Diseminasi hasil liputan investigasi kolaborasi bertajuk “Menyelamatkan Mentawai dari Keserakahan”. Kegiatan ini digelar oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) Simpul Sumatera Barat di Kantor AJI Padang, Jumat (26/9/2025) yang diikuti jurnalis dan aktivis lingkungan.
Padang, sumbarsatu.com –Pada suasan yang tenang di Kota Padang, layar proyektor di Kantor AJI Padang menayangkan potongan video investigasi. Gambar demi gambar memperlihatkan hutan hijau yang mulai terancam, suara masyarakat adat yang kian resah, dan jejak-jejak perusahaan yang berusaha menancapkan kepentingan di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai.
Ancaman terhadap hutan dan masyarakat adat Mentawai menjadi sorotan dalam acara diseminasi hasil liputan investigasi kolaborasi bertajuk “Menyelamatkan Mentawai dari Keserakahan”. Kegiatan ini digelar oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) Simpul Sumatera Barat di Kantor AJI Padang, Jumat (26/9/2025) yang diikuti jurnalis dan aktivis lingkungan.
Pulau Sipora mungkin hanya sebatas titik kecil di peta Nusantara. Luasnya sekitar 615 kilometer persegi—tak lebih besar dari kota-kota menengah di Jawa. Namun, di pulau kecil ini berdenyut kehidupan lebih dari 22 ribu jiwa, tersebar di dua kecamatan: Sipora Utara dan Sipora Selatan. Tuapejat, ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai, berdiri di tepiannya, menjadi jantung birokrasi sekaligus pintu gerbang peradaban Mentawai.
Di balik riuh geliat manusia, Sipora juga menyimpan sisa-sisa hutan hujan tropis yang pernah membalut pulau itu dengan lebat. Kini, hanya sekitar 661 hektare yang masih berstatus hutan lindung.
Sementara itu, hampir 29 ribu hektare dikategorikan sebagai hutan produksi, sekitar 5.800 hektare hutan produksi konversi, dan lebih dari 26 ribu hektare masuk dalam areal pemanfaatan lain.
Angka-angka kering itu menyiratkan sebuah kenyataan getir: ruang hijau yang dulu menjadi pelindung air, tanah, dan udara, kini kian terfragmentasi oleh logika pemanfaatan.
Bagi masyarakat adat Mentawai, hutan bukan sekadar bentangan pepohonan. Ia adalah sumber hidup, tempat obat-obatan alami ditemukan, tempat mitos dan cerita leluhur berakar, sekaligus ruang ekonomi yang menopang dapur keluarga. Hilangnya hutan berarti hilangnya air, pangan, bahkan jati diri.
“Ketika hutan hilang, maka kami pun hilang,” begitu kerap diungkapkan para tetua di dusun-dusun Sipora.
Namun justru di pulau kecil yang rapuh ini, bayang-bayang eksploitasi besar-besaran mengintai. Perusahaan-perusahaan dengan modal raksasa melirik hutan Sipora sebagai lahan basah baru. Rencana konsesi kayu dan perkebunan digadang-gadang mampu mendorong ekonomi, tetapi di balik janji manis itu, masyarakat membaca ancaman: deforestasi, bencana ekologis, dan konflik lahan yang tak berkesudahan.
Di berbagai forum, suara penolakan masyarakat adat, mahasiswa, hingga organisasi lingkungan bersahutan. Mereka menilai, eksploitasi di pulau sekecil Sipora sama saja dengan menyalakan api di sekam. Sekali hutan gundul, banjir dan longsor tak bisa dielakkan. Sekali tanah adat tergerus, identitas pun terhapus.
Sipora, pulau kecil di persimpangan, kini menjadi panggung pertaruhan: apakah ia akan tetap berdiri sebagai rumah bagi hutan perawan yang tersisa dan masyarakat adat yang menjaga keseimbangannya, ataukah ia akan terseret ke arus keserakahan yang menjadikan pulau ini sekadar catatan baru dalam daftar panjang ekosida di Indonesia.
Pulau Sipora bukanlah pulau besar. Justru karena kecil, keberadaannya sangat rentan. Hutan menjadi sumber kehidupan utama masyarakat adat. Ketika hutan tergerus, bukan hanya pepohonan yang hilang, tetapi juga air, tanah, dan ruang hidup generasi mendatang.
“Bagi kami, hutan bukan sekadar ekonomi. Hutan adalah kehidupan dan masa depan,” tegas Markolinus Sagulu dari Forum Mahasiswa Mentawai.
Suaranya bergetar, tapi lantang. Ia mengingatkan bahwa janji-janji pemerintah daerah—yang sempat dituangkan dalam surat resmi—berubah menjadi “omong kosong” karena tidak pernah ditindaklanjuti.
Nada yang sama terdengar dari Gerson Saleleubaja, aktivis Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCM). Ia menyoroti pemberian izin yang tumpang tindih dengan wilayah adat.
“Kalau tidak diselesaikan secara partisipatif, ini bisa menimbulkan gejolak sosial,” ujarnya.
Bagi masyarakat, lahan yang kini terancam bukan sekadar tanah. Itu adalah sawah, kebun, dan ladang tempat mereka menanam. Kini, sebagian sudah tidak bisa lagi digarap karena tertimbun material bencana dan rencana konsesi.
Investigasi enam media—Tempo, KBR, Langgam, Mentawaikita, Law-Justice, dan Ekuatorial melalui Depati Project—membongkar jejak perusahaan PT SPS yang disebut-sebut akan membuka jalan bagi deforestasi besar-besaran di Sipora.
Dari dokumen yang ditelusuri Walhi Sumbar, cacat prosedural tampak jelas: dokumen Amdal tanpa kajian mitigasi bencana, tanpa sosialisasi menyeluruh, dan diabaikannya prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).
“Ini bukan hanya soal izin. Ini praktik ekosida,” kata Indah, perwakilan Walhi Sumbar, sambil menunjukkan temuan bahwa tujuh desa di Sipora secara tegas menolak kehadiran perusahaan.
Selain itu, Indah menegaskan tidak pernah ada sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat yang terdampak. Situasi ini, menurutnya, mencerminkan praktik ekosida karena dampak kerusakan ekologisnya akan bersifat panjang dan berkelanjutan.
Yose Hendra, Jurnalis Langgam.id dan kolaborator investigasi Depati Project, menyinggung sosok pemilik PT SPS, Haji Bahrial, yang disebut sebagai figur lama dalam sejumlah konflik agraria dan pertambangan di Sumatera Barat.
“Nama Haji Bahrial, pemilik PT SPS, juga menyeruak. Sosok lama yang kerap disebut dalam konflik agraria di Sawahlunto dan pertambangan di Bidar Alam, kini hadir kembali di Mentawai. Publik khawatir sejarah lama itu berulang,” jelas Yose Hendra.
Aidil Ichlas dari Depati Project menutup sesi dengan kalimat sederhana namun menohok: “Pulau kecil ini sangat rentan. Ketika hutan hilang, air pun hilang, dan masyarakat kehilangan segalanya.”
Sipora kini berada di persimpangan. Apakah tetap menjadi rumah yang ramah bagi masyarakat adatnya, atau berubah menjadi pulau kecil yang perlahan kehilangan jiwa?
Lalu apa itu ekosida?
Ekosida pada dasarnya adalah praktik penghancuran alam secara masif yang mengakibatkan kerusakan serius dan berkelanjutan terhadap ekosistem. Bukan hanya soal menebang pohon atau membuka lahan, tetapi sebuah proses sistematis yang meluluhlantakkan keseimbangan alam, hingga mengancam keberlangsungan hidup manusia maupun makhluk lain yang bergantung padanya.
Dalam konteks Pulau Sipora, ancaman ekosida dapat dilihat dari rencana deforestasi besar-besaran oleh perusahaan. Pulau ini berukuran kecil, rapuh, dan memiliki hutan hujan tropis yang menjadi benteng terakhir bagi air, udara, dan kehidupan masyarakat adat. Ketika hutan hilang, tanah tergerus, sumber air mengering, dan bencana ekologis akan datang silih berganti.
Ekosida juga berarti perampasan ruang hidup masyarakat adat. Bagi orang Mentawai, hutan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga budaya, spiritual, dan identitas. Jika hutan mereka musnah, maka terputus pula tali warisan yang menghubungkan generasi lama dengan generasi baru.
Karena itu, ekosida dipandang sebagai bentuk kejahatan lingkungan yang sama beratnya dengan pelanggaran hak asasi manusia. Sebab, ia merampas hak dasar: hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.ssc/mn