Kesehatan Mental Remaja Rapuh?

Selasa, 11/11/2025 17:46 WIB

OLEH Dr. Lismomon Nata, S.Pd.,M.Si.,CHt (Ketua Pengembangan Program Bina Ketahanan Remaja, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/ Social Resilience and Family Development TCARE)

REMAJA adalah harapan. Demikian juga selama ini dianggap bahwa fase remaja merupakan masa penuh dengan keceriaan dan gejolak darah muda. Namun, di balik itu semua, bisa saja tersembunyi cerita yang tak terucap, yaitu tentang tekanan, rasa hampa, dan kesepian yang mendalam, sehingga adanya fenomena meningkatnya gangguan kesehatan mental di kalangan remaja.

Kesehatan mental bahkan dapat berujung pada perilaku bunuh diri. Laporan World Health Organization (WHO, 2022) bahkan menempatkan bunuh diri sebagai penyebab kematian kedua terbesar di dunia bagi remaja usia 15-19 tahun. Meskipun ada juga dialami oleh usia dewasa, sehingga kini menjadi alarm serius di Indonesia

Fenomena tersebut mulai tampak dari meningkatnya kasus depresi, penyalahgunaan zat, hingga perilaku menyakiti diri (self-harm). Hal yang cukup mengejutkan contohnya di Sumatera Barat sebagai salah satu daerah yang dianggap memiliki ketahanan mental, karena disebabkan relasi keluarga inti ataupun keluarga luas yang erat, bahkan agamais. Namun. sejumlah kasus tragis di kalangan pelajar dalam beberapa waktu terakhir memperlihatkan bahwa krisis kesehatan mental remaja tak lagi dapat disembunyikan di balik narasi ketahanan budaya dan moral.

Dengan demikian isu kesehatan mental remaja menjadi salah satu isu kesehatan masyarakat yang semakin mendesak untuk diperhatikan. Berdasarkan hasil Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023, sekitar 35 persen remaja usia 10-17 tahun mengalami masalah kesehatan mental, mulai dari kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pasca-trauma.

Jika angka itu diterjemahkan ke dalam jumlah populasi, berarti sekitar 2,45 juta remaja Indonesia menghadapi masalah mental yang nyata dan memenuhi kriteria diagnostik gangguan mental dalam satu tahun terakhir.

Angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata generasi muda yang sedang berjuang dalam tekanan hidup modern. Lebih dari sepertiga remaja merasa terbebani oleh pikiran dan emosi yang tidak stabil, sementara 65 persen lainnya mungkin tampak “baik-baik saja” namun tetap hidup dalam potensi risiko yang tidak kecil.

Lebih memprihatinkan lagi, kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri di kalangan remaja menunjukkan tren yang semakin mengkhawatirkan. Sejak 2013, angka bunuh diri di Indonesia meningkat secara signifikan, terutama di kelompok usia 10-15 tahun dan 16-20 tahun.

Laki-laki bahkan memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri dibanding perempuan. Penelitian juga menunjukkan bahwa remaja laki-laki yang tidak memiliki dukungan sosial dari teman sebaya berisiko 4,2 kali lebih tinggi memiliki pikiran untuk bunuh diri.

Fakta ini menggambarkan bahwa isu kesehatan mental remaja bukan hanya tentang “perasaan sedih” atau “masa remaja yang labil”. Ini adalah masalah sistemik yang berakar pada berbagai tekanan sosial, ekonomi, dan budaya yang dialami generasi muda kita.

Secara psikologis, bunuh diri adalah luapan emosi mendalam dan keputusasaan yang lama terpendam. Ia bukan keputusan sesaat, melainkan akumulasi dari perasaan gagal, tidak berharga, dan terjebak tanpa jalan keluar. Tiga akar utama kerap ditemukan di lapangan adalah, pertama adanya gangguan mental, terutama Depresi Berat Klinis (Major Depressive Disorder) yang tidak terdeteksi sejak dini.

Studi oleh Patel et al. (2018) di The Lancet Psychiatry menunjukkan bahwa remaja dengan gejala depresi yang tidak tertangani berisiko enam kali lebih tinggi untuk mencoba bunuh diri.

Kedua, faktor pemicu eksternal, seperti bullying, kekerasan verbal, tekanan akademik, masalah ekonomi keluarga, dan trauma masa kecil. Ketiga, krisis harapan (hopelessness), yaitu perasaan kehilangan arah dan makna hidup. Penelitian klasik Beck (1974) bahkan menyebut hopelessness sebagai “prediktor paling kuat terhadap niat bunuh diri.”

Sayangnya, tanda-tanda ini sering luput dari perhatian keluarga dan sekolah. Banyak remaja memilih diam karena takut dianggap lemah atau membuat malu keluarga bahkan tidak tahu mesti harus bercerita dengan siapa.

Di sisi lain, orang dewasa cenderung mengabaikan perubahan perilaku dengan kalimat seperti “itu cuma fase” atau “anak remaja memang begitu.” Padahal, dalam psikologi klinis, perubahan sikap drastis, ucapan verbal seperti ‘Aku sudah capek’, atau tindakan berisiko (isolasi sosial, kehilangan minat, atau memberikan barang berharga) adalah tanda peringatan serius (warning signs) yang tidak boleh diabaikan.

Krisis kesehatan mental remaja tidak lahir di ruang hampa pula. Ia berakar pada konteks sosial dan budaya yang membentuk cara pandang masyarakat terhadap emosi dan kerentanan.

Di Sumatera Barat misalnya, budaya malu dan harga diri keluarga memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku sosial. Nilai-nilai ini sejatinya positif, tetapi dalam kasus tertentu dapat berubah menjadi stigma sosial terhadap mereka yang mengalami gangguan psikologis.

Media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi, justru kerap berubah menjadi panggung perbandingan yang melelahkan. Tekanan untuk selalu terlihat “bahagia” membuat banyak remaja terjebak dalam kesunyian emosional yang tak tampak di permukaan.

Kondisi ini menuntut kepedulian bersama. Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus menjadi ekosistem yang ramah terhadap kesehatan mental remaja. Mereka tidak hanya membutuhkan solusi medis, tetapi juga ruang aman untuk didengarkan, dipahami, dan diterima.

Di sisi lain, hasil riset Fakultas Psikologi Universitas Andalas (2023) menemukan bahwa remaja Minangkabau cenderung menekan perasaan negatif untuk menjaga citra sosial dan kehormatan keluarga, sehingga mengalami emosional suppression yang berdampak pada kecemasan dan stres berat.

Selain itu, perundungan (bullying) di sekolah dan isolasi sosial di lingkungan tempat tinggal menjadi pemicu tambahan. Ketika norma sosial menuntut remaja untuk “kuat” dan “terlihat baik,” banyak di antara mereka yang justru terperangkap dalam krisis diam, terlihat bahagia, namun sebenarnya hancur di dalam.

Pencegahan krisis kesehatan mental remaja tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan medis, tetapi harus berbasis pendekatan edukatif dan sosial.

Pertama, mulai dari keluarga. Rumah harus menjadi ruang aman (safe space) bagi remaja untuk berbagi cerita tanpa takut dihakimi. Komunikasi yang hangat, kehadiran emosional orang tua, dan kemampuan mendengarkan dengan empati terbukti dapat menurunkan risiko depresi remaja hingga 40% (UNICEF, 2021).

Kedua, peran profesional kesehatan mental perlu diperkuat. Konseling dengan psikolog klinis atau terapis perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/CBT) efektif membantu remaja mengenali pola pikir negatif dan menemukan strategi koping yang sehat (Beck et al., 2011).

Ketiga, sekolah harus aktif dalam psikoedukasi, pelatihan guru dan siswa untuk mengenali gejala awal gangguan mental dan menumbuhkan empati terhadap teman sebaya. Program seperti ini telah berhasil diterapkan di Korea Selatan dan Australia dengan menurunkan angka percobaan bunuh diri hingga 20% (OECD, 2022).

Komunitas juga memegang peranan penting dalam membangun dukungan sosial. Di era digital, ruang maya sering menjadi tempat pelarian bagi remaja yang merasa tidak dipahami di dunia nyata. Maka, platform media sosial semestinya menjadi saluran empati, bukan ladang perundungan.

Media massa pun harus berperan secara etis dalam melaporkan kasus bunuh diri, tidak sensasional, tidak mengumbar detail metode, dan selalu menekankan aspek edukatif serta saluran bantuan. WHO (2019) menegaskan bahwa pemberitaan bunuh diri yang tidak bertanggung jawab dapat memicu suicide contagion atau penularan perilaku serupa.

Kesehatan mental remaja bukan sekadar urusan psikolog, melainkan urusan bangsa. Generasi muda hari ini tumbuh di tengah tekanan digital, kompetisi akademik, dan krisis sosial yang kompleks. Mereka membutuhkan dukungan kolektif: dari keluarga yang hangat, sekolah yang inklusif, komunitas yang peduli, hingga kebijakan negara yang responsif.

Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN melalui Direktorat Bina Ketahanan Remaja (DITHANREM) telah menginisiasi sejumlah langkah, seperti layanan konseling daring, hotline darurat kesehatan mental, lebih mengoptimalisasi Program Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK R) baik jalur sekolah maupun jalur masyarakatuntuk memperkuat Mental Health and Wellbeing Program bagi remaja.

Namun, program ini akan berarti jika masyarakat ikut berubah membuka telinga, memperluas empati, dan berhenti menstigma gangguan mental. Intervensi yang lebih kuat adalah dari kehadiran dan pendengaran yang tulus, baik secara fisik maupun psikologis, serta spiritual atau agama secara penuh. Kadang yang dibutuhkan seorang remaja bukan nasihat panjang, tetapi seseorang yang mau mendengar dengan sabar.

Kita mungkin tidak bisa menghapus semua luka yang mereka rasakan, tetapi kita bisa memastikan satu hal penting bahwa mereka tidak sendirian karena di balik setiap senyum remaja yang tampak sempurna, bisa saja ada hati yang sedang berteriak minta tolong.

Dan menyadarinya adalah langkah pertama untuk menyelamatkan masa depan mereka, masa depan bangsa dan negara, seperti halnya menjadi cita-cita bersama untuk meraih bonus demografi dan Indonesia emas 2045.*



BACA JUGA