-
Mentawai, sumbarsatu.com—Yayasan Rancak Publik Padang turut serta dalam penyerahan donasi buku bacaan untuk anak-anak di Desa Matotonan, Kabupaten Kepulaun Mentawai, Sumatera Barat Matotonan pada Minggu, (11/08/2024).
Hadir dalam acara penyerahan, antara lain tokoh masyarakat Matotonan, perwakilan Yayasan Rancak Publik, Yayasan Jortah Indonesia, ITB, Minangkabau Press, Serikat Islam Wilayah Sumbar, dan Pusat Studi Humaniora.
Rozidateno Putri Hanida yang merupakan Ketua Pembina Yayasan Rancak Publik dan hadir dalam acara penyerahan buku menyatakan bahwa Rancak Publik berkomitmen untuk terus terlibat aktif dalam gerakan literasi, termasuk di Matotonan.
“Mendekatkan anak-anak ke akses bacaan merupakan bagian dari cita-cita Rancak Publik selama ini. Karena itu begitu ada ajakan untuk melakukan Gerakan Literasi Matotonan, tidak ada alasan bagi Rancak Publik untuk tidak terlibat aktif. Dalam kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada para donatur buku yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Tanpa mereka gerakan ini tidak mungkin bisa berjalan,” kata Rozidateno Putri Hanida.
Dalam acara penyerahan itu, secara simbolis buku diserahkan kepada Martinus dan Hariadi, dua orang sikerei yang merupakan sosok penting bagi masyarakat Mentawai, khususnya Matotonan. Martinus mengaku senang dengan hadiah buku yang diberikan untuk anak-anak Matotonan. Apalagi saat itu tampak aktivitas anak-anak yang sedang membaca dan bergembira bersama.
Sebelum ini, sebenarnya sudah ada gerakan yang lebih dulu dilakukan oleh tim dari ITB. Mereka membangun Rumah Belajar Matotonan.
“Di sana sudah ada buku, tapi belum dimanfaatkan secara maksimal karena belum ada pengelolanya,” ujar Iksan, salah seorang dosen Institut Teknplogi Bandung (ITB) yang melakukan pengabdian masyarakat di Matotonan.
Di Rumah Belajar Matotonan itulah aktivitas literasi akan dipusatkan. Buku-buku yang baru diserahkan itu akan menambah koleksi bacaan di sana.
Yetti A.KA, penulis sekaligus pegiat Yayasan Jortah Indonesia berharap selain membawa buku bacaan ke Matotonan, gerakan bersama yang mereka lakukan itu nanti bisa melahirkan program lanjutan.
“Sayang sekali jika hanya berhenti sampai di sini. Selain membaca, anak-anak Matotonan hendaknya mampu menyuarakan pikiran mereka lewat tulisan. Dengan begitu, satu hari nanti kita akan membaca tentang Matotonan dan dunianya yang lahir dari pikiran dan perasaan mereka sendiri. Jadi harus ada bengkel menulis. Tidak sekarang, tapi mungkin bisa kita rencanakan untuk tahun depan,” ujar Yetti A.KA dengan penuh semangat.
Desa Matotonan terletak di pedalaman Siberut. Untuk ke sana biasanya menggunakan jasa perahu pompong. Dulu, naik perahu pompongnya mesti dari Muara Siberut dan mengabiskan waktu sekitar tujuh jam untuk tiba di Matotonan. Tapi, semenjak sudah terbukanya akses jalan hingga ke Dusun Ugai, Desa Madobag, orang-orang memilih naik pompong dari sana dengan waktu jauh lebih singkat.
Bisa dibayangkan sulitnya anak-anak Matotonan mengakses fasilitas pendidikan dan pengetahuan seperti yang bisa dinikmati oleh anak-anak lain di luar sana dengan situasi transportasi yang terbatas itu. Padahal, negara jelas menjamin hak yang sama atas semua warga negaranya.
Zaiyardam Zubir, sebagai peneliti yang sudah lama bersentuhan dengan Matotonan dan telah membawa berbagai program sosial bagi masyarakat setempat, menganggap pentingnya menggalakkan gerakan literasi di sini. Apalagi Matotonan telah dipromosikan sebagai desa wisata.
“Jangan sampai segala sesuatu masuk ke sini tanpa filter yang baik. Pengetahuan jelas bisa menjadi alat filter itu,” ujar Zaiyardam Zubir.
Tantangan ke depan, bagaimana Rumah Belajar Matotonan dan buku-buku yang sudah dikumpulkan dan diserahkan ke sana bisa terkelola dengan baik. Sejauh ini belum ada pengelola khusus yang bertugas di sana.
“Cuma dibuka saat ada relawan datang,” kata Rinaldi, guru sekaligus tokoh masyarakat Matotonan.
Rinaldi berjanji akan membuat program wajib baca buku di Rumah Belajar Matotonan bagi siswanya secara bergiliran per kelas.
Antusiasme anak-anak Matotonan yang luar biasa saat bersentuhan dengan dunia buku sungguh memberikan harapan akan tumbuhnya generasi cerdas seperti ditegaskan dalam tagline pada spanduk gerakan ini “Matotonan Membaca, Membuka Dunia”. Untuk itu, Gerakan Literasi Matotonan jangan hanya berhenti di sini. SSC/JITU