Maninjau: Antara Wisata dan Keramba Jaring Apung

Jum'at, 15/08/2025 11:11 WIB
Danau Maninjau dan keramba jaring apung yang jumlah belasan ribu. foto antara

Danau Maninjau dan keramba jaring apung yang jumlah belasan ribu. foto antara

Laporan Miazuddin Sutan Marajo (wartawan sumbarsatu)

Maninjau padinyo masak,
Batang kapeh batimba jalan,
Hati risau dibao galak,
Nan bak paneh manganduang hujan.

BEGITULAH kondisi pariwisata kawasan Maninjau saat ini. Tidak ada yang meragukan kalau Danau Maninjau merupakan destinasi wisata nan menawan, dengan segala keindahan alamnya. Kondisi itu semakin menarik, terutama bagi wisatawan mancanegara, dengan keberadaan Museum Buya Hamka.

Bung Karno sendiri pernah mengakui, belum berarti datang ke Ranah Minang kalau belum datang ke Maninjau.

Dulu, Maninjau ramai dikunjungi wisatawan mancanegara. Mereka begitu takjub memandang kemilau Danau Maninjau. Airnya yang bening membuat butiran kerikil di dasar danau tampak jelas, bagaikan maha karya lukisan Sang Pelukis Ulung. Mereka mandi, berenang, dan berbiduk sembari bercanda ria.

Kehadiran mereka pun menghidupkan ekonomi anak nagari salingka danau. Palai rinuak, masakan pensi, dan aneka kuliner khas danau menjadi teman mereka menikmati suasana damai di tepi Danau Maninjau.

Hotel dan penginapan mulai tumbuh. Rumah tempat tinggal pun ada yang disulap menjadi penginapan yang populer dengan sebutan homestay.

Penginapan murah meriah ramai tamu, bukan hanya wisatawan mancanegara, tetapi juga wisatawan nusantara.

Di antara homestay yang terbilang pelopor adalah Palanta. Pengusaha Palanta Homestay semula hanya memiliki satu unit, kemudian, karena pengunjung kian banyak, jumlah homestay itu bertambah.

Warga lainnya pun mengikuti jejak pengusaha Palanta Homestay. Mereka menyulap rumah tempat tinggal menjadi homestay.

Kawasan pinggiran danau, terutama di Nagari Maninjau dan Bayur, kian semarak dengan banyaknya homestay di sana.

Maninjau Indah, hotel milik pelopor pariwisata Maninjau, Rajo Bintang, sebagai hotel pertama di Maninjau, ikut berkembang seiring dengan makin maraknya homestay di kawasan itu.

Tapi itu dulu—sebelum perairan danau tercemar, sebelum keramba jaring apung (KJA) menghiasi wajah danau nan permai itu.

Ketika perairan mulai tercemar, para wisatawan pun mulai menjauh. Maka timbullah tudingan segelintir pengamat pariwisata bahwa KJA menjadi penyebab lesunya pariwisata Maninjau.

Benarkah itu?

Sepintas tudingan itu benar. Dikatakan “sepintas” karena ada masalah lain yang lebih krusial.

KJA tumbuh dan berkembang bagaikan tak terkendali, karena tuntutan ekonomi warga. Dengan berusaha di sektor KJA, mereka bisa memperoleh penghasilan untuk kebutuhan keluarga.

Maka mulailah diupayakan berbagai cara yang ternyata sampai kini tidak manjur. Dikatakan tidak manjur karena semua usaha yang telah dilakukan, jangankan menghabiskan KJA, untuk mengurangi jumlahnya saja belum mampu.

KJA terus tumbuh dan berkembang, mengakibatkan pencemaran perairan danau. Air danau yang tercemar menyebabkan musibah matinya ikan di perairan, terutama dalam KJA. Musibah itu terjadi setiap tahun dan menimbulkan kerugian miliaran rupiah. Namun warga bertahan, karena itulah usaha yang bisa mereka lakukan.

Untuk mengurangi jumlah KJA di Danau Maninjau, menurut beberapa pengamat, diperlukan upaya yang mampu menggantikannya sebagai usaha penghasil uang.

Bisa saja memindahkan usaha petani KJA ke sektor lain, seperti tambak atau industri rumah tangga. Namun, tampaknya tidak ada satu pun usaha tersebut mampu menarik minat petani KJA karena dinilai tidak mampu menggantikan KJA.

Beberapa pengamat berpendapat, usaha KJA bisa ditutup bila sektor pariwisata bergairah kembali seperti dulu. Bila pariwisata bangkit, usaha KJA secara perlahan akan berkurang.

Untuk menghidupkan pariwisata yang mati suri itu, diperlukan pembangunan sarana dan prasarana yang memadai.

Kondisi jalan yang buruk dan medan yang sulit merupakan kendala utama memajukan pariwisata di Agam, bukan saja di kawasan Maninjau.

Kondisi jalan di kawasan Kelok 44 tidak mendukung pariwisata Maninjau. Selain badan jalan yang buruk, medan jalan juga sulit dilalui bus pariwisata dari arah Bukittinggi.

Dari arah Padang via Lubuk Basung, kondisi jalan juga kurang baik. Hal itu menambah keengganan wisatawan menapakinya.

Wisatawan memerlukan kenyamanan dan keamanan. Menempuh jalan buruk menuju objek wisata pilihan mereka sama sekali tidak menjanjikan kenyamanan dan keamanan.

Faktor lain adalah ketersediaan prasarana MCK di objek wisata yang didukung air bersih memadai.

Kamar mandi dan toilet yang jorok akan membuat wisatawan tidak nyaman. Begitu juga dengan perilaku pelaku pariwisata yang kurang ramah.

Apakah Agam akan menjadikan sektor pariwisata sebagai primadona pemasok PAD, seperti yang diinginkan bupati terdahulu?

Kalau jawabannya “iya”, maka bupati saat ini, Benni Warlis, harus bekerja keras menambal lubang-lubang menganga di sektor itu, dengan membenahi sarana dan prasarana yang dibutuhkan.

Modal dasar berupa alam nan indah dan menawan sudah dianugerahkan Sang Pencipta. Tinggal lagi para pihak berwenang memolesnya dengan membangun sarana dan prasarana yang memadai, serta membina sikap dan perilaku pelaku pariwisata, mulai dari pedagang kecil di objek wisata sampai tukang parkir.*



BACA JUGA