
Jakarta, sumbarsatu.ciom — Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada Rabu, 9 Oktober 2025, menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “The Role of Civil Society in Building a Democratic Digital Ecosystem” bekerja sama dengan Koalisi Damai, dengan dukungan UNESCO dan Uni Eropa melalui proyek Social Media 4 Peace. Acara berlangsung di Hotel Ascott Sudirman, Jakarta Selatan.
Diskusi menghadirkan tiga narasumber utama: Bangkit A. Wiryawan (Peneliti LP3ES), Maria Ulfah Anshor (Ketua Komnas Perempuan), dan Gaib Maruto Sigit (perwakilan AMSI). Kegiatan ini bertujuan menggali peran masyarakat sipil dalam membangun ekosistem digital yang demokratis, inklusif, dan berbasis hak asasi manusia (HAM).
Ketua AMSI Wahyu Dhyatmika dalam sambutannya menyampaikan keprihatinan terhadap menurunnya perlindungan atas kebebasan berekspresi di ruang digital, terutama bagi generasi muda dan aktivis.
“Diskusi ini mencoba mengkontekstualisasikan secara objektif gagasan Koalisi Damai agar menghasilkan rencana aksi konkret. Kita ingin memperjuangkan tata kelola ruang digital yang berbasis HAM dan perlindungan hak,” ujar Wahyu.
Menurut Wahyu, tata kelola ruang digital di Indonesia masih berorientasi pada pendekatan keamanan dan ketertiban (security approach), bukan pada kebebasan berekspresi dan perlindungan HAM.
“Padahal, sejak awal pengembangannya, tata kelola ruang digital seharusnya menekankan inklusivitas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” tambahnya.
Dari UNESCO, Ana Lomtadze (Communication and Information Specialist) menjelaskan bahwa platform digital memang membuka banyak peluang, tetapi juga menghadirkan risiko terhadap kebebasan berekspresi, keamanan, dan demokrasi. Ia menyinggung guidelines tata kelola platform digital yang diterbitkan UNESCO dua tahun lalu, disusun melalui konsultasi global dengan berbagai pemangku kepentingan.
“Panduan ini menekankan transparansi, akuntabilitas, dan due diligence agar platform digital sejalan dengan prinsip HAM, termasuk kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi,” jelas Ana.
Sementara itu, Dinamisator Koalisi Damai Bayu Wardhana menegaskan pentingnya memastikan suara masyarakat sipil terdengar dalam kebijakan digital.
“Selama ini isu HAM dan suara masyarakat sering kali tidak mendapat ruang. Koalisi Damai hadir agar hak-hak masyarakat tetap terlindungi dan ada titik temu antara kepentingan publik dan kebijakan pemerintah,” ujarnya.
Diskusi publik diawali dengan paparan Maria Ulfah Anshor dari Komnas Perempuan yang menyoroti meningkatnya kasus kekerasan seksual berbasis gender di ruang digital.
“Negara memang telah memberikan perlindungan melalui Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tetapi ruang pengaduan masih terbatas, terutama di daerah 3T. Banyak korban yang tidak melapor,” ungkapnya.
Maria mencatat hanya terdapat 211 kasus kekerasan yang terlaporkan, dan berharap ke depan Komnas Perempuan dapat bersinergi dengan Koalisi Damai untuk memperkuat pendidikan digital dan perlindungan korban.
Dari sisi riset media dan literasi digital, Bangkit A. Wiryawan dari LP3ES menyoroti meningkatnya ancaman di ruang digital berupa ujaran kebencian, misinformasi, dan disinformasi.
“Influencer di Indonesia bisa mengelola 10 hingga 300 akun media sosial. Diperkirakan ada lebih dari 1.000 buzzer aktif hanya di Jakarta. Fenomena ini membuat ruang digital semakin tercemar oleh disinformasi,” ujarnya.
Bangkit mendorong masyarakat sipil memperkuat jaringan dan kapasitas untuk melawan disinformasi serta membangun platform media sosial yang lebih sehat dan transparan.
Perwakilan AMSI Gaib Maruto Sigit menegaskan pentingnya peran media dalam melindungi hak digital masyarakat, termasuk kebebasan berekspresi dan perlindungan data pribadi.
“Banyak masyarakat belum memahami hak digitalnya. Media berperan penting mengawasi kebijakan digital, mengungkap potensi pelanggaran seperti sensor atau kebocoran data, dan memperjuangkan ruang digital yang inklusif serta bebas diskriminasi,” tegasnya.
“Media adalah penjaga demokrasi di ruang digital. Kita harus memastikan ekosistem digital tetap aman, etis, dan berpihak pada publik,” lanjutnya.
Koalisi Damai merupakan gabungan dari 16 organisasi masyarakat sipil independen yang berfokus pada advokasi hak digital dan kebijakan publik. Koalisi ini bertujuan memberi masukan kepada platform media sosial terkait moderasi konten, penilaian risiko, dan protokol penanganan disinformasi, khususnya yang berkaitan dengan Pemilu dan ujaran kebencian, berdasarkan pemahaman mendalam terhadap konteks sosial-budaya di Indonesia. ssc/rel