Dari Minangkabau ke Panggung Maestro IX: Maestro Sumatera Barat Menyulut Api Tradisi di Jakarta

Kamis, 23/10/2025 13:02 WIB
Ernawati (66 tahun), Maestro Dendang, Sumatra Barat. Photo Courtesy of Purnati Indonesia. 2025

Ernawati (66 tahun), Maestro Dendang, Sumatra Barat. Photo Courtesy of Purnati Indonesia. 2025

Jakarta, sumbarsatu.com — Di usia mereka yang menapaki senja, para maestro seni tradisi itu kembali menyalakan api warisan budaya Nusantara. Mereka bukan sekadar pengingat masa lalu, melainkan penjaga nilai-nilai yang membuat bangsa ini tetap berpijak.

Dalam gelaran Panggung Maestro IX yang digelar Yayasan Bali Purnati bersama Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia di Museum Nasional, Jakarta, 28–29 Oktober 2025, panggung menjadi ruang penghormatan bagi mereka yang telah setia menjaga napas kesenian tradisi sepanjang hidupnya.

Tema besar acara ini — Menjaga Maestro, Melangkah ke Depan! — menjadi seruan agar bangsa tidak hanya mengenang, tetapi juga belajar dari keteladanan para empu seni. Selama dua malam di area terbuka Sunken Museum Nasional, publik disuguhkan dua wajah tradisi: Bali dan Sumatra Barat.

Dari Bali, tampil para maestro Gambuh Batuan, drama tari tertua di Pulau Dewata; dari Minangkabau, hadir para penjaga Gondang Baroguang, Tari Piriang, Dendang, Saluang, dan Tari Buai-buai.

Dari Batuan ke Lubuak Gadang

Bali dan Minangkabau — dua kebudayaan yang berbeda, namun sama-sama memuliakan harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas.
Di tangan I Made Djimat (83), I Wayan Bawa (60), dan Ni Wayan Sekariani (61), drama tari Gambuh Batuan hidup kembali sebagai sumber estetika dan spiritualitas seni Bali.

Dengan suling panjang, bahasa Kawi yang halus, dan gerak tubuh yang disiplin, Gambuh menghadirkan perenungan tentang keselarasan hidup.

Sementara dari Sumatra Barat, pentas dibuka dengan bunyi Gondang Baroguang dari Pasaman Timur yang ditabuh dengan takzim oleh Asmar (82), disusul lenggak lentik Tari Piriang Suluah dan Tari Piriang Solok oleh Asnimar (68 tahun), dendang merdu Ernawati (66 tahun), tiupan saluang Mak Lenggang alias M. Halim (63 tahun), dan Tari Buai-buai yang lembut oleh Masri (71 tahun).

Mereka datang bukan hanya membawa karya, tetapi juga membawa kisah panjang tentang dedikasi, kehilangan, dan harapan.

“Konsep wiraga, wirama, serta wirasa sudah mereka lampaui,” ujar Sulistyo Tirtokusumo, salah satu Dewan Artistik Panggung Maestro. “Yang tersisa adalah kasunyatan — kebenaran yang bersemayam dalam tubuh mereka.”

Lebih dari Sekadar Panggung

Sejak pertama kali digelar pada 2023, Panggung Maestro telah menampilkan 58 maestro dari berbagai daerah, dengan lebih dari 4.600 penonton dan 25 juta tampilan digital. Namun lebih dari angka, esensinya terletak pada energi yang lahir dari perjumpaan generasi.

“Panggung Maestro bukan sekadar perayaan,” kata Endo Suanda, anggota Dewan Artistik lainnya. “Ia adalah pernyataan bahwa energi budaya harus terus mengalir kepada generasi berikutnya. Sukma hanya hidup bila raga dijaga.”

Untuk itu, selain pergelaran, tahun ini juga diadakan Panggung Wacana: Temu dan Bincang Maestro, sebuah forum dialog lintas tradisi dengan tema Menemukan Keseimbangan: Tubuh, Bunyi, dan Spiritualitas dalam Kesenian Nusantara. Forum ini mempertemukan para maestro, peneliti, dosen, dan mahasiswa — menjembatani praktik seni dengan refleksi intelektual.

Dari Tubuh ke Spirit, Dari Tradisi ke Masa Depan

“Setiap karya maestro menyimpan pengetahuan yang tak tertulis — tentang tata rasa, kesadaran spiritual, hingga cara hidup,” tutur Heri Lentho, Dewan Artistik Panggung Maestro. “Nilai-nilai ini penting dibaca ulang, bukan sekadar ditonton, tapi dihidupkan kembali.”

Bagi Restu Imansari Kusumaningrum, pergelaran ini adalah panggilan moral. “Konon, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai warisan budayanya,” ujarnya. “Menjaga maestro adalah pekerjaan besar, tapi juga bentuk cinta kepada masa depan kebudayaan kita.”

Dalam senyum Asmar yang menabuh Gondang, atau napas panjang saluang Mak Lenggang yang tak pernah putus, tersimpan pesan yang lebih luas dari sekadar bunyi dan gerak: bahwa tradisi adalah napas panjang bangsa — dan selama masih ada yang menyalakannya, api itu takkan padam. ssc/rel



BACA JUGA