Pertunjukan teater Sayap-Sayap Proklamasi disutradarai Sulaiman Juned dan naskah ditulis Solehah Hazanah Nasution dipentaskan di Kawasan Desa Wisata, Kubu Gadang, Padang Panjang, diusung Komunitas Seni Kuflet pada Kamis, 12 Desember 2024. Foto Khozin
OLEH Edy Suisno (Akademisi dan Penonton Teater)
TIDAK mudah menyusun peristiwa menjadi satu rangkaian kisah di atas panggung, yang betapapun bersifat fragmentaris, tetapi tetap harus terbaca sebagai jalinan utuh, di mana masing-masing penggalan peristiwanya tetap dimaknai sebagai rajutan yang mempunyai relasi sangat erat. Terlebih, jika hal tersebut terhubung dengan figur yang berfungsi sebagai penentu dalam menggerakan cerita dan menempatkan sosoknya sebagai pusat perhatian. Tentu saja, bukan sekadar menjadikan figur tersebut sebagai pemantik setiap tahap ‘penuturan’, tapi juga mampu menjaga jalinan cerita agar berlangsung tanpa aksi-aksi ‘ekstravagan’, dan mampu memandu alur yang tengah berjalan agar tidak terkesan sebagai kumpulan peristiwa, dengan lalu lintas karakter yang impresinya sangat mungkin menjadi artifisial. Terlebih lagi, jika rentetan peristiwa tersebut dikaitkan dengan tonggak dalam sejarah (milestone) dan diharapkan menjadi kaleidoskop kebangsaan dan kemanusiaan penting, yang harus terkesan proporsional dan realistik di satu sisi, tetapi pada di sisi lain, harus terkesan ‘agung’ dan ‘monumental’.
Proses pertunjukan teater yang mengaktualisasi tokoh sejarah dan peristiwa sejarah, dengan demikian bukan persoalan sederhana atau bisa ‘sangat disederhanakan’. Ada emban visual yang harus menjaga proporsi penyajian agar tetap make sense. Sekalipun, sebagai karya seni, tetap membutuhkan proses ‘dramatisasi’ sebagai daya tarik tontonan. Ada emban reaktualisasi yang bisa menjebak dan berisiko ‘mengaburkan’, dan bahkan bisa berujung ‘mendangkalkan’. Dan emban-emban inilah, yang tampaknya tak mampu ditunaikan secara maksimal dalam pertunjukan Sayap-sayap Proklamasi, yang ditampilkan Komunitas Seni Kuflet, dengan sutradara Sulaiman Juned, lewat naskah yang ditulis Solehah Hazanah Nasution, dan dipentaskan di Kawasan Desa Wisata, Kubu Gadang, Padang Panjang, pada Kamis, 12 Desember 2024 malam.
Pertunjukan Sayap-sayap Proklamasi merupakan salah satu karya teater sebagai rangkaian gelaran pementasan yang diinisiasi oleh Dirjen Kebudayaan melalui program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK), yang tahun ini, berusaha mengaktualisasikan kembali spirit perjuangan para Pahlawan Nasional. Dengan menempatkan perjuangan tokoh Mohammad Hatta sebagai lanskap utama dalam cerita, pertunjukan Sayap-sayap Proklamasi, sejatinya hendak menonjolkan pengemasan pentas sebagai kesatuan ‘seni pertunjukan’. Suatu pertunjukan teater yang merajut idiom-idiom pentas, yang oleh beberapa penggiat teater lazim disebut sebagai ‘teater musikal’. Sebuah sajian yang tidak hanya menonjolkan interaksi tokoh dalam kematangan seni peran sebagai spotlight satu-satunya, tetapi juga menghadirkan impresi pemanggungan lewat tarian, seni tutur, nyanyian dan penggunaan slide gambar maupun video sebagai penguat ilustrasi latar.
Pilihan konsep di atas, tentu saja bukanlah pilihan yang tanpa risiko. Pilihan konsep tersebut, tentu saja membutuhkan ikhtiar dalam menciptakan kepaduan pentas yang mampu bersenyawa menjadi kesatuan kuat, yang kemudian mewujud sebagai ‘seni baru’. Suatu ikhtiar yang bukan sekadar strategi untuk menjaga pertunjukan dari melemahnya konsentrasi dan intensitas perhatian penonton melalui pernik-pernik visual di atas panggung, tapi juga ‘satu kesatuan’ yang memberi ketajaman daya sentuh dan syukur-syukur: terciptannya sebuah kesan yang langgeng.
Dari sinilah, terlihat tampilan Sayap-sayap Proklamasi di malam itu, masih sangat kedodoran dalam menciptakan kesatuan pentas. Bahkan, pengemasan pertunjukan yang dikreasi, seolah hanya menjadi rajutan yang disambung melalui pengulangan ruang gelap (black out) dengan audio rabab pasisie, yang mendendangkan penceritaan (berbahasa Indonesia) dengan format naratif dan informatif (bukan persuasif dan ekspositori) yang terkesan sangat ‘dipaksakan’. Begitu cepatnya pergantian pangadengan dalam penuturan cerita yang ditransisikan secara repetitif itu, seolah menutup alternatif pembagian panggung dalam satu space lebih, dan seolah menghapus celah (sama sekali) untuk diwujudkannya kreasi alur montage sebagai opsi penting dalam memantik dinamika pertunjukkan. Belum lagi rajutan ilustrasi musik dan tarian yang melanglang buana menuju tanah Hungaria lewat Hungarian Dance, yang dicipta tahun 1879 oleh Johannes Brahms, sampai ke gamelan gambang kromong, dengan tarian-tarian Betawi yang dikreasi ‘seadanya’. Sampai di sini, penulis pun jadi bertanya: apakah penanda-penanda musikal dan gerak itu relevan bagi terwujudnya zeitgeist yang harus dicerminkan dalam pertunjukan?
Adegan dalam pementasan Sayap-sayap Proklamasi. Foto Khozin
Pertunjukan Sayap-sayap Proklamasi, dimulai dengan adegan musyawarah keluarga Mohammad Hatta yang membahas tindak lanjut pendidikannya, selepas Mohammad Hatta (diperankan oleh Muhammad Irsyad) menyelesaikan pendidikannya di sekolah swasta milik seorang opsir Belanda bernama Ledeboer dan merampungkan pendidikannya di Hogere Burger SchooL (HBS) pada pertengahan tahun 1916. Sayang, silang pendapat antara Sitti Saleha (diperankan Yuliza Zen) dan Pak Gaek (Ilyas Bagindo Marah) yang diperankan Jufriadi Datuk Sati, yang menyoal plus minus pendidikan di ranah Minang dan pendidikan di tanah rantau (Batavia) tersebut, ternyata hanya dialog ringan, yang langsung menuju titik persoalan (secara verbal) sehingga tak mampu menegaskan dialektika yang tajam menyoal corak pendidikan yang berlangsung pada masa itu, yang pada akhirnya juga tak mampu menggambarkan sosok Sitti Saleha sebagai representasi perempuan Minangkabau di masanya. Maka, jadilah sosok Sitti Saleha sebagai tokoh yang muncul dalam ‘sekelebat’, bahkan Ibu Mohammad Hatta tersebut sepertinya sengaja dihadirkan tanpa kontribusi yang ‘menggetarkan’ dalam kedudukannya sebagai wanita yang sudah pasti turut mendedahkan paradigma Mohammad Hatta.
Alur berikutnya menggambarkan pertemuan antara Mohammad Hatta dengan pamannya, Ayub Rais (diperankan oleh Hendri JB). Tak jelas apa yang menjadi spine dalam peristiwa ini. Sebagai adegan yang mencoba memberi ruang bagi kontribusi Ayub Rais dalam mengkontruksi pemikiran Mohammad Hatta, aksentuasi adegan ini juga tidak menunjukkan sasaran itu. Tampaknya, setiap adegan yang dirajut hanyalah kronologi biografi singkat Mohammad Hatta, yang disusun dengan tanpa titik penekanan (emphasis), dan tanpa dimuati upaya untuk membangkitkan ingatan pada pemikiran Mohammad Hatta, terlebih untuk merakit bunga rampai idealisme, visi perjuangan, gelegak nasionalisme dan sekaligus curahan privat Mohammad Hatta yang sudah pasti penuh ‘keterdesakan’ dan ‘keterbatasan’ dalam posisinya sebagai manusia biasa.
Rangkaian adegan-adegan berikutnya pun dihadirkan. Diawali peristiwa di di ruang kelas MULO Batavia yang olok-olok sesama muridnya terasa sangat ‘hitam-putih’. Kemudian adegan ruang bagi penyampaian pidato pledoi ‘Indonesia Merdeka’, adegan ditangkapnya Mohammad Hatta atas tuduhan melakukan ‘gerakan revolusioner’ dalam Perhimpunan Indonesia, yang dianggap membahayakan Pemerintahan Kolonial Belanda, perdebatan ‘Partindo’ dan PNI Baru’ yang direpresentasikan pada tokoh Sukarno (diperankan oleh Rahmad Pangestu) dan Mohammad Hatta, yang bahkan justru mendegradasi posisi Mohammad Hatta sebagai tokoh sentral oleh tokoh Sukarno, yang pada naskah diberi porsi yang cukup besar, juga adegan ditangkapnya Mohammad Hatta oleh polisi kolonial, sebelum akhirnya dipenjarakan di Glodok, Jakarta. Semuanya mengalir lancar meskipun tanpa sentilan yang terasa sangat mengiris.
Sayangnya, rangkaian tonggak-tonggak peristiwa yang telah dipilih dalam naskah Sayap-sayap Proklamasi, tampaknya memang hanya sebatas uraian perjalanan Mohammad Hatta tanpa dikuatkan oleh daya cambuk tontonan yang sarat dialektika. Sebuah kisah yang semestinya mampu menebalkan sisi hidup Mohammad Hatta sebagai ikon kesederhanaan, pandangan ekonomi kerakyatan (yang kelak mengilhami welfare state), sikap moderat dan kegigihannya sebagai demokrat, dan sekali lagi menguak profilnya secara utuh; dalam kedudukannya sebagai manusia biasa, yang pasti punya kelemahan. Sayangnya (lagi), semua peristiwa yang dibangun pun akhirnya terasa tak mempunyai artikulasi yang kuat karena sepanjang pertunjukan hanya melewatkan perbincangan-perbincangan, meskipun terkadang telah diupayakan dengan emosi yang berkesan ‘menegangkan’.
Pada akhirnya, kisah Sayap-sayap Proklamasi pun mengalir seolah tanpa ketajaman adu argumen, tanpa quote-quote yang menohok, bahkan kadang terjebak sebagai dramatisasi yang sangat klise. Maka, jadilah malam itu perjalanan biografi seorang tokoh penting bangsa, yang melaju dengan tanpa visi yang membawa ‘kedalaman’, mengalir sangat sederhana, bukan dalam makna yang ‘bersahaja’, tanpa klimak-klimak minor terlebih komplikasi menuju klimak mayor, tanpa suspense, lemah dalam curiosity, tanpa surprise dan bahkan tanpa ‘hentakan’ yang menawarkan kontekstualisasi makna dengan tuturan yang sarat satire dan ironis.
Bagian terberat dalam pertunjukan teater yang berpijak dari sejarah adalah perwujudan tokoh-tokoh yang hadir dalam kancah sejarah tersebut. Ada identifikasi yang khas dan spesifikasi karakter yang mesthinya dimaksimalkan. Ada kelenturan dan elastisitas tubuh, serta vokal yang mestinya dimatangkan. Ada deferensiasi antartokoh yang harus ditegaskan. Tapi malam itu, pertunjukan Sayap-sayap Proklamasi seperti terjebak dalam ‘keseragaman diksi’. Bahkan, setiap ada usaha untuk keluar dari ‘keseragaman’ itu, justru memunculkan masalah baru, yakni tampilan laku yang terkesan dibuat-buat dan by design. Memang ada upaya untuk meneguhkan deferensiasi, seperti apa yang telah diupayakan pemeran Sukarno dan pemeran Mohammad Hatta. Tapi itupun tidak sanggup melengkapi identitas tokoh secara detail. Alhasil, kita pun hanya mengenali Sukarno dari kopiahnya dan mengetahui Mohammad Hatta dari kaca matanya. Segalanya, mengalir seolah tanpa karakter dan tanpa interaksi yang sangat kuat dalam memicu dramatik.
Begitulah, begitu pelik dan rumit untuk dapat menghadirkan seni pertunjukan yang bersumber dari sejarah, terlebih dalam kemasan seni yang bersifat kolaboratif. Betapapun begitu, pelajaran terpenting dalam proses tetaplah kesadaran untuk selalu berbenah, sehingga setiap karya yang lahir dalam rahim kreatif, yang telah dituangkan dan didedikasikan untuk publik, bagaimanapun ujudnya, layak untuk diapresiasi tinggi.
Sungguhpun begitu, pertunjukan yang lahir tanpa penorehan visi artistik sebagai pijakan fundamental, tanpa preferensi untuk menciptakan komunikasi yang ‘renyah’ dan ‘cerdas’, tanpa kematangan teknik ekspresi yang believable, maka hal tersebut tetaplah bagian dari ‘kekerdilan’. Ironisnya, pada setiap ajang atau momentum-momentum gelar seni budaya, terutama yang menyerap pembiayaan berskala besar, kekerdilan yang terjadi seringkali sangat memicu pertanyaan genting: betulkah kekerdilan itu hanya bermula dan berkutat di ‘hilir’? Tidakkah kekerdilan itu bisa saja justru diawali dari ‘hulu’? *