
-
Jakarta, sumbarsatu.com – Esha Tegar Putra menorehkan prestasi gemilang di jagat sastra Indonesia sebagai peraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 kategori buku kumpulan puisi. Buku kumpulan puisinya berjudul Hantu Padang mengantarnya berdiri di antara nama-nama besar di panggung penghargaan sastra paling prestisius tanah air.
Pengumuman berlangsung Sabtu malam, 28 Juni 2025, di Gedung A Kementerian Kebudayaan, Jakarta Pusat. Esha menyusul dua penulis lainnya yang juga menerima penghargaan tahun ini: Sasti Gotama untuk kategori cerita pendek dengan buku Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu, dan Cicilia Oday untuk kategori novel dengan karya Duri dan Kutuk.
Buku puisi Hantu Padang dinilai karena kedalaman diksi dan keberanian mengekplorasi trauma, mitos, dan realitas sosial Minangkabau dalam lirik-lirik puisinya.
Jejak Puisi yang Menggugah
Hantu Padang bukan sekadar kumpulan puisi biasa. Ia menjadi ruang resonansi bagi kenangan kolektif tentang kota, sejarah, dan luka-luka yang belum sembuh. Dalam puisinya, Esha merajut kembali relasi antara manusia dan tanah kelahirannya, menyingkap hantu-hantu yang tidak hanya gaib, tetapi juga sosial dan politik.
“Pilihan terhadap karya ini adalah bentuk penghargaan atas keberanian estetika dan kekuatan bahasa yang mengguncang,” ujar Djoko Saryono, Ketua Dewan Juri Kusala Sastra Khatulistiwa Sabtu, (28/6/2025).
Ia menegaskan bahwa penilaian juri berfokus sepenuhnya pada kualitas teks, bukan identitas atau domisili penulis.
Pengumuman pemenang sempat diselingi momen simbolik: seekor kucing hitam melintas di hadapan para tamu sebelum nama-nama diumumkan. “Pemenangnya sudah diisyaratkan oleh seekor kucing hitam yang lalu lalang di depan kita,” kata Djoko, merujuk pada salah satu karya Sasti Gotama. Namun malam itu, bukan hanya kucing hitam yang mencuri perhatian—melainkan juga Hantu Padang yang datang dengan sunyi dan menggugah.
Kemenangan Esha Tegar Putra menjadi sinyal bahwa suara-suara dari daerah, dengan keunikan estetikanya sendiri, mampu bersaing di aras nasional. Ia adalah generasi baru penyair Indonesia yang tidak hanya peka secara sosial, tetapi juga kuat dalam menempuh jalan penciptaan yang personal.
Buku puisi Esha Tegar Putra yang sudah terbit sebelumnya: Pinangan Orang Ladang (2009). Debut puisinya, membandingkan kehidupan petani di kampung dengan perantau di kota besar. Dalam Lipatan Kain (ditulis 2009–2014, diterbitkan Januari 2024 oleh Penerbit JBS). Buku Berisi syair tentang benang kehidupan sebagai penghubung berbagai pengalaman hidup. Sarinah (2016, Grasindo). Penyair menelusuri kota besar dan keseharian urban, penuh imaji daya tahan hidup. Setelah Gelanggang Itu (2020, Grasindo) yang merupakan refleksi estetis dan sosial setelah pengalaman panggung dan ruang publik. Dan Hantu Padang (2024, JBS), kumpulan 42 puisi (2015–2023) yang mengeksplorasi memori, perantauan, dan identitas Kota Padang.
Penyair Esha Tegar Putra lahir: 29 April 1985, di Saniangbaka, Solok, Sumatera Barat. Menyelesaikan Pendidikan S1 Sastra Indonesia, Universitas Andalas (2005–2012), lalu Magister Susastra, Universitas Indonesia (2015–2018). Ia pernah bekerja sebagai wartawan Harian Haluan, mengajar di Jurusan Bahasa & Sastra Indonesia, Universitas Bung Hatta, Padang, dan peneliti dan kurator arsip di Dewan Kesenian Jakarta. Ia ikut mendirikan Padang Literary Biennale (2012 & 2014) di Rumah Kreatif Kandangpadati, Padang. Pengamat sastra menyebutkan puisi-puisi Esha Tegar Putra menonjolkan nuansa budaya Minangkabau, realitas sosial, identitas perantauan, dan urbanitas—menggabungkan estetika tradisi dan eksperimen modern. ssc/mn