Satiris Navisian Dibincangkan di Padang dalam Temu Sastra 100 Tahun AA Navis

Senin, 25/11/2024 12:20 WIB

Padang, sumbarsatu.com—Ali Akbar Navis (AA Navis) salah satu intelektual Indonesia yang berasal dari ranah Minangkabau (Sumatera Barat) dikenal sebagai sosok yang konsisten dengan pendiriannya, berani menyampaikan pikiran dan gagasannya sekalipun berhadapan dengan kekuasaan.

Dalam pergaulannya, AA Navis dikenal sebagai ‘tukang cemooh nomor wahid’. Di dunia kepengarangan sastra, ia disebut sastrawan satiris, dan malah belakangan muncul pemikiran “Satire Navisian” sebagai  penghormatan terhadap karya-karya AA Navis yang sarat ungkapan metafora satire.

Sementara pada aspek lain—taruhlah ini luar teks sastra—muncul kecemasan karena semakin menjauhnya sastrawan AA Navis dan karya-karyanya dengan generasi kini, termasuk kian menghilangnya karya-karya AA Navis di kurikulum pendidikan.

Demikian rangkaian benang merah dan pemikiran yang mencuat kepermukaan dalam diskusi “Temu Sastra 100 Tahun AA Navis” yang ditaja Dinas Kebudayaan Sumatera Barat melalui UPT Taman Budaya, yang digelar di Galeri Tambud, Sabtu, 23 November 2024.

Diskusi yang bertema “Bara Satire AA Navis” diikuti para penulis, peminat sastra, budayawan, dan jurnalis lintas usia ini, dibagi dalam dua sesi diskusi. Sesi pertama menghadirkan narasumber Yusrizal KW (penulis cerpen), Hasanuddin WS (Guru Besar UNP, kritikus sastra), Ivan Adilla (periset karya-karya AA Navis), dan Dedi Navis (putra AA Navis). Jalannya diskusi diatur NasruL Azwar (jurnalis).

Pada sesi kedua narasumber Elly Delfia (penulis dan dosen FIB Unand), Zelfeni Wimra (sastrawan dan dosen UIN Imam Bonjol Padang), Deddy Arsya (penyair dan dosen UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi), Afri Meldam (penulis), dan Diahayu Atmaja sebagai moderator.

Dua sesi diskusi ini memiliki muatan yang berbeda kendati masih dalam satu kerangka yang sama. Sesi pertama, para narasumbernya adalah orang-orang yang secara sosial pernah berinteraksi dan berkomunikasi langsung dengan AA Navis semasa hidup.

Selain itu, pembahasan narasumber sesi satu, menekankan pada karya-karya, peran, posisi, dan kontrbusi AA Navis dalam peta intelektual dan sastra Indonesia, sikap humanisme dan sosial AA Navis.   

Untuk sesi dua, para narasumbernya yang semuanya adalah penulis, sama sekali tidak pernah berinterkasi dan berkomunikasi langsung dengan pengarang ini. Mereka mengenal AA Navis lewat karya-karyanya. Percakapan dan komunikasi mereka dimediasi oleh pembacaan terhadap karya-karya AA Navis.

“Kita merancang diskusi “Bara Satire AA Navis” ini dalam dua sesi dengan orientasi dan pembacaaan terhada AA Navis oleh dua generasi dan masa yang berbeda. Sesi pertama para narasumber pernah langsung berkomunikasi dengan AA Navis, sedangkan sesi dua komunikasi dan percakapannya lewat karya-karya AA Navis. Dua sesi ini tentu memperkaya perspektif dengan sudut pandang yang bervariasi. Pemaknaan terhadap AA Navis semakin kaya. Generasi muda pun lebih banyak mendapat informasi tentang AA Navis ini,” kata Ade Efdira, Koordinator Temu Sastra 100 Tahun AA Navis Taman Budaya Sumatera Barat, kepada sumbarsatu, Sabtu, (23/11/2024).  

Satiris dan Konsistensi

Yusrizal KW, cerpenis yang dekat secara personal dengan AA Navis, dalam sesi diskusi menuturkan kedekatan dirinya dengan pengarang cerpen “Robohnya Surau Kami” ini diawali ketika salah cerpennya “Sang Pengeluh” terpilih sebagai cerita pendek pilihan harian Kompas tahun 1996.

“Cerpen saya berjudul “Sang Pengeluh” terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas. Sama dengan cerpen Pak Navis berjudul “Penumpang Kelas Tiga”. Cerpen kami dalam satu buku yang sama berjudul “Pistol Perdamaian”. Harian Kompas memiliki tradisi hingga kini menerbitkan cerpen pilihan yang terbit setiap tahunnya. Maka, semenjak itu, saya sudah “diizinkan” Pak Navis duduk satu meja jika ada kegiatan. Bangga sangat saya saat itu,” kisah KW, demikian ia akrap disapa mengisahkan awal mula dekat dengan AA Navis.

Ia menceritakan, pengarang yang karyanya terpilih diundang Kompas yang biasanya dirayakan saat ulang tahun harian terbesar ini pada 28 Juni sekaligus menghadiri peluncuran buku “Pistol Perdamaian” itu. Semua biaya akomodasi ditanggung Kompas.    

“Kami berdua satu pesawat dengan Pak Navis tapi beda kursi. Sesampai Pak Navis mengajak saya ke pelbagai tempat sembari memperkenalkan diri saya kepada orang lain. Salah satunya di TIM. Sepanjang bersama Pak Navis, saya banyak menyerap berbagai hal termasuk sikap, attitude, dan konsitensi dengan pilihan yang telah diambil. Marwah kita ada pada konsistensi pilihan yang telah kita ambil, tentu saja kita sebagai pengarang,” sebut KW.

Menurut penulis buku kumpulan cerpen Ayah, Anjing, yang diterbitkan Kabarita tahun 2019 ini, AA Navis itu adalah manusia berilmu pengetahuan yang sangat luas. Ia seorangm pembaca berkelanjutan, penulis yang kritis dan disiplin.

“Pak Navis itu setiap yang dinyatakannya, baik dalam tulisan maupun bukan selalu argumentatif dan logis. Dan itu menuntut orang lain berpikir. Pak Navis seorang yang kritis, humanis, dan konsisten. Gaya satire dalam merupakan kritik sosial yang tajam namun halus. Ia juga menggunakan humor dan ironi untuk menyampaikan pesan. Navis itu sosok pengarang yang perkataan, perbuatan dan karyanya berkesesuain dalam makna dan nilai,” urai KW.

Kegelisahan pada Pendidikan

Hasanuddin WS lebih banyak melihat karya, kepengaragan, dan visi kebudayaan Navis.

“Sastra dalam bentuk novel (roman) yang diterbitkan Balai Pustaka di akhir tahun 1919 dan di awal 1920-an dianggap merupakan karya sastra yang mencerminkan kepiawaian pengarang sebagai kreator di dalam menghasilkan karya fiksi modern Indonesia. Secara teoretis, keutuhan fiksi modern sebagai sebuah cerita memang tercermin melalui karya berbentuk novel, dan bukan cerpen. AA Navis yang lahir beberapa tahun sesudah masa-masa awal Balai Pustaka ini, memilih jenis cerpen sebagai tipe fiksi utamanya dan bukan novel. Di dalam hal ini ia tidak mengekor trendi kepenulisan “mazhab” Balai Pustaka,” kata Hasanuddin WS.

Kendati begitu, tambahnya, meskipun memilih genre fiksi cerpen, karya-karya AA Navis bukanlah cerpen yang benar-benar pendek. Cerpen-cerpen Navis cendrung lebih panjang.

“Maka, cerpen-cerpen yang dihasilkannya memiliki kekuatan bukan hanya pada alur tetapi juga pada karakter (tokoh) ceritanya. Tokoh-tokoh ceritanya berintegritas sebagai mana karakter di dalam novelm,” sebut penulis buku Ensiklopedi Sastra Indonesia ini.

Menurut Guru Besar Ilmu Sastra di Fakultas Bahasa dan Seni UNP, di dalam hal kebudayaan, AA Navis berpegang pada common sense: akal sehat, akal budi, nalar wajar, atau nalar umum; adalah suatu penilaian yang masuk akal dan praktis mengenai masalah keseharian atau kemampuan dasar untuk melihat, memahami, dan menilai dengan cara umumnya dimiliki hampir semua orang.

Tentu saja common sense berbeda dengan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), meskipun terkadang tumpang tindih satu dengan lainnya. Navis menolak common non-sense. Itulah dasar pemajuan kebudayaan. Navis. 

“Berulang kali Navis mengatakan bahwa sastrawan itu kalau menulis karyanya awet atau tidak? Karya yang bagus itu tidak seperti kereta api yang lewat. Navis mengaku menulis dengan satu visi. Menulis baginya bukan untuk mencari ketenaran,” terang Hasanuddin WS.

Selain itu, kegelisahan Navis terhadap rendahnya minat dan kemampuan membaca masyarakat. Menurut Navis, terang Hasanuddin, bisa diruntut penyebabnya yang berada pada sistem pendidikan nasional. “Pendidikan nasional kita amat merisaukan kata Navis pada suatu kesempatan.”

Navis juga mengatakan bahwa dampak dari kekuasaan dan hegemoni akan menghasilkan kebodohan. Navis juga merasa heran mengapa berpikir induktif ditinggalkan di dalam pendidikan padahal induktif itu memberikan pengalaman instingtif luar biasa (pengalaman adalah guru yang baik). “Induktif itu ujian dulu, baru pembelajaran diperoleh,” jelas Hasanuddin.  

Intelektual 

Ivan Adilla, sosok yang intens meneliti tentang AA Navis dan telah melahirkan beberapa buku terkait sastrawan ini menyinggung konteks, latar sosial, dan suasana saat Navis produktif menghasilkan karya, baik fiksi maupun nonfiksi.

Ia mengisahkan tentang bacaannya terhadap cerpen Navis “Datangnya dan Perginya” yang diterbitkan Mimbar Indonesia tahun 1956. Menurut Ivan Adilla, cerpen ini menghadapkan pembaca pada persoalan pelik antara humanisme dan aturan agama. Pada cerpennya yang lain,  ia menggugah pembaca dengan membenturkan makna  ibadah ritual dan sosial dalam beragama, mengolok-olok tamatan sekolah luar negeri yang tak mampu beradaptasi, hingga  menyindir tingkah munafik birokrat dan politisi. 

“Bagi Navis, karya sastra bukanlah sekadar kisah pelipur lara. Menulis karya sastra baginya adalah bagian dari pergulatan dan perjuangan intelektual,” kata Ivan Adilla, yang baru saja menerbitkan buku terbarunya, A.A. Navis, Panorama Cerita dan Pemikiran tahun 2024 ini.

Itulah sebabnya Navis berusaha merawat sikap kritis, yang memungkinkannya mengamati dan mempertanyakan berbagai tradisi serta gejala yang berlangsung di sekitarnya. Karya sastra adalah saluran baginya untuk mengemukakan sikap, kritik, bahkan gugatan.

Ivan Adilla menjelaskan, Navis tidak hanya menghasilkan teks sastra. Ia juga menulis Alam Terkembang Jadi Guru, buku yang menjelaskan berbagai aspek dari kebudayaan Minangkabau, mengedit makalah-makalah ilmiah dan menghimpunnya dalam satu buku berjudul Dialektika Minangkabau.

Ratusan makalah disajikannya dalam berbagai forum ilmiah di berbagai kota dan negara, yang sebagiannya kemudian dikumpulkan dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan.

“Cerita-cerita Navis bukanlah tentang tokoh-tokoh atau tema cerita luar biasa yang fantastis. Kisah ceritanya dipenuhi manusia biasa yang ia lihat di sekitarnya, dengan segala suka duka-kehidupan mereka. Sumber-sumber yang diserap Navis memperlihatkan sikap kepeduliannya terhadap manusia di sekitarnya,” terang pengajar Sastra Indonesia FIB Unand ini.

Perpaduan antara kepedulian,  kesadaran intelektual, dan kepiawaian bercerita menjadikan karya-karya Navis unik dan memikat. Pembaca tidak hanya mengikuti kisah yang menarik tetapi juga diajak mendalami pemikiran, sikap, dan pandangan Navis terkait berbagai masalah kemanusiaan dan kehidupan mereka dengan segala problemanya. Barangkali itulah alasan mengapa karya-karya Navis tetap relevan dan menginspirasi pembaca di berbagai masa.

Ritual Makan Malam 

Dedi Andika Navis, anak ketiga AA Navis, mengisahkan hubungan sebagai anak dan ayah. Ia mengaku mengikuti betul proses kepengarannya Papinya—7 orang orang anak Navis memanggil Papi kepada ayahnya dan Mami untuk ibunya—yang menurutnya penuh dedikasi, disiplin, dan konsisten, serta pekerja keras.  

“Saat menulis, Papi biasanya tidak pernah menyelesaikannya dalam satu hari. Beliau akan menyimpan dan mengendapkannya terlebih dahulu berhari-hari. Lalu dibaca lagi. Dalam menyelesaikan satu tulisan, pembaca pertama itu adalah Mami. Jika ekspresi Mami cerah dan taka da memberi komentar, berarti tulisan itu sudah layak dikirimkam ke penerbit atau surat kabar,” urai Dedi Navis  .  

Dedi Navis mengatakan, semua anak-anak Papi sangat bangga dengan pekerjaan Papinya sebagai pengarang. Kebanggaan terhadap pekerjaan dan pilihan yang telah diputuskan. “Itu selalu ditekankan Papi kepada kami, anak-anaknya. Papi sosok orang yang konsisten dan berdisiplin,” katanya.

Sekarang ini, pihak keluarga telah membentuk lembaga Yayasan AA Navis. Kerja utamanya adalah mengumpulkan, mengarsipkan, dan mendokumentasikan senua karya AA Navis dan turunan yang mengikutinya, baik itu berupa hasil kajian (skripsi, tesis, dan disertasi, dan riset lainnya).      

“Yayasan ini baru berdiri dua tahun lalu. Sekarang mendigitalisasi semua arsip dan benda-benda yang mendukung proses kreatif kepengarangan Papi,” kata Dedi Navis yang juga Kettua Yayasan.

 

Perupa Asri Rosdi merespons narasumber sesi pertama. Asri Rosdi yang juga penyair pernah bersama-sama dengan AA Navis di INS Kayutanam

Terkait dengan perayaan 100 Tahun AA Navis, yang dirayakakan secara internasional, nasional, dan lokal, ia mengaku sangat terharu.

“Keluarga besar sangat terharu sekaligus bangga. Dedikasi Papi dirayakan sangat meriah dan berwibawa. Kita mengucapkan terima kasih kepada semua pihak,” terangnya.

Putri AA Navis, Gemala Ranti mengaku sosok Papinya itu tidak hanya sebagai sastrawan, namun juga sosok pria yang selalu menampilkan keharmonisan dalam keluarga.

Ia mengisahkan, setiap waktu makan malam harus bersama seluruh keluarga, dan anak-anaknya wajib bercerita pengalaman sehari-hari pada momen itu.

“Makan malam ini merupakan “ritual” keluarga. Semua harus ikut makan malam dalam satu meja dan masing-masing mengisahkan pengalamannya seharian. Papi megapresiasi setiap cerita anak-anaknya,” terang Gemala Ranti, putri kelima AA Navis ini.

Meriah   

Temu Sastra 100 Tahun AA Navis yang digelar Dinas Kebudayaan Sumatera Barat, selain diskusi sastra, dalam perhetalan ini juga diluncurkan buku antologi cerpen Tentang Harimau Suamiku. Kumpulan cerpen ini merupakan hasil dari lokakarya sastra dan dilanjutkan dengan lomba penulisan cerita pendek yang digelar Taman Budaya Sumatera Barat dalam rangkaian 100 Tahun AA Navis.

Selain itu, rangkaian kegiatan ini juga penampilan pertunjukan seni Sanggar Barabah, Tim Kesenian dan Budaya Riau, dan pembacaan puisi oleh penyair Syarifuddin Arifin, Zamzami Ismail, Rizal Tanjung, Fauzul el Nurca, Dadang Leona, Yeyen Ibrahim, Armeynd Sufhasril, Trividya Rahmadhani, Komunitas Studio Merah, Fajry Chaniago, Muslim Noer, Teater Langkah, Dua Simpul, Beringi Sago, Komuntas Sibat, dan Sending Rasa.  

Temu Sastra 100 Tahun A.A Navis juga menghadirkan Pameran Seni Rupa dan Arsip AA Navis di Galeri Taman Budaya yang berlangsung hingga 30 November 2024.

AA Navis lahir pada 17 November 1924 di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatera Barat. Meninggal dunia pada 22 Maret 2003, di Kota Padang dikebumikan di TPU Tunggul Hitam Padang.

Ia sudah menulis 65 karya sastra dalam berbagai bentuk, seperti Robohnya Surau Kami yang berhasil dinobatkan sebagai cerpen terbaik dalam majalah Kisah tahun 1955 dan cerpen Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi yang juga ditetapkan sebagai cerpen remaja terbaik oleh Unesco/Ikapi pada tahun 1988.

Rangkaian kegiatan Peringatan 100 Tahun A.A. Navis diawali dengan Peluncuran Peringatan 100 Tahun A.A. Navis yang dilaksanakan pada Sabtu, 9 Maret 2024.

Setelah peluncuran, terdapat tiga agenda lain yang terdiri atas kegiatan pameran, pemutaran film, hingga gelar wicara yang akan dilaksanakan (1) pada tingkat daerah di 30 provinsi balai/kantor bahasa (Maret—November); (2) pada tingkat nasional di Jakarta (17—19 November); dan (3) pada tingkat internasional di Unesco Paris (11—15 November).

Peringatan 100 tahun sastrawan Indonesia AA Navis digelar di Prancis pada 13-14 November 2024 juga dihadiri putri AA Navis. Karya, warisan sastra, dan pengaruhnya pada perkembangan sastra di Tanah Air diperkenalkan ke mancanegara. SSC/MN

 



BACA JUGA