Esha Tegar Putra Raih Kusala 2025, “Hantu Padang” Lahir dari Kegalauan Antara Kampung-Rantau

Minggu, 29/06/2025 07:37 WIB
Penyair Esha Tegar Putra

Penyair Esha Tegar Putra

Padang, sumbarsatu.com— Ruang itu bergemuruh ketika nama Esha Tegar Putra disebut sebagai salah satu penerima Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2025 untuk kategori puisi. Karyanya yang berjudul Hantu Padang menjadi buah perenungan panjang atas trauma, mitos, dan realitas sosial Minangkabau, dibingkai dalam 40 puisi pendek yang menggugah dan intens.

Pengumuman pemenang disampaikan dalam sebuah seremoni di Gedung A, Kementerian Kebudayaan, Jakarta Pusat, Sabtu malam (28/6/2025). Selain Esha, dua penulis lain juga dianugerahi penghargaan bergengsi ini: Sasti Gotama melalui buku cerpen Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu, dan Cicilia Oday lewat novel Duri dan Kutuk. Ketiganya dinilai berhasil menghadirkan kekuatan estetika dan kedalaman refleksi atas persoalan kultural dan eksistensial manusia Indonesia hari ini.

Puisi, Perantauan, dan Tubuh yang Terbelah

Kepada sumbarsatu, Esha Tegar Putra menyebut Hantu Padang sebagai karya puisi yang ditulis dalam rentang waktu panjang—antara 2018 hingga 2024—seiring perjalanan hidupnya yang kerap berpindah antara Padang dan Jakarta. Namun, perantauan itu tak melulu menjadi ruang kreatif yang nyaman. Justru, di antara dua kota itulah tubuh dan pikirannya kerap terbelah.

“Tubuh saya menulis puisi di Jakarta, tetapi pikiran saya mengembara ke Padang—begitu sebaliknya,” ungkap Esha Tegar Putra, di kampungnya, Saniangbaka, Solok, Minggu (29/6/2025).

Ia berada di kampung karena keperluan dan penerima Kusala diwakilkan kepada Tiara Sasmita, salah seorang pegiat budaya di Teroka Pustaka.

Esha Tegar Putra menjelaskan, keputusan untuk menetap dan tidak lagi “ulang-alik” menjadi titik balik. Hantu Padang lahir sebagai refleksi dari keputusan meninggalkan Padang, sekaligus menyimpan jejak-jejak emosional tentang kota itu.

BACA: “Hantu Padang” Antarkan Esha Tegar Putra Raih Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Menurut Esha, buku ini memang paling tipis dibanding karya-karya sebelumnya—hanya berisi 40 puisi—namun menjadi yang paling solid secara tematik dan emosional. “Saya berusaha seluruh puisinya berada dalam satu nafas—tentang Padang, tempat saya tumbuh, jatuh, belajar menulis, dan mengenal hidup.”

Apresiasi dan Pengingat untuk Terus Menulis

Baginya, penghargaan ini bukan semata kemenangan pribadi, melainkan pengakuan atas proses kreatif yang panjang dan sering sunyi. Ia mengaku, ini adalah kali keempat karyanya masuk dalam daftar panjang dan pendek Kusala Sastra Khatulistiwa—tiga kali masuk lima besar, dan satu kali sepuluh besar. Namun baru tahun ini ia berhasil meraih posisi puncak.

“Saya sangat bersyukur. Ini semacam pengingat untuk terus menulis puisi, juga apresiasi pada lingkungan tempat saya bertumbuh,” ujarnya.

Judul Hantu Padang mengandung resonansi simbolik. Ia tidak semata membicarakan hantu-hantu literal dalam tradisi Minangkabau, melainkan bayangan masa lalu, luka kolektif, ketimpangan sosial, dan ruang kenangan yang membekas dalam tubuh penyair.

Dewan Juri KSK 2025 menilai karya ini sebagai “pengejawantahan keberanian menyuarakan batin Minangkabau modern” melalui pendekatan liris yang reflektif dan tajam.

Keberhasilan Esha menegaskan kembali bahwa puisi tidak pernah mati. Ia hanya menunggu momen dan medium untuk menyuarakan keresahan manusia. Di tangan penyair seperti Esha, puisi menjadi jalan pulang yang lain—ke tempat yang pernah disebut rumah, dan kini hanya tinggal jejak dalam kata-kata.

Buku kumpulan puisi "Hantu Padang" diterbikan Penerbit JBS Yogyakarta Januari 2024 setebal 74 halaman. ssc/mn



BACA JUGA