapa karya lain muncul di sini: penggunaan gerak repetitif yang terlalu dominan.
Repetisi yang semestinya membuka ruang ambivalensi makna justru kehilangan daya gugatnya ketika tak diimbangi peningkatan kualitas intensitas. Akibatnya, perjalanan tari memasuki risiko monotoni—intensitas bergerak pada level yang hampir datar dari awal hingga akhir sehingga dinamika emosional tidak berkembang secara optimal.
Dalam sinopsisnya, Dendi menuliskan: “Ada yang berteriak dalam diri, namun suara itu tenggelam dalam gema yang tak mengenal jeda. Di dunia yang miring ini, semua tampak tegak berdiri di atas ritus yang mereka sebut kebenaran. Keyakinan goyah menjelma candu—diminum dengan sopan, diyakini bukan racun, hanya tradisi.”
Inti cerita ini membuka sekaligus memberikan fondasi dramaturgis yang tentang benturan antara keyakinan, kegamangan, dan dogma yang diterima tanpa jeda kritis. Namun, bangunan arsitektur koreografi Ritus Dunia Miring, Dendi Wardiman terkesan kelabakan membangunnya di atas panggung.
Dengan dukungan penata musik Avant Garde Dewa Gugat dan para penari Reza Maulidil Akbar, Alsafitro, Menthari Ashia, Putry Wulandari, M. Rafly, dan Dewi Safitri, Ritus Dunia Miring sesungguhnya memiliki celah eksplorasi yang luas.
Musiknya tidak mendominasi atau “menelan” tubuh penari, sebuah keputusan artistik yang menjaga keseimbangan antara bunyi dan gerak. Hanya saja, potensi ini akan lebih optimal jika repetisi gerak diperlakukan sebagai strategi dramaturgis yang berkembang—bukan pola yang stagnan—sehingga ketegangan antara ritus, candu, dan perlawanan dapat muncul lebih tebal dan menggugah.
Memanggil Kesunyian
Karya koreografer muda Fadilla Oziana menawarkan kedalaman kontemplatif melalui Memanggil Kesunyian. Ketepatan napas, manajemen energi, serta keberanian merawat ruang hening menjadi kekuatan utama karya ini. Fadilla membangun lanskap spiritual yang intim, mengajak penonton masuk ke ruang sunyi tempat tubuh tidak sekadar bergerak, tetapi berdoa dan berbicara dengan dirinya sendiri.
Namun, ketergantungan yang sangat besar pada tempo lambat menjadikan karya ini rawan kehilangan ketegangan puitiknya; sedikit saja fokus penonton bergeser, lapisan emosional yang dibangun bisa runtuh. Karya ini membutuhkan titik kulminasi yang lebih subtil namun tetap terukur untuk menjaga alur pengalaman tetap menanjak.
Dalam sinopsisnya disebutkan bahwa di antara riuh dunia, tubuh-tubuh menari mencari hening. “Memanggil Kesunyian” adalah perjalanan batin menuju ketenangan, tempat gerak menjadi doa, napas menjadi zikir, dan diam menjelma ruang perjumpaan dengan diri. Kesunyian bukanlah akhir; ia adalah rumah pulang yang paling sunyi tetapi justru paling terang.
Memanggil Kesunyian dengan penanggung jawab produksi Aldi Yunaldi didukung penari Sausan Agitya, Abib Rahman, Dinal Afrizon, Chairino Fauzan, dan Tatalui Nurhadi serta penata musik penata musik Indra Arifin, dan kostum Ifano Gusti, dengan perangkat artistik yang ditata di panggung, tari Memanggil Kesunyian menunjukkan persiapan yang serius namun tetap menyisakan ruang untuk pengembangan dramaturgi agar kontemplasi yang ditawarkan tidak hanya indah, tetapi juga menghunjam lebih dalam kepada ingatan kolektif penonton.
Gu Go Pawer Renjer
Kurniadi Ilham melalui Gu Go Pawer Renjer menghadirkan pertemuan liar antara identitas Suku Anak Dalam dan kritik ekologi kontemporer. Di panggung, para penari—Reza Mashendra, Junaisya Syifatul Qalby, Anggi Safandri Ova, Raflis, dan Maresha—bergerak dalam tegangan antara roh dan mesin, seolah tubuh mereka menjadi medan tarik-menarik antara tradisi yang hendak bertahan dan dunia industri yang terus mendesak.
Komposisi dan rtitme serta energi yang menyala didorong oleh komposisi musik Rama Anggara dan permainan musik Denny Alpan, menciptakan atmosfer rimba yang terus diganggu oleh dengung mekanik. Tata cahaya Oky Herliawan terlihat makin menajamkan kontras itu: hutan yang dulu teduh kini terbelah oleh kilatan buatan manusia.
Namun, skala gagasan yang besar kadang tidak seluruhnya menemukan jalur pengolahan gerak yang jernih. Ada momen ketika energi tubuh meluap tetapi motif koreografinya tidak terikat kuat, membuat pesan ekologis yang ingin ditegaskan Kurniadi Ilham terasa samar. Meski begitu, produksi yang ditata Siti Rosana mampu menjaga struktur keseluruhan sehingga Gu Go Pawer Renjer tetap berdiri sebagai pernyataan artistik tentang tubuh-tubuh yang berjuang di tengah eksploitasi hutan.
Dalam sinopsisnya, Kurniadi mengingatkan bahwa bagi Suku Anak Dalam, hutan adalah ibu yang penuh kasih; ketika hutan hilang, yang lenyap bukan hanya ruang hidup, tetapi juga ritual, harapan, dan masa depan. Di panggung, pahlawan pun dapat berubah menjadi mesin perusak, sementara roh-roh leluhur terus mencari tempat di tengah kerakusan manusia.
Dengan penyempurnaan struktur dramatik, karya ini berpotensi menjadi kritik ekologi yang lebih menggigit sekaligus lebih puitis dan menghilangkan kesan berpanjang-panjang di atas panggung.
Suara dari Dekat
Koreografer Menthari Ashia menghadirkan Suara dari Dekat mengolah diksi “pulang” sebagai ritual modern. Permainan dinamika antara hentakan dan hening menciptakan lapisan spiritual yang menarik. Kritik yang muncul adalah dramaturgi bagian tengah yang terasa memanjang tanpa perkembangan kualitas ruang, seolah penari terjebak dalam medium intensitas yang sama.
Melalui Suara dari Dekat, panggung menjelma ruang renungan tentang makna “pulang” yang lebih dalam dari sekadar kembali ke rumah. Para penari—Dendi Wardiman, Qataria Faradifa, Frizi Aulia, Putry Wulandari, dan Dewi Safitri—menghidupkan perjalanan batin itu dengan perpaduan hentakan dan keheningan yang terasa seperti jeda meditasi. Kendati komposisi koreografi yang Dibangun masih gagap menjelaskan secara simbolik makna “pulang” itu sendiri. Galibnya—dilakukan secara sadar setiap koreografer yang tampil di MenTari #5—adalah komposisi pengulangan dan berlama-lama.
Sementara itu, komposisi Avant Garde Dewa Gugat memberi lapisan musikal yang memandu tubuh-tubuh di panggung menuju pengalaman spiritual yang subtil. Di saat tertentu, musiknya terdengar seperti panggilan jauh—seakan suara dari dalam diri yang perlahan mendekat namun dalam bagian-bagian tertentu, musik mendominasi kendati itu bukan konser. Pencahayaan yang dirancang Fazri Arif Sahputra bekerja seperti mengikuti tubuh-tubuh penari mencari arah tapi cahayanya tidak membangun suasana. Masih sekadar sebagai penerang dan penggelap semata.
Jatuh ke Dalam Diri
Dalam Jatuh ke Dalam Diri, koreografer Nurima Sari dibangun dari interpretasi metaforis tentang eksistensi manusia yang diparalelkan dengan siklus hidup bintang raksasa. Dalam kosmos, cahaya paling terang bukanlah perayaan kejayaan, melainkan isyarat berakhirnya sebuah babak. Begitu pula manusia: titik puncak justru mengantar tubuh pada fase keruntuhan, menyusut menuju singularitas diri—ruang paling sunyi tempat segala makna ditarik kembali ke inti.
Namun, kehancuran itu bukan noktah penutup. Ia menjadi kilatan baru, sebuah notifikasi kosmik yang memanggil yang lain untuk membaca ulang jejak yang tersisa. Di sinilah tubuh menemukan paradoksnya: runtuh sekaligus mengirim sinyal kehidupan baru.
Para penari Maziyah Ramadhani, Dinda Syahiba, Dwi Oppy Aprilisa, Daegal Mahendra, dan Yoggi Nefrian menjadi pusat gravitasi yang memvisualkan bagaimana cahaya paling terang justru merupakan pertanda sebuah akhir, momen ketika kejayaan berubah menjadi keruntuhan dan tubuh memasuki singularitasnya sendiri.
Kendati semua dikerjakan dengan rapi dan disiplin tinggi, beberapa hal menjadi catatan dalam penampilan tari Jatuh ke Dalam Diri , yakni representasi simbolisme kosmik yang padat ini terkadang bergerak terlalu cepat. Beberapa fase kehancuran dan kebangkitan terasa melompat sebelum penonton sempat menyerap makna yang dibangun. Akibatnya, kedalaman metafora besar—tentang kehancuran sebagai notifikasi baru bagi semesta—sesekali kehilangan ruang kontemplasi.
Musik komposer Ossi Darma Desprian mengalun seperti gema antar-galaksi, memperkuat kesan bahwa perjalanan tubuh bukan lagi sekadar perjalanan koreografis, melainkan orbit eksistensial. Kostum yang dikerjakan Nabila Muthi Ramadhania menghadirkan metafora lapisan-lapisan diri yang mulai luruh; kain yang bergerak bersama tubuh seolah pecahan materi yang terlepas dari inti bintang.
Di balik panggung, kerja presisi Pimpinan Produksi Ririn Chayrunisa dan Stage Manager Nada Aulia Arva menjaga setiap transisi berlangsung rapih meski tensi karya sangat dinamis. Secara keseluruhan, Jatuh ke Dalam Diri tetap menjadi karya yang berani menyandingkan tubuh manusia dengan ledakan bintang dan menjadikan keruntuhan sebagai bahasa puitik tentang kelahiran ulang.
Hum Alaihum
Koreografer Fazri Arif Sahputra melalui Hom Alaihum membangun metafora tentang takdir dan siklus hidup melalui pola lingkaran yang konsisten dan terstruktur. Gerak yang berulang, pertemuan dan pelepasan, menciptakan rasa seperti ritus purba yang terus berputar mengikuti kehendak yang lebih besar dari tubuh itu sendiri.
Didukung komposisi musik Avant Garde Dewa Gugat, penampilan para penari—Alsafitro, Reza Maulidil Akbar, Farid Ramadhan, Raflis, dan Ferdi—menjadi poros utama yang menghidupkan perputaran itu; tubuh-tubuh mereka membangun orbit emosional yang menandai perjalanan menuju dan menjauhi pusat.
Meski demikian, interaksi tubuh yang sesekali menyerupai permainan kadang kehilangan ketajaman tensi dramatik, sehingga kesan pencarian arah pulang—yang seharusnya menjadi inti emosinya—tidak selalu mencapai kedalaman yang diharapkan. Beberapa segmen terasa terlalu ringan, seolah gravitasinya menguap sebelum menekan tubuh penonton.
Dalam sinopsisnya, Fazri menyebut Hom Alaihum sebagai pencarian di balik ritual permainan—tafsir tentang keluguan dan kesadaran purba manusia terhadap takdir. Lingkaran tubuh-tubuh yang berputar meniru siklus kehidupan: bertemu, berpisah, lalu kembali dalam ritme yang tak pernah usai. Hom Alaihum—“Tuhan kembali Tuhan”—menjadi renungan tentang keseimbangan antara keputusan dan penyerahan, antara permainan dan pencarian arah pulang. Kehadiran stage manager Mentari Fahreza serta tim artistik Angel Rahmana Putra dan Rahmat Fajar Ramadhan turut memperkuat keseluruhan atmosfer karya ini, sekalipun ruang diniatkan sederhana dan lebih mengandalkan bahasa tubuh.
Karya ini memiliki fondasi simbolik yang kuat; yang dibutuhkan selanjutnya adalah pendalaman tensi antar tubuh agar pencarian itu terasa lebih mendesak dan beresonansi lebih dalam.
Tubuh Ibu, Sungai yang Bergeser
Melalui Tubuh Ibu, Sungai yang Bergeser, koreografer Siska Aprisia menegaskan tubuh perempuan sebagai sungai ingatan—mengalir, menggerus, dan sekaligus melahirkan perubahan. Ia sendiri di panggung yang cukup luas itu membangun arsitektur tarinya.
Kendati ia menari dalam kondisi hamil muda, geraknya cair namun tetap menyisakan ketegasan yang menjadi ciri khas koreografi Siska. Tampak geraknya terkesan hati-hati dan terjaga, setiap ayunan, tarikan, dan hentakan tubuh Siska seakan menandai bagaimana seorang ibu memikul sejarah sekaligus menuliskan arah baru bagi hidupnya.
Siska menggunakan bantal yang diletakkan di punggungnya, seperti menggendong momongannya. Terkadang ia lepaskan juga bantal itu. Properti ia pakai juga dalam koreografi karyanya berjudul Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu dipentaskan pada Minggu, 24 Agustus 2025 di Fabriek Padanf pada Pekan Nan Tumpah. Tak ada argumentasi apa sebab menggunakan properti bantal dalam dua tari yang berbeda.
Didukung oleh komposisi musik Jumaidil Firdaus, dramaturgi Mahatma Muhammad, serta -pencahayaan Karta Kusumah yang menegaskan lekuk tubuh seperti aliran sungai pada malam hari, karya ini tampil sebagai lanskap emosional yang penuh resonansi. Peran tim artistik—Gusti Fitrah Body, para skenografer Olimsyaf Putra Asmara dan Yusuf Fadly Aser, penata busana Nanda Pradinhe, serta dokumentasi oleh Tenku Raja dan Diah Anggina—membentuk ruang rupa yang memperkuat imajinasi tentang sungai yang bergeser. Seluruh proses produksi, yang dipimpin Fajry Chaniago bersama Desi Fitriana, Hilda Ismia Putri, dan Erik Ade Pratama, tersusun rapi sebagai landasan yang menopang kelahiran karya ini di panggung.
Dalam sinopsisnya, Siska menulis bahwa tubuh ibu adalah ruang yang menanggung sekaligus melahirkan perubahan; seperti air besar yang mengubah tepian setiap kali mengalir, tubuh perempuan terus menulis ulang batas antara luka dan harapan. Karya ini menggugat namun sekaligus menegaskan bahwa setiap arus kehidupan berawal dari tubuh yang bersedia menanggung dunia.
Secara artistik, koreografi ini memancarkan kekuatan pengisahan yang subtil. Namun, beberapa momen emosional besar hadir begitu cepat hingga terlewat sebelum mencapai kedalaman dramatiknya. Ada titik-titik kulminasi yang potensial, tetapi belum sepenuhnya dipertajam untuk menancap lebih lama dalam kesadaran penonton. Dengan pendalaman tensi dan ruang jeda yang lebih terukur, Tubuh Ibu, Sungai yang Bergeser dapat membuka lapisan-lapisan emosionalnya dengan lebih jernih dan menggugah.
#Rantau404
Koreografer Erwin Mardiansyah melalui #Rantau404 menyorot pergeseran makna rantau dalam budaya Minangkabau ketika teknologi informasi dan lanskap digital merombak pola berhubungan manusia. Rantau, yang dulunya merupakan medan pembentukan identitas melalui pengalaman langsung, kini menjelma di dalam ruang pertemuan virtual yang menenggelamkan kedalaman emosional.

Dalam karya ini, Erwin membaca bahwa perantau hari ini hidup dalam dua ranah sekaligus—kampung halaman dan ruang digital—namun keduanya justru menjauhkan rasa saling sapa. Silaturahmi kehilangan hangatnya tubuh; hubungan antarmanusia terkoneksi dengan perangkat teknologi dan tinggal menjadi deretan notifikasi.
Fragmentasi tubuh yang ditampilkan para penari—Erwin Mardiansyah, Ocha Eri Meilia Putri, Putri Monika, Sania Lopela Sandres, Dendi Chairi, dan Devira Maharani Putri—berpadu dengan visual media garapan Taufik Mulia Siregar, membangun dunia yang sangat relevan dengan generasi hari ini. Didukung dramaturgi Fabio Yuda, musik komposer Indra Arifin, dan pencahayaan Oky Herliawan, #Rantau404 memetakan kegaduhan identitas manusia digital yang “terhubung tapi kehilangan arah.”
Namun, dalam pembacaan kritis, penggunaan media digital dalam karya ini sangat mendominasi ruang narasi.
Visual yang kuat—terutama tayangan aktivitas di media sosial—kerap menelan tubuh penari, sehingga tensi antara realitas fisik dan maya tidak seimbang. Pada beberapa bagian, musik terdengar terlalu padat dan agresif, mengingatkan pada demo konser yang menutup ruang resonansi internal tubuh. Akibatnya, potensi reflektif tentang dislokasi identitas kadang melemah karena lapisan bunyi dan visual yang terlalu memilih tampil di permukaan.
Dalam sinopsisnya, Erwin menggambarkan karya ini sebagai kegelisahan atas perubahan makna rantau: perjalanan mencari diri yang kini direduksi menjadi gerak jari di layar. #Rantau404 menjadi metafora manusia modern yang terhubung lintas batas, namun justru kehilangan pijakan kemanusiaan. Tubuh yang terpecah-pecah antara dunia nyata dan maya menampilkan paradoks yang menjadi jantung persoalan generasi digital hari ini.
Karya ini memiliki kekuatan gagasan dan kejelian pengamatan terhadap fenomena sosial kontemporer. Dengan penataan keseimbangan yang lebih matang antara tubuh dan media digital, dan menekan agar musik tidak “mararah” kian kemari, koreografi #Rantau404 berpotensi menjadi kritik yang tidak hanya relevan, tetapi juga menggugah secara emosional dan estetis, serta mengena..
Kendati begitu, 10 karya koreografi yang ditampilkan pada Festival MenTari #5 memperlihatkan lanskap baru koreografi Sumatera Barat: kritis, sensitif terhadap isu zaman, dan berani mengolah tubuh sebagai medan tafsir sosial, ekologis, spiritual, dan digital. MenTari kembali menunjukkan posisinya sebagai ruang belajar yang menumbuhkan proses, membuka kolaborasi lintas disiplin, serta melahirkan generasi koreografer dengan keberanian eksperimentatif.*
Foto-foto Yuli Hendra Multi Albar S.Sn.,M.Sn