Penguatan Program Bina Ketahanan Remaja untuk Indonesia Emas 2045

Jum'at, 07/11/2025 09:43 WIB

Oleh Dr. Lismomon Nata, S.Pd., M.Si., CHt (Ketua Pokja Pengembangan Program Bina Ketahanan Remaja Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga / Social Resilience and Family Development Expert TCARE)

REMAJA merupakan wajah masa depan bangsa. Mereka bukan hanya bagian dari statistik penduduk usia produktif, tetapi juga sumber daya manusia strategis yang akan menentukan arah Indonesia menuju cita-cita besar: Indonesia Emas 2045.

Dalam periode bonus demografi ini, kita memiliki peluang emas, di mana jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan penduduk nonproduktif. Kondisi ini menjadi faktor penggerak ekonomi menuju kesejahteraan (window of opportunity). Namun, peluang tersebut juga menyimpan potensi bencana apabila remaja rapuh; bangsa pun kehilangan pijakan untuk melangkah ke depan (disaster opportunity).

Kini, istilah “generasi stroberi” sering dilekatkan kepada remaja. Mereka tampak cerdas, penuh talenta, dan menarik, tetapi mudah rapuh ketika menghadapi tekanan hidup. Fenomena meningkatnya masalah kesehatan mental, stres akademik, perilaku berisiko, hingga kasus bunuh diri menjadi alarm keras bagi semua pihak.

Data di berbagai media menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, tidak hanya di kota besar, tetapi juga di daerah seperti Sumatera Barat yang dikenal religius dan berbudaya kuat.

Fenomena bunuh diri bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Émile Durkheim, sosiolog besar Prancis, menjelaskan bahwa bunuh diri merupakan fenomena sosial yang disebabkan oleh lemahnya integrasi dan regulasi sosial, atau tingkat solidaritas masyarakat.

Dalam perspektif sosiologis, Durkheim mengklasifikasikan bunuh diri ke dalam empat tipe: egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik. Dengan demikian, hubungan manusia dengan masyarakat menjadi faktor penentu kesehatan mental dan eksistensial seseorang.

Dalam perspektif psikologi, bunuh diri sering berakar pada depresi berat, rasa putus asa (hopelessness), dan perasaan terjebak (helplessness). Tekanan sosial, trauma, hingga perundungan dapat memperparah kondisi mental seseorang.

Karena itu, memahami bunuh diri bukan hanya tugas psikolog atau psikiater, tetapi juga tanggung jawab sosial: bagaimana kita sebagai komunitas menciptakan ruang aman dan dukungan bagi remaja untuk berbagi tanpa stigma.

Dalam konteks Indonesia, faktor sosial budaya turut memengaruhi dinamika remaja. Norma sosial yang kuat semestinya menjadi pelindung, namun dapat pula menjadi tekanan bila tidak diimbangi dengan pemahaman yang baik. Misalnya, nilai “terlihat baik di mata orang lain” sering membuat remaja memendam stres. Di sisi lain, stigma terhadap gangguan mental membuat mereka enggan mencari bantuan.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan studi sosial, terdapat tiga tantangan utama yang menyebabkan remaja rentan terhadap perilaku menyimpang, termasuk bunuh diri: (1) perundungan dan tekanan sosial yang melemahkan kepercayaan diri, (2) kurangnya dukungan keluarga dan komunikasi terbuka, serta (3) stigma terhadap masalah mental yang membuat remaja memilih diam dalam penderitaan.

Ketika ketiganya bertemu, lahirlah krisis mental tersembunyi pada remaja yang tampak “baik-baik saja” dan “tenang”, namun sebenarnya sedang berjuang melawan beban berat.

Transformasi kelembagaan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjadi Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga/BKKBN) menunjukkan keseriusan negara untuk menjadikan keluarga sebagai basis peradaban bangsa.

Pembangunan nasional kini tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari ketahanan keluarga sebagai pondasi bagi ketahanan bangsa—meliputi aspek keamanan, ketenteraman, dan kebahagiaan agar kesejahteraan lahir dan batin berjalan harmonis.

Di sinilah Direktorat Bina Ketahanan Remaja (Dithanrem) memiliki peran strategis. Dithanrem menjadi lokomotif dalam menyiapkan generasi muda yang tangguh secara fisik, mental, sosial, moral, dan transendental (keagamaan). Melalui berbagai programnya, Kemendukbangga/BKKBN berupaya memastikan setiap remaja tumbuh dengan dukungan keluarga dan lingkungan yang sehat.

Ada dua pilar utama dalam penguatan ketahanan remaja. Pertama, melalui Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK R)—ruang belajar dan berbagi antarremaja melalui pendekatan peer to peer. Pendekatan ini terbukti efektif karena remaja cenderung lebih terbuka kepada teman sebaya.

Melalui jalur sekolah maupun masyarakat, PIK R tidak hanya memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi, tetapi juga pengendalian emosi, perencanaan masa depan, dan keterampilan hidup (life skills) dalam kerangka besar program Generasi Berencana (Genre).

Kedua, Program Bina Keluarga Remaja (BKR) diarahkan untuk memperkuat komunikasi antara orang tua dan anak remaja. Di sinilah keluarga didorong menjadi “sekolah pertama dan utama” bagi anak-anak. Pelibatan ayah dan ibu menjadi penting agar pola asuh tidak hanya berorientasi pada kontrol, tetapi juga kasih sayang dan dialog.

Selain itu, Kemendukbangga/BKKBN juga mengembangkan Program “Siap Nikah”, yang menekankan kesiapan emosional, sosial, dan ekonomi sebelum membangun rumah tangga, serta Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) yang mengembalikan peran ayah sebagai figur panutan dan penjaga nilai keluarga.

Mempersiapkan Indonesia Emas 2045 tidak cukup hanya dengan investasi infrastruktur dan teknologi, tetapi yang terpenting adalah investasi sosial, yakni membangun sumber daya manusia yang berdaya dan tangguh. Ketahanan remaja menjadi jembatan menuju generasi unggul, berkarakter, dan berdaya saing global.

Namun, semua ini merupakan tanggung jawab bersama. Diperlukan sinergi lintas sektor: pemerintah memperkuat kebijakan dan implementasi lapangan, institusi pendidikan dan komunitas menciptakan ruang ekspresi positif bagi remaja, media membangun narasi empatik (bukan sensasional) terhadap isu remaja, serta sektor swasta melalui Corporate Social Responsibility (CSR) berinvestasi sosial bagi keberlanjutan bangsa. Yang terpenting, keluarga harus menjadi benteng pertama—memberi perhatian, memeluk, bukan menghakimi, serta mendampingi remaja dengan kasih.

Remaja bukan hanya penerus generasi, tetapi pembaharu. Mereka bukan beban, melainkan aset bangsa. Karena itu, penguatan Bina Ketahanan Remaja merupakan wujud nyata cinta bangsa kepada masa depannya sendiri. Masa depan Indonesia bukan milik mereka yang kuat secara ekonomi, tetapi mereka yang kuat secara mental, sosial, dan spiritual.

Jika Durkheim menegaskan bahwa perilaku individu berakar pada kondisi sosial, maka tugas kita sebagai bangsa adalah menciptakan struktur sosial yang menyehatkan. Program-program Kemendukbangga/BKKBN seperti PIK R, BKR, GATI, dan Siap Nikah sejatinya bukan sekadar proyek pembangunan keluarga, melainkan gerakan peradaban untuk memastikan generasi muda Indonesia tumbuh dalam pelukan keluarga yang hangat dan masyarakat yang peduli.

Menuju Indonesia Emas 2045, kita tidak hanya membutuhkan remaja yang cerdas, tetapi juga remaja yang tangguh, berdaya, berjiwa besar, dan berketahanan—yang semuanya dimulai dari rumah, dari keluarga, dan dari kita semua sebagai pewaris bangsa Indonesia tercinta.*



BACA JUGA