OLEH Lismomon Nata (Ketua Pokja Pelatihan dan Pengembangan Kompetensi Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Barat)
Dunia terus berputar seiring dengan pegantian waktu. Normalnya manusia selalu menaruh harapan untuk hidup lebih baik dari waktu ke waktu, meskipun ada juga yang putus asa, frustasi lantas memilih membunuh diri sebagai satu-satunya cara yang ia pikir dapat menyelesaikan permasalahan. Fenomena lain, banyak yang merasa hidup sangat tertekan oleh himpitan kehidupan “dunia” yang ujung-ujungnya kembali persoalan ekonomi, uang.
Tidak hanya masalah untuk bertahan hidup dengan perut yang terisi, namun juga trend dan gaya hidup. Mental yang sehat menjadi barang yang sangat berharga. Pada sisi lain, kemajuan teknologi informasi semakin dirasakan melaju kencang, manusia ada yang berada pada gerbong modernisasi dan ada pula yang telah sampai di post modern. Kondisi seperti demikian masih terjadi pada negara keempat yang memiliki penduduk yang besar ini, yaitu Indonesia.
Dalam suatu perjalanan di atas kapal ke Kabupaten Kepulauan Mentawai saya duduk bersebelahan dengan seseorang yang setelah kami berkenalan diketahui beliau seorang pastor atau romo paroki di bumi Sikerei tersebut. Pertemuan ini saya manfaatkan untuk saling bertukar pikiran karena saya teringat akan sebuah diskusi yang hangat beberapa tahun yang lalu bersama teman-teman tentang pandangan gerejani, terkhusus ajaran Khatolik yang “melarang umatnya” untuk ber-KB (menggunakan alat kontrasepsi).
Lantas diskusi itu berlanjut selama perjalanan melintasi Samudera Hindia tersebut. Dalam perbincangan itu ada beberapa pembelajaran yang saya ambil. Pertama bahwa ajaran Khatolik memiliki struktur yang sangat ajek dan sangat kuat, sehingga fungsi-fungsi yang memiliki peran dapat berjalan dengan baik. Kedua, institusi gereja Khatolik sangat peduli dan memperhatikan betul serta mengatur institusi keluarga. Nah, pada poin kedua ini akan kita coba fokuskan pada tulisan kali ini, yaitu terkait dengan keluarga.
Keluarga merupakan institusi penting dalam kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan semua persoalan kehidupan akan bermula dari keluarga. Secara teorinya akan berbanding lurus. Apabila keluarga tersebut baik, maka akan baik pula kehidupan anggota-anggota keluarganya, demikian juga dengan tatanan kehidupan negara yang juga baik, sebaliknya apabila keluarga buruk, maka buruk pula kehidupan di sana, bahkan berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan sosial berawal dari persoalan yang ada dalam keluarga.
Oleh karena itu dalam tatanan idealnya sudah semestinya keluarga dan masyarakat untuk selalu menanam dan merawat cinta sebagai bahan utama agar keluarga itu baik. Filosof Nietzsche mengungkapkan bahwa dalam kehidupan keluarga, cinta adalah minyak yang meredakan gesekan, semen yang mengikat erat satu sama lain, dan musik yang membawa harmoni, sementara Bernard Shaw mengatakan bahwa keluarga bahagia adalah surga yang ada di dunia.
Kembali pada pertemuan saya dengan romo tadi bahwa ajaran Khatolik melakukan beberapa tahapan dalam mempersiapkan keluarga penganut Khatolik. Di antaranya adalah pertama adanya kursus persiapan perkawinan. Di mana pasangan tersebut (calon suami istri) akan diberikan pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi (Kespro), relasi dalam keluarga, spritualitas perkawinan atau sakramen perkawina.
Kedua,penyelidikan kanonik (konseling), yaitu kegiatan komunikasi inter personal yang dilakukan lebih privasi. Masing-masing calon pasangan dipanggil untuk dilakukan semacam konseling, biasanya pihak laki-laki terlebih dahulu untuk menguatkan kembali terhadap pengetahuan yang telah diberikan saat kursus persiapan perkawinan, kemudian disumpah dan berbicara dari “hati ke hati” tentang segala yang dirasakan perlu dalam mempersiapkan masing-masing pihaknya, sehingga adanya kesiapan bagi calon pasangan usia subur (PUS) untuk siap secara fisik, kesehatan, mental dan spritualitas yang menyadari bahwa perkawinan adalah suatu ikatan yang suci yang mesti dijaga hingga akhir hayat memisahkan mereka. Setelah itu ada dokumen yang dihasilkan melalui konseling tersebut untuk ditandatangani dan dokumennya disimpan gereja.
Ketiga, pengakuan dosa, kemudian pemberkatan perkawinan dan adanya komisi keluarga yang mendampingi saat persiapan hingga setelah pemberkatan atau pihak yang nanti memfasilitasi bila nanti ada konflik dalam keluarga.
Kita pahami dengan seksama tatanan dan usaha tersebut merupakan suatu hal yang sangat kuat dalam upaya membangun sebuah institusi keluarga. Hal tersebut tentu juga ada dan dilakukan oleh berbagai macam agama lainnya sebagai institusi sosial yang ada dan terinternalisasi dalam masyarakat di Indonesia.
Demikian juga halnya dengan ajaran suci agama Islam, contoh lainnya. Islam memberikan tuntunan kepada umatnya untuk memperhatikan hak dan kewiban, tidak hanya sebagai suami ataupun istri, akan tetapi juga hak dan kewajiban anak.
Terkait dengan anak, terkhususnya remaja saat sekarang ini ada fenomena sosial yang ckup memiriskan hati, meskipun fenomena ini sudah ada sejak lebih kurang satu decade yang lalu, yaitu fenomena tawuran, seperti halnya dalam judul di atas.
Perilaku tawuran tersebut merupakan salah satu perilaku menyimpang sosial yang kini marak-maraknya terjadi di tengah-tengah masyarakat di Indonesia kembali. Dahulunya memang cenderung terjadi pada remaja-remaja yang bersekolah di kota-kota besar. Namun, konteks hari ini sudah terjadi pula pada kota-kota yang tidak terlalu besar. Meskipun asumsi penulis perilaku tawuran ini juga memiliki kolerasi terhadap kepadatan penduduk dan tentu terkhususnya akan kuat hubungannya dengan institusi keluarga.
Contohnya adanya kelompok -kelompok geng tawuran dan terjadinya tawuran di di Kota Padang, yang merupakn salah satu kota kosmopolitan dan ibukota provinsi di Sumatera Barat yang masih dihuni oleh masyarakat yang sebagian besar suku Minangkabau.
Orang Minangkabau identik dengan masyarakat beragama Islam. Artinya, bila kita asumsikan bahwa telah adanya pengetahuan terhadap hak dan kewajiban antara suami dan istri (orang tua laki-laki dan perempuan), serta minimal sepuluh hak dasar anak, yaitu dimulai dari hak kesucian keturunan, hak untuk hidup, hak keabsahan dan nama yang baik, hak penyusuan, tempat tinggal yang layak, pemeliharaan hingga perawatan kesehatan dan nutrisi yang mencukupi, hak untuk pengaturan tempat tidur yang terpisah, hak keamanan masa depan, hak pendidikan agama, hak perlakuan yang adil, hak untuk olah raga dan bela diri hingga hak makanan atau nafkah yang diberikan adalah makanan yang baik lagi halal.
Bila kita lihat tatanan nilai-nilai ajaran Islam di atas, tentu akan memberikan implikasi bahwa sudah dibelakinya PUS untuk dapat memberhatikan hal-hal yang dapat menjaga keharmonisan keluarga mereka, baik secara fungsi maupun upaya lain dalam upaya harmonisasi dan usaha meraih kebahagian. Namun mengapa masih saja ada berbagai macam peristiwa yang semestinya tidak terjadi atau setidaknya dapat meminimalisir risiko untuk retak bahkan rubuhnya sebuah keluarga? Dalam perspektif sosiologis, tentu akan mengatakan itulah realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Dengan adanya fenomena yang keluar dari nilai dan nomra serts pola kehidupan yang mungkin jauh dari peradaban, seperti perilaku tawuran tersebut, tentu mesti dicarikan apa yang menjadi penyebab dan sekaligus solusinya, sehingga diperlukan komitmen bersama, baik dari pihak pemerintah yang mengeluarkan regulasi-regulasi yang mendorong untuk pencegahan terjadinya tawuran, pemperkuat institusi keluarga melalui penguatan dan pembangunan keluarga, sinergisitas dengan pihak kemanan, para akademisi, keluarga itu sendiri hingga masyarakat secara luas.
Sehubungan dengan penguatan dan pembangunan keluarga, maka di sinilah menjadi pertanyaan dan sekaligus jawaban untuk kita bersama memahami pentingnya program Keluarga Berencana (KB). Memahami program yang telah berusia lebih dari setengah abad tersebut di Indonesia, yang dahulunya dikenal dengan slogan “dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja”, kini disesuaikan dengan menjadi “keluarga berkualitas itu keren”.
Artinya, KB mestilah dipahami secara komprehensif, tidak hanya sebatas penggunaan alat ataupun obat kontrasepsi saja, meskipun itu juga penting sebagai salah satu cara bila dibutuhkan, seperti dalam upaya menunda kehamilan, atau menjarangkan usia kelahiran antara anak yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi yang terpenting adalah konsep keluarga berencana mestilah diawali dari merencanakan keluarga, melaksanakan fungsi-fungsi keluarga.
Misalnya pada Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menawarkan minimal ada delapan fungsi keluarga: fungsi Agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan. Dengan berfungsinya delapan fungsi tersebut pada setiap keluarga, maka akan diyakini akan dapat menjaga tatanan kehidupan dalam keluarga dan harmonisasi dalam masyarakat, sehingga akan mendorong pada kehidupan sosial yang aman dan sejahtera.
Lebih jauh, penting adanya pengetahuan dalam keluarga, yaitu setiap calon pasangan suami istri yang akan membangun sebuah keluarga, untuk diberikan bekal dan merekapun mesti memiliki keinginan kuat untuk menimba ilmu sebagai bekal dalam menjalani bahtera rumah tangga mereka kelak.
BKKBN sebagai institusi yang diamanahkan negara Indonesia dalam mengatur penduduk, baik secara kuantitas maupun kualitas, telah melakukan berbagai macam program dalam menyokong pembangunan keluarga. Hal tersebut mulai dari program Generasi Berencana (GenRe), Pusat Informasi Konseling Remaja/Mahasiswa (PIK R/M) yang membantu remaja atau generasi muda untuk mereka memanfaatkan energi mereka yang besar untuk hal-hal yang bermanfaat dan berguna dalam tumbuh kembang mereka secara positif.
Demikian juga dalam memberikan pengetahuan kepada keluarga-keluarga yang memiliki anak remaja agar mereka tahu dan paham bagaimana berinteraksi dengan anak pada fase remaja tersebut melalui program Bina Keluarga Remaja (BKR). Contohnya saja adalah bila keluarga berfungsi dalam kasih sayang dan perlindungan serta kepedulian yang tinggi ada dalam keluarga, maka akan dapat meminimalisir terjadinya tawuran.
Mengapa? Hal tersebut dipahami diantaranya dengan adanya kesadaran saat remaja merupakan masa pencarian jati diri, pada fase tersebut mereka ingin diakui, lantas dalam keluarga mereka mereka tidak mendapatkan apresiasi dan pengakuan oleh orang-orang terdekat dalam keluarga mereka secara baik dan terpenuhi, maka tidak mengherankan untuk mereka mencarinya di luar rumah.
Jika mereka mengekspresikan tersebut pada tempat yang salah dengan melakukan perilaku negatif, seperti tawuran tersebut tentu akan membahayakan terhadap diri mereka secara pribadi untuk ke depannya termasuk juga nanti berdampak kepada keberlanjutan estafet bangsa negara ini pula ke depannya, sebab diyakini generasi hari ini pada tahun 2045 nanti merupakan sosok dan generasi yang akan melanjutkan ke mana bangsa negara ini pula nantinya, “seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia, demikian Bung Karno pernah berujar.
Demikian juga dengan pandangan agama Islam yang nantinya tentu berharap umatnya tidak hanya seperti buih di lautan, akan tetapi umat yang berkualitas, kualitas iman dan amal serta pengetahuannya sebagai khalifah, penjaga keberlanjutan kehidupan di dunia.***