"Bagurau Lamak" dan Cara Baru Menikmati Tradisi di Ruang Digital

Kamis, 27/11/2025 13:17 WIB

OLEH Renita Sari (Mahasiswa Program Studi Pengkajian Seni Pascasarjana ISI Padang Panjang)

MENONON "Bagurau Lamak" melalui siaran langsung di sebuah kafe menghadirkan pengalaman yang paradoksal: di satu sisi terasa dekat dengan para pemain di layar, namun di sisi lain kehilangan energi tubuh dan riuh komunal yang biasanya hidup di ruang pertunjukan.

Pada Jumat malam 21 November 2025, sejak pukul 20.00-23.30, "Bagurau Lamak" disiarkan langsung melalui platform TikTok dan YouTube “Bagurau Lamak”. Pertunjukan yang lazimnya bertumbuh dari interaksi tatap muka kini bergantung pada kolom komentar, emotikon, dan sinyal digital yang mengalir dari layar gawai.

Secara teknis, pertunjukan ini ditata dengan cukup matang. Sistem suara, penempatan kamera, pencahayaan, serta latar visual menunjukkan keseriusan tim produksi dalam memahami aspek teknis pertunjukan daring.

Malam itu, para pelaku Bagurau yang tampil—Ernawani, Rina Oktavia, Sri Isdayanti, Datuak Pangiang, Kamarudin, dan Bule Singgalang—adalah nama-nama yang telah lama berkecimpung dalam tradisi ini.

Kehadiran mereka memberikan legitimasi bahwa format digital tetap dijalankan oleh pelaku otentik, bukan sekadar reproduksi dangkal. Namun, di sinilah pertanyaan mendasar muncul: ketika bagurau menjadi terlalu rapi dan terstruktur, apakah ia masih menyimpan kelincahan spontan sahut-menyahut yang selama ini menjadi identitasnya?

Humor tetap mengundang senyum, tetapi sesekali tampil seperti pola yang berulang. Terdapat kesan bahwa para pemain menunggu momentum tertentu untuk melontarkan punchline, bukan karena interaksi langsung memicu improvisasi, melainkan karena ritme siaran langsung menuntut keteraturan dan prediktabilitas. Hilangnya tekanan sosial dari penonton fisik membuat gurauan menjadi lebih aman, lebih jinak, dan kadang kehilangan elemen kejutan kecil yang selama ini menjadi daya hidup bagurau.

Hal menarik lain terlihat pada peran kolom komentar di TikTok dan YouTube yang perlahan membentuk struktur baru interaksi pertunjukan. Banyak komentar datang dari para perantau yang mengungkapkan rindu kampung halaman di Sumatera Barat, merangkai nostalgia melalui layar.

Fenomena ini menunjukkan bahwa rangkaian digital membuka akses lintas ruang, namun belum sepenuhnya berhasil menarik generasi muda sebagai audiens utama. Respons penonton umumnya positif, tetapi terlihat jelas bahwa mayoritas berasal dari generasi yang lebih tua, sementara keterlibatan penonton muda masih relatif terbatas.

Padahal, bagurau dalam sejarahnya bukan hanya arena hiburan, melainkan juga ruang kritik sosial yang subtil—menyentuh persoalan kebijakan nagari, kegelisahan kolektif, hingga isu ekonomi sehari-hari.

Dalam format streaming, dimensi kritis ini terasa memudar. Humor lebih sering berputar pada tema aman: relasi romansa ringan, keluhan ekonomi yang tidak menggugat, dan humor universal yang tidak menyinggung. Tradisi yang dahulu menjadi arena negosiasi sosial kini cenderung bergeser menjadi hiburan netral yang disesuaikan dengan sensitivitas media digital.

Pengalaman menonton dari kafe mempertegas jarak ini. Para pengunjung menyimak sambil menyeruput kopi, tersenyum sesekali, dan tertawa pelan. Tidak ada energi yang memantul antara penonton dan pemain secara langsung.

Bagurau, yang biasanya tumbuh dalam atmosfer komunal, beralih menjadi hiburan latar di ruang santai modern—hadir, tetapi seolah terpisah dari kehidupan sosial penontonnya.

Meski demikian, digitalisasi tidak dapat semata-mata dipandang sebagai ancaman. Bagi generasi muda yang jarang menyaksikan Bagurau secara langsung, siaran daring dapat menjadi pintu pengenalan awal.

Bagi para perantau, live streaming berfungsi sebagai pengikat emosional dengan kampung halaman—sebuah ruang temu virtual yang melintasi jarak geografis.

Pandangan ini dikuatkan oleh Alizar, seniman senior bagurau di Sumatera Barat, yang menyambut positif format siaran langsung sebagai terobosan baru.

Menurutnya, teknologi justru memberi napas segar bagi tradisi tanpa menghilangkan identitas dasarnya.

“Bagus sekali adanya kolaborasi antara yang klasik dengan yang baru seperti siaran langsung ini. Kini urang awak di rantau bisa ikut menyaksikan bagurau, walaupun tidak di lapau atau gelanggang,” ujarnya.

Sikap ini menunjukkan bahwa para pelaku seni melihat ruang digital bukan sebagai wilayah asing, melainkan sebagai kemungkinan baru untuk merawat tradisi.

Paradoks akhirnya tak terhindarkan: Bagurau tetap hidup, tetapi dengan cara hidup yang berbeda. Ia kini bernegosiasi dengan algoritma, durasi layar, dan pola konsumsi hiburan digital.

Pertanyaannya pun bergeser—bukan lagi apakah digitalisasi menyelamatkan bagurau, melainkan apakah Bagurau masih mampu melawan kecenderungan homogenisasi humor digital, dan kembali menjadi ruang tawa yang kritis, cair, dan penuh kejutan sebagaimana asal-usulnya.*



BACA JUGA