Melawat ke Shenzhen

Senin, 15/09/2025 14:55 WIB

OLEH Alfitri (Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas)

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina—adalah pituah lama yang kini semakin relevan. Tentu saja, karena Cina sekarang sudah sangat maju secara sosial, ekonomi, budaya, teknologi, dan aspek lainnya.

Pencapaian kemajuan Cina yang luar biasa inilah yang, antara lain, banyak menarik orang untuk berkunjung, termasuk saya. Tahun 2024, misalnya, tercatat lebih dari 95 juta wisatawan asing berkunjung ke Cina (antaranews.com, 1/10/2024).

Demikianlah, dengan tujuan Shenzhen, Jumat (5/9/25) tengah hari, saya pun mendarat di Bandara Internasional Makau. Dari Makau menuju Shenzhen, terlebih dahulu saya melewati Zhuhai, sebuah kota pantai yang juga berdekatan dengan Hong Kong.

Setelah sightseeing sebentar di Zhuhai—yang menurut saya sepuluh kali lebih hebat daripada Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta—perjalanan ke Shenzhen dilanjutkan melewati jembatan dan terowongan bawah laut dari Zhongshan.

Perjalanan ke Shenzhen ini merupakan pengalaman yang membuka mata terhadap dinamika pembangunan di Cina. Melaju di atas Jembatan Zhongshan–Shenzhen, sebuah megastruktur yang membentang di atas laut sepanjang 24 kilometer—di mana 2 km di antaranya berupa terowongan bawah laut—sudah menggambarkan betapa seriusnya Cina membangun infrastruktur sebagai fondasi pembangunan ekonominya.

Saat tiba di perbatasan Shenzhen, saya segera merasakannya sebagai kota metropolitan yang sangat modern dan futuristik. Sore itu, melewati kawasan Futian, pusat pemerintahan dan bisnis kota ini, saya dibuat kagum oleh deretan gedung pencakar langit yang tertata rapi, jalan raya yang lebar dan bersih, serta mobilitas kaum urban yang ramai namun tertib. Banyak kendaraan di jalan, tetapi senyap, karena sebagian besar bus, taksi, dan kendaraan pribadi sudah berupa EV (electric vehicle).

Seperti yang Anda tahu, Shenzhen baru ditetapkan sebagai Zona Ekonomi Khusus pada tahun 1980. Dalam waktu kurang dari setengah abad, kota ini bertransformasi dari desa nelayan menjadi pusat teknologi global. Dengan visi pembangunan yang kuat, terwujud reformasi ekonomi Deng Xiaoping yang membuka jalan bagi investasi asing dan liberalisasi pasar terbatas, yang secara dramatis mengubah wajah kota. Transformasi yang begitu cepat dan terstruktur ini menjadi bukti bagaimana kebijakan pembangunan dapat mengakselerasi perubahan sosial-ekonomi.

Di Shenzhen juga terdapat kawasan yang dikenal sebagai “Silicon Valley”-nya Cina, rumah bagi perusahaan teknologi raksasa seperti Huawei dan Tencent (South China Morning Post, 13/7/2023). Di sini, inovasi didorong secara sistemik oleh dukungan negara, akses pendanaan, dan kolaborasi antara universitas, perusahaan, serta pemerintah. Ekosistem ini bukan hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menunjukkan bagaimana pembangunan berorientasi pada masa depan.

Di jalan-jalan kota, saya menemukan sistem kota cerdas (smart city) yang benar-benar berfungsi: CCTV di berbagai sudut, sistem pengelolaan lalu lintas berbasis AI, hingga layanan publik seperti taman digital yang terkoneksi dengan aplikasi ponsel. Kota ini tampaknya sudah dan terus bertransformasi dengan berbagai bentuk tata kelola digital yang memungkinkan efisiensi sekaligus pengawasan keamanan dan sosial.

Hal ini tentu mengundang perenungan tentang bagaimana pembangunan juga membawa dinamika baru dalam relasi antara negara dan warga. CCTV ada di mana-mana. Namun, ketika saya berjalan pagi di sekitar Wenfu Square, saya melihat banyak warga yang tampak gembira berlatih tai chi.

Ruang publik tampak dikelola dengan baik. Taman-taman kota bersih, penuh dengan warga yang berolahraga, anak-anak bermain, dan orang tua berkumpul. Semua ini menunjukkan bahwa pembangunan tidak melulu berorientasi ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan kultural. Kota ini dibangun bukan hanya untuk investor dan elite, tetapi juga memberikan ruang hidup yang layak dan sehat bagi warganya. Sebuah indikator penting dalam perspektif pembangunan manusia.

Minggu pagi (7/9/2025), saya dan teman-teman dari Hotel Honglilai bersiap menuju Hong Kong. Di kamar, sebelum check-out, saya meninggalkan satu kemeja beserta secarik kertas bertuliskan please take it for you, dengan harapan petugas pembersih kamar mau menerimanya. Ini adalah kebiasaan yang saya tiru dari Haji Nurli Zakir ketika pernah sekamar dengan beliau saat umrah tahun 2009.

Saya dan teman-teman pun bertolak menuju Hong Kong dan sempat mampir sebentar di sekitar Happy Harbor, dekat Teluk Qianhai. Di sana, saya melihat lanskap kota yang berpadu harmonis dengan alam. Jalur sepeda, pejalan kaki, dan area hijau menjadi simbol bahwa kota ini juga memperhatikan aspek ekologi dalam pembangunannya. Di sinilah saya merasa bahwa Shenzhen bukan hanya simbol kemajuan material, tetapi juga cerminan dari visi pembangunan berkelanjutan yang sedang Cina kembangkan.

Kembali naik bus menuju Hong Kong, tiba-tiba ponsel tour leader kami berdering. Rupanya itu telepon dari Hotel Honglilai. Petugasnya ingin mengonfirmasi kemeja yang tertinggal di kamar hotel. Segera saya bilang kepada tour leader: silakan ambil. Ia pun langsung menyampaikannya dalam bahasa Mandarin kepada petugas tersebut. Saya takjub mengingat sikap jujur petugas hotel itu.

Dua hari di Shenzhen terasa singkat, namun cukup untuk memberikan saya pencerahan sebagai pembelajar sosiologi pembangunan. Shenzhen bukan sekadar kota modern, tetapi juga dapat menjadi laboratorium sosial yang menunjukkan bagaimana kebijakan, teknologi, masyarakat, dan budaya saling berinteraksi dalam proses pembangunan.

Kota ini menjadi contoh nyata bahwa pembangunan bisa dirancang dan dikawal secara strategis, meski mungkin juga menyisakan tantangan sosial yang harus dijawab. Shenzhen bukan hanya masa depan Cina—ia mungkin juga gambaran arah pembangunan global di abad ke-21.*



BACA JUGA