Catatan Peserta: Rakornas ICCN di Padang, Implementasi Kota Gastronomi yang Gagap

Selasa, 12/08/2025 15:40 WIB

OLEH Kurniasih Zaitun (Bergiat di Komunitas Seni Hitam Putih) 

AWAL pekan Agustus 2025 lalu, Kota Padang menjadi tuan rumah Rapat Koordinasi Nasional Jaringan Kota Kreatif Indonesia (Indonesia Creative Cities Network—ICCN). Selama empat hari, 6–9 Agustus, para pelaku kreatif, akademisi, pebisnis, jurnalis, pemerintah, dan penghubung komunitas berkumpul.

Ruang pertemuan di Hotel ZHM Premiere dan Bagindo Aziz Chan Youth Center Padang dipenuhi percakapan tentang inovasi, peluang, dan masa depan kota kreatif di Indonesia, dan implementasi kerja-kerja kolaboratif lintas disiplin.

ICCN, yang terhubung dengan Unesco Creative Cities Network (UCCN), menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor atau pentahelix untuk membangun kota kreatif yang berkelanjutan. Pembukaan Rakornas di THE ZHM Premiere Hotel Padang pada Jumat (8/8/2025), ditandai pemukulan gendang tabuh oleh Wakil Menteri Kebudayaan RI Giring Ganesha Djumaryo, Staf Khusus Presiden RI Bidang Ekonomi Kreatif Yovie Widianto, dan Ketua Umum ICCN Tubagus Fiki C. Satari. Turut mendampingi Wali Kota Padang Fadly Amran dan Wakil Wali Kota Maigus Nasir. Rakornas juga dihadiri Teuku Riefky Harsya,  Menteri Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia. 

Kegiatan ini juga menjadi kesempatan bagi Kota Padang untuk menegaskan identitasnya sebagai Taste of Padang Experience dan yang berkehendak menuju Padang sebagai Gastronomy City UNESCO 2027. Namun, mirisnya, keinginan itu tidak terlihat dari kerja yang diperlihatkan Pemko Padang, dan stakeholder yang sangat disayangkan potensi itu belum sepenuhnya tersaji di depan mata.

Selama acara, narasi dan jenama Padang sebagai kota gastronomi belum terkelola maksimal malah mengesankan dipaksakan. Belum muncul kepermukaan dan kepada publik, apa sebenarnya kota gastronomi iu? Tak ditemukan informasi dan narasi sepanjang giat Rakornas ICCN dan perayaan Hari Jadi ke-356 Kota Padang yang pelaksanaan dalam satu rangkaian itu.  Padang menuju Gastronomy City UNESCO 2027 masih tampak utopis.

Selain itu, secara keseluruhan pelaksanaan Rakornas ICCN di Kota Padang, yang dikesankan sukses, kendati saya sendiri tidak melihat secara penuh dan maksimal keterlibatan komunitas kreatif di luar lingkar inti penyelenggara. Dan tata pelaksanaan yang kocar-kacir mengelola dan menata kegiatan. Manajemen dan koordinasi pembagian kerja tampak belum disiapkan secara matang sehingga banyak waktu yang terbuang, dan nyaris semua agenda molor dari jadwal yang ditetapkan.  

Dari aspek keterlibatan dan partisipasi lintas jejaring juga tidak berjalan. Sejumlah pelaku kreatif mengaku kurang terlibat dalam forum strategis ini, padahal mereka memiliki ide dan potensi untuk memperkaya diskusi, dan tentu saja dalam praktik baik saat implementasi di Kota Padang kelak mereka juga ingin berkontribusi.

Untuk hal ini, mengapa terjadi, saya mencium gelagat antar jejaring komunitas kreatif di Sumatera Barat—terutama Kota Padang—tidak satu perspektif menyikapi kegiatan besar ini. Ada yang “sengaja” ditinggal, dan ada pula yang mempertahankan egoisme sempitnya sehingga tampak Rakornas ICCN di Padang kurang gereget dan tidak jadi milik bersama.

Selain itu, publikasi kegiatan juga dinilai masih terbatas, sehingga banyak warga di Padang tidak mengetahui secara detail agenda maupun manfaat Rakornas ICCN ini bagi kota mereka. Selain itu, beberapa diskusi tematik berlangsung singkat sehingga belum menghasilkan rencana aksi yang konkret untuk ditindaklanjuti.

ICCN sendiri menyebutkan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah memastikan hasil Rakornas tidak berhenti di forum, tetapi berlanjut menjadi program nyata di daerah. Perlu dipastikan semua ide besar ini diterjemahkan menjadi aksi di lapangan. Jika ini hanya semata berada dalam slide power point, tentu kita akan merasakan kemubaziran saja yang pelaksanaan rakornas ICCN ini tidak sedikit menelan dana.

Jenama Kota Gastronomi yang Gagap

Sepanjang kegiatan Rakornas ICCN, produk UMKM yang menurut informasi jumlahnya mencapai 50 ribuan di Kota Padang, dan sebagian besar bergerak di sektor masak-memasak atau kulinari, yang tampil memang beragam, tetapi belum menggambarkan kekayaan kuliner dan kreativitas yang menjadi ciri khas kota ini. Padahal, Padang sebagai pusat perdagangan dan budaya memiliki peluang besar untuk mengembangkan industri kreatif gastronomi yang modern dan kompetitif.

Gastronomi sejatinya bukan hanya soal makanan semata. Ia juga melibatkan seni pertunjukan, seni rupa, fesyen, kerajinan tangan, desain, film, fotografi, hingga teknologi digital yang menguatkan pengalaman kuliner itu sendiri. Semua ini dapat menjadi etalase bagi Padang—dan kota-kota lain di Sumatera Barat—untuk memikat wisatawan sekaligus membuka lapangan kerja baru. Tapi, terlihat, gagal dijenama Pemerintah Kota Padang, termasuk ICCN Sumatera Barat.

Membangun kota kreatif dengan jenama apalagi dengan kota gastronomi adalah kerja panjang yang membutuhkan kesabaran, strategi, dan kebersamaan. Pemerintah, perguruan tinggi, pelaku industri kreatif, media, agregator, pebisnis dan masyarakat harus menjadi satu tim. Ia tak bisa digerakkan dari isi satu kepala saja.

Kota kreatif bukan memberi julukan-julukan dan moto dengan bahasa asing  yang jauh dari “rasa bahasa” yang tidak mengakar dalam emosional masyarakat. Program yang dikatakan berhasil jika mendapat dukungan dan mendorong partisipasi aktif publik di dalam. Dalam aspek penggunaan bahasa asing di sana-sini, tentu saja terasa “eksklusif” dan berjarak dengan publik.

Selain itu, Pemerintah Kota Padang, kesannya belum optimal melakukan kerja-kerja kolaboratif lintas sektor dan disiplin sehingga kehendak untuk menjadi sebuah kota dengan lekatan Kota Gastronomi tampak masih jauh panggang dari api. Tentu saja hal serupa juga terlihat dari cara kerja ICCN Sumatera Barat.

Quo Vadis Kota Padang Pasca-Rakornas ICCN

Kita tahu, Rakornas ICCN merupakan agenda dua tahunan yang mempertemukan perwakilan kota dan kabupaten anggota ICCN dari seluruh Indonesia. Tujuannya jelas, memperkuat jejaring kota kreatif, berbagi praktik baik, serta merumuskan strategi pengembangan ekosistem kreatif di tingkat nasional. Secara umum, capaian yang dihasilkan dalam rakornas ini patut diapresiasi.

Paling tidak Rakornas ICCN ini sukses menjadi ajang pertemuan lintas kota dan lintas sektor, menghadirkan delegasi dari berbagai daerah serta mempererat komunikasi antara pegiat kreatif, pemerintah daerah, dan ICCN pusat. Dan itu capaiannya masih berwarna silaturahmi semata.

Dari itu pula, pertanyaan urgen yang mesti dijawab dengan implementasi konkret dan memastikan manfaat Rakornas ICCN 2025 yang dilaksanakan di Kota Padang agar tidak berhenti pada momentum acara, maka rencana aksi harus disusun sebagai langkah tindak lanjut.

Saya mengusulkan, pertama, penyusunan daftar rekomendasi yang konkret dan terukur untuk dilaksanakan di Padang dan kota-kabupaten lainnya di Sumatera Barat dalam kurun waktu enam hingga dua belas bulan ke depan. Daftar ini diharapkan menjadi panduan kerja yang jelas, bukan sekadar catatan rapat.

Kedua, memperluas keterlibatan komunitas kreatif lokal lintas subsektor. Artinya, para pelaku kreatif dari berbagai bidang—mulai dari seni pertunjukan, seni rupa, kuliner, desain, hingga teknologi—perlu diajak terlibat sejak tahap perencanaan program lanjutan, sehingga hasilnya benar-benar mencerminkan kekuatan dan keberagaman ekosistem kreatif Padang.

Ketiga, merancang strategi publikasi berkelanjutan. Hasil Rakornas dan peluang kolaborasi yang lahir darinya perlu terus diinformasikan kepada publik melalui media lokal, media sosial, dan forum komunitas, agar masyarakat tetap terhubung dan dapat ikut berpartisipasi.

Dan keempat, memperkuat jejaring bisnis kreatif. Salah satu usulan penting adalah memfasilitasi pertemuan khusus antara pelaku industri kreatif dari berbagai kota untuk membangun kerja sama konkret. Dengan cara ini, ide-ide besar yang lahir di Rakornas bisa segera diwujudkan dalam bentuk proyek nyata yang berdampak ekonomi sekaligus sosial.

Dengan empat langkah tersebut, hasil Rakornas ICCN di Padang diharapkan tidak hanya menjadi dokumentasi acara tahunan, melainkan titik awal bagi lahirnya kolaborasi yang berkelanjutan dan membawa manfaat langsung bagi pelaku kreatif maupun masyarakat luas.*



BACA JUGA