mon
OLEH Lismomon Nata (Kandidat Doktor Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Padang)
Beberapa daerah di Sumatera Barat santer diberitakan berada dalam keadaan duka tersebab terjadinya bencana alam sejak beberapa waktu yang lalu. Kondisi demikian dalam kurun waktu dekade katakanlah dapat ditarik semenjak terjadinya bencana gempa tahun 2009 lalu, hingga belakangan ini diperkuat terjadinya bencana banjir bandang yang mengakibatkan tidak hanya kerugian harta benda, akan tetapi juga nyawa. Tercatat 59 orang meninggal dunia, 11 orang hilang dan 3.060 orang mengungsi (Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Barat, data 22 Mei 2024).
Semenjak itu berseliweran di media sosial dan pandangan para pakar bahwa masih tersisa ancaman risiko patahan semangka yang disebabkan karena gempa tektonik, sehingga wilayah pesisir pantai di Sumatera Barat berisiko terjadinya tsunami.
Namun, ternyata tidak hanya saja laut untuk “dijauhi” dan “ditakuti” oleh masyarakat, akan tetapi daerah pegunungan pun memberikan risiko. Artinya Sumatera Barat merupakan daerah yang rawan bencana alam, walaupun menurut para pakar, tidak hanya Sumatera Barat, bahkan Indonesia merupakan karenaberada di wilayah lingkaran api pasifik yang biasa dikenal dengan cincin api.
Menariknya bencana alam tidak hanya menimbulkan dampak yang terlihat, seperti halnya adanya korban harta ataupun benda bahkan nyawa, namun juga dapat melahirkan bencana sosial, seperti degan terjadinya longsor pada beberapa titik, semakin banyak “katidiang-katidiang” (ketiding) di tepi jalan, perilaku meminta-minta.
Apabila dahulunya menjadi realitas sosial yang problematik di beberapa daerah di Sumatera Barat yang berdiri di tengah-tengah jalan raya dengan katidiang sebagai upaya untuk membangun rumah ibadah, sekarang mungkin mereka anggap sebagai “kompensasi” telah membantu kelancaran berlalu lintas.
Ironinya, semenjak jalur darat banyak bermasalah pada beberapa titik atau sedang perbaikan jalan, muncul julukan Sumatera Barat sebagai “negeri 1000 katidiang”, sehingga pada daerah tersebut membentuk mentalitas yang kurang elok bahkan memicu terjadinya konfik.
Meskipun awalnya pengaruh media atau informasi, maupun hoaxs banyak bermunculan terkait bencana yang akan terjadi tsunami, akan tetapi asumsi saya dalam pandangan psikologis sosial, saat ini terkhususnya masyarakat Sumatera Barat, khususnya sekitaran Pantai Padang, sudah mulai “kebal” dan tidak terpengaruh lagi akan isu-isu yang tidak bertanggung jawab, walaupun memang berdampak besar terhadap beberapa hunian di sekitar pantai menjadi bangunan yang ditinggalkan, termasuk beberapa sarana pendidikan melakukan ekspansi atau pengembangan di daerah yang dianggap zona hijau, jauh dari jangkauan risiko bahaya tsunami.
Jalur Situnjau Lauik menjadi satu-satunya akses jalur darat yang menghubungkan dengan daerah perbatasan dan menuju Jakarta sebagai pusat akses sumber barang-barang yang diangkut ke pusat ibukota yaitu Padang. Belum lagi daerah jalur Silaiang-Bukittinggi sempat putus beberapa waktu sehingga terjadinya penumpukan dan kemacetan, bahkan tidak jarang terjadi musibah kecelakaan karenanya. Jadwal truk dengan tonase yang besar dan kadang tidak “sehat” juga tidak jarang mengalami kerusakan pada jalur ekstrem Sitinjau Lauik, menambah parahnya kemacetan dan masalah lalu lintas.
Beberapa waktu ke depan akan terjadinya suksesi politik melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak. Dalam hal ini penulis tertarik untuk mengerucutkan kepada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat. Kondisi-kondisi di atas, tentu memberikan pembelajaran buat kita bersama terkhususnya warga Sumatera Barat untuk lebih memiliki kedasaran bahwa wilayah Sumatera Barat berisiko terhadap bencana.
Para ahli lingkungan atau kebencanaan telah memberikan pemahaman akan pentingnya untuk kembali memperhatikan aspek lingkungan dalam kehidupan bersama termasuk serius akan mitigasi bencana untuk menyelamatkan warga masyarakat yang berisiko.
Oleh karena itu, perlu dan penting rasanya diawali dengan adanya kepala daerah (gubernur) yang memiiki “sense” dan pro terhadap lingkungan. Dimana aspek lingkungan di sini tidak hanya yang tersangkut paut kepada lingkungan fisik semata, akan tetapi juga lingkungan sosial (budaya) yang diawali dari mentalitas masyarakat.
Hal ini diyakini karena segala sesuatu yang ada dalam kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara ini diawali dari landasan peraturan dan perundang-undangan atau regulasinya. Misalkan bagaimana menyeriusi terhadap regulasi yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan, kebijakan-kebijakan yang pro lingkungan dan kebermanfaatan atau kemaslahatan terhadap hajat kehidupan orang banyak dengan prinsip keberanjutan (suistanable).
Kebijakan kepala daerah tersebut akan memberikan dorongan kepada masyarakat agar mendukung dan adanya keterlibatan mereka secara partisipatif. Kemudian diperkuat dengan memperkuat kelembagaan, dukungan akan teklogi, inovasi serta memberikan dampak ekonomis pula.
Di samping risiko masalah bencana alam sehingga perlu diperkuat regulasi terhadap mitigasi bencana, mengaturan waktu operasional truk, meminimalisir mentalitas “katidiang”, masalah lain juga berimplikasi terhadap maslaah lingkungan yang mungkin dianggap kecil, namun berdampak besar, seperti sampah. Dimana masalah sampah menjadi salah satu isu dalam ekonomi silkular, yaitu sebuah tawaran sebuah sistem atau model ekonomi dengan tujuan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga bilai produk maupun sumber daya dalam ekonomi semaksimal mungkin, sehingga meminimalkan kerusakan secara sosial dan lingkungan yang disebabkan oleh cara ekonomi yang dilakukan secara linear (McArthur, 2015).
Keberpihakan dan pro kepala daerah dalam konteks ini bagaimana memberikan dukungan secara regulasi terhadap kegiatan ekonomi yang ada di Sumatera Barat dengan memperhatikan beberapa prinsip, seperti pemenuhan kebutuhan barang atau jasa yang tetap memberhatikan kelestarian alam bahkan dapat memberikan kebermanfaatan terhadap alam, seperti mengaplikasikan prinsip green economy (ekonomi hijau).
Meminimalisir penggunaan bahan-bahan yang anorganik, mendorong dan mengoptimalkan organik atau alami. Hal ini dapat dengan mengeluarkan kebijakan yang memfasilitasi dan mengoptimalkan penelitian-penelitian akan teknologi tepat guna dan ekonomi hijau, baik bagi para akademisi dan mahasiswa yang kemudian hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara luas melalui fasilitiasi dan sinergisitas dinas terkait.
Hal tersebut dapat diawali dengan perencanaan terhadap pembangunan yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan, keterlibatan para praktisi dan pakar lingkungan yang dapat memberikan pertimbangan dalam kebijakan pembangunan. Melakukan redesign terhadap produk atau penggunaan barang yang tidak memberikan risiko terhadap lingkungan dan berbahaya kepada kesehatan manusia serta dengan memberikan dukungan kebijakan agar dapat dilakukannya perpanjangan umur produk suatu barang dengan cara optimalisasi produk meskipun terjadinya perubahan terhadap fungsi benda, seperti menjadikan ban-ban bekas dibuat menjadi kursi, plastik-plastik bekas dibuatkan sebagai aksesosi yang memiliki daya guna.
Tentu banyak hal lagi yang terkait dengan aspek lingkungan, baik secara biotik, abiotik ataupun culture atau yang biasa dikenal dengan konsep ABC, termasuk manusia, penduduk di dalamnya sebagai objek dan sekaligus subjek yang menentukan terhadap keberlanjutan kehidupan di dunia ini untuk seperti apa ke depannya.
Dengan harapan adanya kehadiran kepala daerah yang “benar-benar” peduli dan pro terhadap lingkungan ini nantinya akan mengejawantahkan bahwa manusia adalah khalifah di atas bumi yang Allah Swt turunkan, yaitu tidak hanya sebagai pemimpin, akan tetapi juga sebagai penjaga yang amanah.
Bila tidak tentu kita semakin menemukan bahwa banyak manusia ingin ia hidup dalam umur yang panjang dan lama, namun seringkali lupa dan tidak arif terhadap sebab-sebab yang membuat ia menjadi pendek usia karena pola prilakunya. Wallahu A'lam Bishawab.