Pakar Ritel: Indonesia Terancam “Tua Sebelum Kaya”, Dunia Usaha Harus Bergerak Cepat

Rabu, 15/10/2025 07:47 WIB

Yogyakarta, sumbarsatu.com— Indonesia tengah memasuki masa penentuan penting dalam sepuluh tahun ke depan. Pakar ritel dan perilaku konsumen Yongky Surya Susilo mengingatkan komunitas bisnis seperti Kamajaya Business Club (KBC) — divisi ekonomi dari Keluarga Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta (KAMAJAYA) — agar berperan aktif mendorong reformasi daya beli dan penciptaan lapangan kerja di tengah pelemahan konsumsi masyarakat.

Menurut Yongky, periode 2025–2035 akan menjadi “Dekade Kritis” yang menentukan apakah Indonesia mampu menjadi negara maju atau justru menua sebelum sejahtera (getting old before getting rich).

“Jendela bonus demografi akan mencapai titik balik sekitar 2030–2040. Jika tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas dan inovasi, pertumbuhan ekonomi akan melambat,” kata Yongky Surya Susilo dalam forum “Beyond Tomorrow: Strategi Tetap Bertumbuh dalam Pergolakan Ekonomi dan Prediksi Perekonomian ke Depan”, yang digelar KBC di Nara Kupu Yogyakarta, Sabtu (11/10/2025).

Forum yang berlangsung pukul 13.00–18.00 WIB itu dipandu oleh Sekar Tyas Nareswari, Public Relations KBC sekaligus Founder Takon Pakar Edutainment, yang juga bertindak sebagai MC dan moderator.

“Melalui Beyond Tomorrow, kami ingin menghubungkan kembali pelaku bisnis lintas generasi agar saling belajar, berkolaborasi, dan siap menjawab perubahan besar di depan,” ujar Sekar, yang juga berprofesi sebagai Sales Mentor dan Sales Leader di Azko.

Ketua KBC Fransiscus Go, pendiri GMT Property Management dan pemilik Nara Kupu Group, menegaskan pentingnya peran alumni Atma Jaya dalam memperkuat struktur ekonomi riil.

“Kita tidak bisa hanya menunggu kebijakan pemerintah. Kelas menengah hanya bisa bertahan jika kita berkolaborasi menciptakan peluang,” katanya.

Frans menyebut lanskap bisnis 2025 sangat dinamis, dipengaruhi oleh perkembangan teknologi digital, perubahan perilaku konsumen, kebijakan pemerintah, dan tren global seperti ekonomi hijau dan ekonomi kreatif.

Sektor yang dinilai paling prospektif meliputi UMKM digital, bisnis berkelanjutan, pendidikan digital, layanan kesehatan terpadu, hospitality & wellness lokal, F&B, fintech & microfinance, ekonomi kreatif berbasis karakter lokal, properti & smart living, serta AI & otomasi.

Masyarakat Mulai “Trading Down

Yongky yang juga Consumer & Retail Strategist dan Board Expert HIPPINDO menyoroti melemahnya konsumsi rumah tangga sebagai mesin utama ekonomi Indonesia.

“Data FMCG kuartal II menunjukkan pertumbuhan nilai hanya 1%, tetapi turun 3% secara volume. Artinya, konsumen membeli lebih sedikit dan lebih jarang,” jelasnya.

Fenomena trading down makin terasa, di mana konsumen beralih ke merek lebih murah, kemasan lebih kecil, dan frekuensi belanja menurun. Ia juga menyinggung perilaku ROJALI (rombongan hanya lihat-lihat) dan ROHANA (rombongan hanya nanya).

“Mal tetap ramai, tapi daya beli tidak sekuat dulu. Banyak pengunjung hanya melihat-lihat toko tanpa berbelanja, lalu mengalihkan pengeluaran ke restoran. Ini menandakan pergeseran konsumsi dari kebutuhan barang ke pengalaman,” katanya.

Yongky juga mengungkapkan bahwa tabungan rumah tangga kelas menengah-bawah semakin menipis. “Data perbankan menunjukkan saldo kelompok kecil stagnan bahkan menurun dibanding sebelum pandemi. Banyak keluarga kini hidup dari pendapatan ke pendapatan tanpa ruang menabung di tengah kenaikan biaya hidup dan inflasi pangan,” ujarnya.

Reformasi dan Kolaborasi Bisnis

Menurut Yongky, memperkuat daya beli harus disertai reformasi kemudahan berusaha (Ease of Doing Business).

“Potong izin, sederhanakan biaya, dan hentikan ekonomi berbiaya tinggi. Pajak dan tarif baru yang membebani konsumen sebaiknya dihindari,” katanya.

Ia menegaskan bahwa komunitas bisnis seperti KBC dapat menjadi motor kolaborasi untuk mempercepat pertumbuhan sektor riil.

“Kebijakan makro penting, tapi perubahan juga harus datang dari pelaku usaha. Komunitas seperti KBC bisa mempercepat penciptaan lapangan kerja baru,” tambahnya.

Diskusi panel yang dipandu Sekar menghadirkan dua anggota KBC, yakni William Mahardhika Darlius, pengusaha di bidang kuliner (Yamie Panda ±20 cabang), villa (Fulton Villa), dan properti (Astana Property); serta Robertus Bellarmino Argha Nugrahanto, S.Sos., M.H., Founder Enisa dan Owner Adika Business & Legal Consultant, yang berpengalaman di sektor kesehatan dan kecantikan.

Keduanya menyoroti pentingnya inovasi menghadapi perubahan perilaku konsumen, terutama dengan pemanfaatan digital marketing dan kecerdasan buatan (AI).

“Banyak bisnis bagus kehilangan relevansi bukan karena produknya, tetapi karena gagal membaca arah perilaku konsumen. Forum seperti ini membantu kita berpikir lebih strategis dan kolaboratif,” tutur Sekar.

Meski memaparkan tantangan struktural, Yongky menutup sesinya dengan optimisme.

“Masih ada sunshine after the storm. Tapi peluang itu bersyarat—kita harus bergerak cepat, berani berinovasi, dan memperbaiki sistem daya beli. Saya juga mendukung ajakan Pak Purbaya di Kementerian Keuangan yang mendorong Gen Z untuk bergerak dan kaya bersama. Mari kita dukung dan beri umpan balik,” ujarnya.

Acara ditutup oleh Stevan Mandagi, ketua panitia, yang mengajak alumni untuk memperkuat jejaring bisnis.

“Forum ini bukan sekadar wacana. Mari lihat kembali apakah bisnis kita hari ini sudah relevan dengan arah masa depan,” katanya.

Melalui Beyond Tomorrow, KBC menegaskan komitmen alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk beradaptasi terhadap perubahan global, memperkuat kolaborasi lintas generasi, dan menciptakan lapangan kerja baru di tengah perlambatan ekonomi nasional. ssc/rel



BACA JUGA