Sungai Mekong dan Popkin: Catatan Perjalanan ke Vietnam dan Kamboja

BAGIAN 6

Sabtu, 10/05/2025 05:55 WIB

OLEH Alfitri (Dosen Departemen Sosiologi FISIP Unand)

HARI kelima, Kamis, 24 April 2025, pagi setelah Subuh, Siti Hara sudah menjemput kami di hotel. Pagi itu kami akan melayari Sungai Mekong dari Chau Doc, Vietnam, menuju Phnom Penh, Kamboja.

Dengan mobil Siti Hara dan satu Grab tambahan, kami segera menuju dermaga speedboat di samping Hotel Victoria. Ini adalah hotel favorit turis asing di Chau Doc yang terletak di tepi Sungai Mekong. Sesampainya di dermaga, seorang petugas speedboat yang merupakan kenalan Siti Hara sudah menunggu kami. Melalui dia, sehari sebelumnya Siti Hara telah memesan tiket untuk kami.

Pukul 08.00, speedboat yang kami tumpangi mulai berlayar menyusuri Sungai Mekong. Speedboat itu penuh oleh sekitar 80 penumpang yang sebagian besar adalah turis asing dari berbagai negara. Selain kami bertujuh, hanya ada sepasang turis WNI keturunan Tionghoa. Tampaknya, speedboat ini memang hanya digunakan oleh para turis. Sementara itu, warga setempat lebih memilih jalur darat ke Phnom Penh dengan naik bus.

Hampir satu jam menyusuri Sungai Mekong, speedboat kami menepi di pos imigrasi Vietnam. Seluruh penumpang turun dan duduk menunggu di sebuah kafe yang menyatu dengan pos imigrasi tersebut. Seluruh paspor dikumpulkan oleh petugas speedboat tadi untuk dicap oleh pihak imigrasi Vietnam. Sementara itu, saya dan beberapa penumpang lainnya menukar uang Vietnam yang tersisa dengan uang Kamboja di money changer yang ada di sana.

Sekitar 45 menit kemudian, kami kembali naik speedboat dan melanjutkan perjalanan. Namun, baru sekitar 20 menit berlayar, speedboat kembali menepi untuk proses cap paspor di pos imigrasi Kamboja. Berkat bantuan petugas speedboat kenalan Siti Hara tadi, kami bisa lebih dahulu menjalani proses imigrasi sehingga sempat berfoto-foto di lingkungan pos imigrasi Kamboja yang teduh dan cukup estetik. Kami berhenti sekitar 45 menit di sana.

Sejak mulai berlayar dari Chau Doc, Vietnam, saya menyaksikan pemandangan delta Sungai Mekong yang subur. Di kiri dan kanan tepi sungai terbentang areal pertanian, rumah-rumah petani, dan di beberapa titik terdapat penggilingan padi (Rice Milling Unit) yang besar. Kanal-kanal yang terhubung dengan Sungai Mekong menjadi sumber irigasi sekaligus jalur transportasi yang dimanfaatkan petani dengan kapal-kapal kecil mereka.

Saya pun teringat pada karya Samuel L. Popkin yang berjudul The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam, yang pertama kali terbit dalam bahasa Inggris tahun 1979. Buku Popkin ini menyanggah pandangan James C. Scott dalam bukunya The Moral Economy of the Peasant, yang terbit tiga tahun sebelumnya.

Scott berpandangan bahwa tindakan petani lebih didasarkan pada norma dan nilai komunitas petani. Sebaliknya, menurut Popkin, petani adalah agen rasional yang mementingkan diri sendiri dan bertindak untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Lebih lanjut, Popkin berpendapat bahwa petani mengikuti logika investasi rasional untuk memutuskan bergabung atau tidak dengan gerakan, ideologi, atau institusi tertentu.

Kendati sama-sama mempelajari dampak kolonialisme dan kapitalisme pada masyarakat agraris tradisional di daratan Asia Tenggara, keduanya menghasilkan teori perilaku petani yang berlawanan.

Tesis Popkin adalah bahwa petani merupakan aktor rasional yang cermat dalam menghitung ongkos dan manfaat dari setiap tindakan atau keputusan demi kepentingan pribadi. Ia membantah pandangan moral economy Scott yang menyatakan bahwa norma dan nilai membentuk masyarakat.

Menurut Popkin, norma bisa berubah, dinegosiasikan ulang, dan bergeser sesuai pertimbangan kekuasaan serta interaksi strategis antarindividu (Popkin, 1986).

Ketika duduk di dek belakang speedboat sambil memandang tepian Sungai Mekong, saya berkata kepada Prof. Rudi, “Mungkin sudah ratusan artikel ilmiah yang membahas dinamika sosial-ekonomi pertanian Vietnam sejak hasil riset Popkin itu terbit.”
“Betul, dan sampai sekarang pun masih banyak yang melakukan riset terkait delta Mekong ini. Saya pun tertarik untuk melakukan kerja sama riset di sini,” jawab Prof. Rudi.

Tak terasa, speedboat kami sudah mendekati Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Dari kejauhan mulai tampak gedung-gedung tinggi dan jembatan yang melintasi Sungai Mekong. Phnom Penh tampak sedang giat membangun.

Sekitar pukul 13.30 kami telah menjejakkan kaki di Kota Phnom Penh. Di dermaga speedboat, kami dijemput oleh Kim Hong, mahasiswa bimbingan Prof. Ardi asal Kamboja yang telah menyelesaikan studi S1 dan S2 di Unand. Ia sopan dan sangat lancar berbahasa Indonesia.

Siang itu, Phnom Penh sedang panas berdentang. Untung saja Kim Hong segera memandu kami masuk ke dalam minibus berpendingin udara yang telah ia siapkan.

“Ayo, Bapak-bapak, Ibu-ibu, kita makan siang dulu sebelum check-in di hotel, ya. Nanti pukul 16.00 kita diterima oleh Sekretaris Menteri Peranan Wanita Kamboja di kantornya,” kata Kim Hong.*

 



BACA JUGA