Komunitas Suduik Tando akan Gelar "Membaca Selasih", dari Riwayat hingga Karya

Minggu, 06/07/2025 19:51 WIB

Pasaman, sumbarsatu.com--Nama Selasih—nama pena dari Sariamin Ismail—mungkin belum akrab di telinga masyarakat luas, bahkan di kalangan penulis sekalipun. Padahal, ia adalah perempuan pertama di Indonesia yang menerbitkan novel.

Kenyataan ini kerap terabaikan, entah karena minimnya literatur yang membahas sosoknya, atau karena sejarah sastra kita terlalu sering melupakan para perintis—terutama yang perempuan. Upaya untuk membaca Selasih adalah langkah penting: sebuah ajakan untuk kembali membuka jejak karya dan pemikirannya, yang pernah menjadi bagian awal dari sejarah sastra modern Indonesia.

Sariamin atau yang lebih dikenal dengan nama pena Selasih, menjadi bagian penting dalam pencarian, pencatatan, dan penafsiran terhadap pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai aspek kehidupan.

Menurut Arbi Tanjung, Pimpinan Suduik Tando sekaligus penggagas program ini, penting membaca kembali Selasih sebagai seorang perempuan di tengah gemuruh sejarah sastra yang didominasi laki-laki.

Gagasan ini kemudian berkembang menjadi kolaborasi lintas komunitas yang dimulai pada Juni 2025. Arbi Tanjung berkolaborasi dengan Ubai Dillah Al Anshori dari Ranah Kreatif, Siddik dari Singali, Akhmad Suwistyo dan Hasbunallah Haris dari Kutub Sastra, Tre Engga dari Apocolo Creative, serta Mulyadi Putra dari Rumah Mentari.

"Kolaborasi ini bukan hanya menyatukan gagasan, tetapi juga mempertemukan berbagai pendekatan dan fokus kerja dari masing-masing komunitas," kata Arbi Tanjung, Minggu (6/7/2025). 

Gagasan tersebut lahir dari dorongan sederhana: memperkenalkan tokoh sastra perempuan yang lahir dari kampung kecil, yang karyanya merekam dan membaca alam, lingkungan, serta persoalan sosial di sekitarnya. Menurut Arbi, jejak hidup dan karya Selasih bisa menjadi pintu masuk untuk menemukan solusi atas berbagai persoalan hari ini dan masa depan.

"Membaca Selasih" tidak sekadar soal menengok ke belakang, tetapi juga cara untuk membangun hubungan baru dengan masa lalu yang relevan," tambahnya.

Program "Membaca Selasih" akan berlangsung dari Juli hingga Desember 2025. Selama periode ini akan digelar berbagai kegiatan literasi dan budaya yang mengajak keterlibatan banyak pihak. Di antaranya ada workshop penulisan resensi buku, sayembara menulis buku tentang Selasih, sayembara menulis surat, diskusi terbuka, riset kolektif, napak tilas jejak Selasih, nonton bareng film bertema sastra dan perempuan, pameran arsip dan visualisasi karya, serta malam pertunjukan sastra dan musik.

Menurut Ubai Dillah Al Anshori yang juga menjadi bagian dari tim riset, kegiatan-kegiatan ini terbuka untuk beragam kalangan, baik sebagai peserta maupun pembahas. Ia juga menyebutkan bahwa bentuk-bentuk kegiatan masih bisa berkembang sesuai kebutuhan dan dinamika di lapangan.

Tema yang diangkat dalam program ini adalah “Perempuan, Sastra, dan Keberlanjutan Bumi”. Tema ini merujuk pada kehidupan dan karya Selasih yang tidak lepas dari lingkungan alam dan sosial kampung halamannya, serta peran perempuan dalam menjaga nilai dan keseimbangan hidup.

"Pilihan tema ini lahir dari pembacaan terhadap karya-karya Selasih yang erat dengan alam, pendidikan, dan kehidupan sosial, dan dapat dijadikan dasar untuk membicarakan keberlanjutan pengetahuan dan kebudayaan lokal dalam konteks hari ini," sebut Ubai Dillah Al Anshori. 

Program ini akan dilangsungkan di berbagai kota dan kabupaten di Sumatra Barat, seperti Pasaman, Pasaman Barat, Padang, dan wilayah lainnya yang memiliki keterkaitan historis dengan sosok Selasih.

Dengan semangat kolaboratif dan keberlanjutan, Membaca Selasih bukan hanya mengenalkan kembali seorang tokoh sastra perempuan, tetapi juga mengajak publik untuk membangun narasi yang lebih adil dan inklusif dalam sejarah sastra Indonesia.

Dari kampung kecil yang dulu melahirkan seorang Selasih, kini gema warisannya kembali dipanggil—untuk dibaca, dipikirkan, dan dilanjutkan. ssc/rel



BACA JUGA