OLEH Ka’bati (Redaktur sumbarsatu.com)
"Selama beberapa generasi, narasi seputar megalit di nagari Maek terutama berfokus pada kejantanan. Legenda lokal menggambarkan struktur kolosal ini sebagai bukti kekuatan dan kecerdikan laki-laki. Namun, perspektif feminis mengundang kita untuk mempertanyakan narasi tunggal ini dan mengeksplorasi peran potensial perempuan dalam membentuk peradaban yang luar biasa tersebut.”
SEEKOR kupu-kupu betina mati. Peristiwa itu terjadi menjelang senja di Kawasan Situs Menhir Bawah Parit, Nagari Maek Lima Puluh Kota. Beberapa waktu sebelum Festival Maek digelar, seekor kupu-kupu betina hinggap di rerumputan. Itu adalah padang luas yang diisi dengan rerumputan tipis dan ratusan batu-batu mejan peninggalan zaman megalitik.Tempat yang juga diam-diam menjadi rumah bagi berbagai jenis serangga. Kupu-kupu turut menjaga kawasan itu dengan terus bermetamorfosis. Dalam kepercayaan kuno mereka simbol arwah leluhur atau petanda sesuatu yang gaib.
Sore itu, sang kupu-kupu hendak mencari tempat untuk menelurkan bakal anak. Tiba-tiba selembar daun kering jatuh menimpanya. Kupu-kupu betina memutuskan diam di bawah daun itu. Bisa jadi, dia menyangka tuhan yang mengirim daun kering agar dia lebih aman dan terlindungi. Di waktu bersamaan, beberapa orang pengunjung sedang berjalan di padang rumput yang sama. Tanpa disadari, kaki salah seorang pengunjung itu menginjak dedaunan kering, si kupu-kupu betina mati.
Kupu-kupu jantan yang hinggap di puncak mejan tidak menyadari apa yang terjadi dengan betinanya, bahwa satu siklus kehidupan telah terputus. Bahkan si pengunjung yang menginjak kupu-kupu itupun tidak pula sadar kalau dia baru saja membunuh harapan hidup kupu-kupu yang digelari sebagai sang penjaga keseimbangan alam. Tak ada yang menyadari, benar-benar tak ada. Kisah di atas sebuah tragedi dari serangkaian ketidaksadaran fatal yang sering terjadi, tidak hanya dalam narasi soal kematian kupu-kupu betina itu tetapi juga dalam pembacaan kita atas sejarah hidup manusia di masa lalu.
Kisah-kisah di luar frame besar pengetahuan semisal kisah tentang nasip kupu-kupu yang naas atau tentang keseharian perempuan biasa, bagaimana dia menghadapi proses menstruasi sampai melahirkan dan bahkan menyambut kematiannya, sering luput dari kesadaran. Tahapan kehidupan manusia dalam bingkan sejarah yang berbeda kemudian melahirkan produk pengetahuan sejarah berbeda pula. Lesung misalnya disimbolkan sebagai produk sejarah untuk menjawab kebutuhan perempuan dalam memproduksi makanan dan keris atau tombak merupakan produk sejarah yang lahir untuk menemani laki-laki memenuhi kebutuhan berperang atau berburu. Sayangnya, karena sejarah lebih dominan ditulis oleh laki-laki membuat kehadiran maupun ketokohan laki-laki jauh lebih ditonjolkan dibanding perempuan. Kalaupun ada narasi sejarah tentang perempuan, itu kebanyakan juga dituliskan oleh laki-laki. Belakangan setelah menguatnya pandangan feminis dalam pendekatan sejarah, keberadaan perempuan mulai menjadi perbincangan, namun dalam membaca peristiwa prehistori masih banyak misteri tentang kehidupan perempuan yang belum berhasil dibongkar.
Dari sedikit penulis yang mengakui kehadiran perempuan, adalah Yuval Noah Harari. Penulis buku Sapiens A Brif History of Humankind ini memprediksi bahwa manusia sudah hadir di bumi semenjak 70 ribu tahun namun sepanjang kehadirannya sang homo sapien atau makhluk yang bijaksana bernama manusia ini telah menyumbang 50 persen kerusakan. Bahkan juga merusak peradaban perempuan dengan melakukan pendomestifikasian demi kepentingan reproduksi.
Bagi Harari sejarah manusia telah mengalami tiga fase yang dia sebut sebagai revolusi besar, yaitu revolusi kognitif, revolusi agrikulture dan revolusi scientifik. Revolusi kognitif ditandai dengan kemampuan manusia berbahasa dan menggunakan bahasa dalam berkomuniakasi dengan sesama homo sapiens. Kemampuan berbahasa ini dianggap sangat penting karena dengan bahasa manusia bisa menciptakan imajinasi. Dan lewat imajinasi manusia bisa menciptakan dan membangun semangat gotongroyong diantara sesama manusia yang asing sekalipun. Harari menyebutnya sebagai ‘membagun kesadaran intersubjektif’ atau imajinasi kolektif.
Setelah berpindah-pindah, sebagai bagian dari gaya hidup atau kemampuan untuk bertahan hidup, manusia memutuskan untuk menetap sehingga lahirlah revolusi agrikultur. Ketimbang berburu dan hidup berpindah-pindah lebih baik menanam dan menikmati buah yang ditanam. Kesadaran ini menjadi dasar lahirnya masyarakat agrikultur. Dalam perkara ini manusia, alih-alih mendomistifikasi, justru didomestifikasi oleh asrat bertanam, oleh padi dan gandum. Akibatnya menurut Harari, tubuh yang semula terbiasa didesain untuk memanjat pohon, berburu hewan buas dan sebagainya, kemudian menjadi tidak banyak bergerak karena gandum tidak membutuhkan energi seperti berburu. Manusia menyalahi kodra tubuhnya dalam bekerja karena budaya agrikultur ini. Manusia yang didomestifikasi oleh gandum kemudian mendomestifikasi juga hewan ternak seperti ayam, sapi , ikan dan sebagainya. Bahkan perempuan juga didomestifikasi agar proses reproduksi manusia bisa dikontrol.
Akibat domestifikasi ini, waktu luang menjadi banyak, karenanya muncul budaya ‘nongkrong dikalangan manusia. Konsep waktu luang inilah kemudian yang melahirkan pikiran-pikiran tentang tuhan. Pada zaman inilah muncul konsep tentang agama, namun agama yang pertama berkembang itu agama yang politeisme dan mengakui banyak dewa. Selain agama, sistem politik juga mulai berkembang pada saat itu, terutama soal tata kelola lahan dan pembagian kekuasaan (wilayah) pertanian. Lahir juga konsep tentang konstitusi, kebahagiaan, keadilan, politik kekuasaan dan sebagainya. Imajinasi kolektif yang juga kemudian berkembang adalah soal uang. Uang adalah alat penyatu paling kuat dihadapan semua agama, keyakinan politik perbedaan ras, kelamin dan sebagainya. Orang boleh berbeda dalam banyak hal tetapi sepakat soal uang. Di sini mulai pula perempuan mengalami diskriminasi peran sebagai bentuk hasil negosiasi dan perebutan ruang kuasa.
Pasca revolusi agrikultur masuk zaman revolusi Sains. Revolusi sains ditandai oleh kemampuan manusia mengakui ketidak tahuannya. Ketidak-tahuan membuat orang terus mencari pengetahuan. Pertama lewat skenario rekayasa biologi. Kedua lewat skenario bionik dan ketiga lewat skenario Artifisial inteligent (AI). Skenario pertama itu upaya merekayasa tubuh agar lebih sehat, pintar, bugar. Skenario kedua revolusi bionik misalnya kalau organ tubuh kita sakit atau rusak, bisa diganti dengan organ bionik. Manusia juga bisa mempertimbangkan penyingkatn waktu mengerjakan hal sulit dengan bantuan AI. Kita hari ini mungkin sedang berada di tahap ini. Dimana kemudian situasi menghendaki tafsir yang berbeda atas realitas sejarah baru. Teknologi kemudian mempertautkan kembali kesadaran manusia bahwa mereka, laki-laki dan perempuan adalah homo sapien yang seharusnya sama-sama bijaksana. Lalu muncullah perjuangan-perjuangan untuk mendapatkan status setara ini.
Medio 1980-an dicatat sebagai tahun-tahun penting di dunia arkeologi Sumatera Barat. Tahun itu, tim peneliti Tradisi Megalitik Sumatera Barat mulai melakukan penggalian di Nagari Maek Limapuluh Kota dan menemukan 15 situs dengan sekitar 800 batu di Maek. Menurut John Miksic dalam tulisannya berjudul From megaliths to tombstones: the transition from prehistory to the early islamic period in highland west sumatra yang dipublikasi di Indonesia and the Malay World Journal edisi 32, dari 800 batu itu sebanyak 380 diantaranya terdapat Bawah Parit. Sebagian besar batu adalah bentuk tunggal, yang di Sumatra sering dikaitkan dengan gagang keris. Bawah Parit adalah ladang monolit terbesar dan paling teratur dibanding temuan lain di daerah Lima Puluh Kota. Berdasarkan ukuran dan keteraturan tata letaknya para peneliti bersepakat menyatakan bahwa menhir yang juga disebut sebagai batu mejan itu merupakan penanda kuburan. Siapa yang berkubur dibawahnya? Bisa jadi merekalah yang disebut sebagai nenek moyang orang Minangkabau.
Dari catatan-catatan yang ada serta narasi historis yang terbangun tentang keberadaan menhir di Maek, tidak ditemukan catatan khusus yang menghadirkan perspektif perempuan sebagai bagian dari realitas sejarah terbentuknya sistem matrilineal di Minangkabau. Padahal secara moral maupun norma yang berlaku, masyarakat Minangkabau mengakui perempuan sebagai ‘core’ atau ‘pusek jalo pumpunan ikan’ dalam kebudayaannya dan dipercaya secara turun temurun.
Di balik menhir-menhir yang tersebar di Maek bisa jadi juga tersimpan cerita tentang nasib perempuan yang tidak mampu dinarasikan oleh penulis sejarah, arkeolog atau para peneliti karena mereka tidak memiliki kesadaran akan hal itu. Mereka mungkin bisa menangkap hal-hal yang nampak oleh kesadarannya, tetapi bagaimana dengan kebenaran lain yang juga ada, seperti kupu-kupu betina yang mati itu, namun peristiwanya tidak hadir dalam kesadaran sang peneliti. Kemungkinan dia akan bisa hilang pula dari kesadaran semua orang pada generasi berikutnya. Karena dia tidak dihadirkan bukan karena tidak ada. Untuk itulah artikel ini ditulis dengan judul Menhir dan Kesadaran Atas Keberagaman Manusia Dalam Sejarah.
Dari perspektif perempuan, menhir-menhir yang ada di daerah Maek bisa dilihat sebagai sumber kekuatan dan inspirasi bagi perempuan. Batu-batu ini, dengan ketahanan dan keabadiannya, dapat menjadi pengingat bahwa perempuan juga memiliki kekuatan dan potensi yang luar biasa. Selama ini, cerita tentang menhir lebih sering dikaitkan dengan kekuatan dan kegagahan laki-laki. Namun, jika kita melihatnya dari kacamata perempuan dan sistem matrilineal, mungkin ada kisah lain yang tersembunyi di balik batu-batu tersebut. Dalam banyak masyarakat agraris, perempuan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan alam dan waktu. Mereka adalah penjaga musim, ahli dalam perbintangan, dan pemelihara kehidupan. Ada kemungkinan menhir-menhir di Maek bukan hanya sekadar batu, tetapi juga penanda waktu astronomi yang penting bagi masyarakat matrilineal di masa lalu. Perempuan, sebagai pemegang pengetahuan tentang siklus alam, bisa jadi berperan dalam menentukan lokasi dan fungsi dari menhir-menhir ini.
Simbolisme Perempuan dalam Batu
Beberapa menhir di Maek atau di Sumatera Barat pada umumnya, memiliki ukiran yang menarik. Ada yang berbentuk spiral, ada pula yang berbentuk geometri. Simbol-simbol ini sering dikaitkan dengan konsep kesuburan, kehidupan, dan kematian. Simbol-simbol ini juga bisa dikaitkan dengan perempuan dan peran mereka sebagai pencipta kehidupan. Mungkin, menhir-menhir ini bukan hanya sekadar batu, tetapi juga representasi dari kekuatan dan pengetahuan perempuan dalam masyarakat kuno.
Sistem matrilineal, yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Minangkabau, menempatkan perempuan sebagai aktor sentral dalam struktur sosial dan ekonomi. Mungkin, menhir-menhir di Maek adalah saksi bisu dari kekuatan dan pengaruh perempuan dalam masyarakat matrilineal tersebut. Batu-batu ini bisa jadi juga merupakan simbol kekuasaan perempuan atau bahkan tempat untuk menghormati leluhur perempuan.
Untuk mengungkap rahasia di balik menhir-menhir Maek ini, kita perlu melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda. Bukan hanya dari perspektif kekuatan fisik, tetapi juga dari perspektif pengetahuan, spiritualitas, dan peran perempuan dalam masyarakat. Mungkin, di balik batu-batu besar ini, tersimpan kisah tentang perempuan-perempuan kuat yang pernah hidup di Nagari Maek. Dari merekalah kemungkinan lahirnya konsep-konsep kuasa tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan. Karena kata tali dan tungku adalah simbol yang dekat dengan keseharian dan urusan-urusan domestik. Kisah yang selama ini terabaikan, namun kini, lewat momen Festival Maek (17-20 Juli 2024), yang digadangkan sebagai festival arkeologi terbesar di Sumatera ini, kesadaran itu bisa diperbarui kembali..
Selama beberapa generasi, narasi seputar megalit Maek terutama berfokus pada kejantanan. Legenda lokal menggambarkan struktur kolosal ini sebagai bukti kekuatan dan kecerdikan laki-laki. Namun, perspektif feminis mengundang kita untuk mempertanyakan narasi tunggal ini dan mengeksplorasi peran potensial perempuan dalam peradaban yang luar biasa ini. Sesuatu yang bisa ditawarkan pada peradaban dunia yang mulai sesak oleh berbagai tafsiran yang patriarkhis.
Mengungkap rahasia Maek membutuhkan pendekatan holistik. Dengan memasukkan suara dan perspektif perempuan dalam penelitian dan interpretasi arkeologi, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih kaya tentang peradaban kuno ini. Mungkin perempuan bukan hanya pengikut pasif, tetapi peserta aktif dalam pembangunan dan desainnya. Kemungkinan ini bisa diungkap dengan mempertimbangkan pembacaan simbolisme berdasarkan petunjuk dalam ukiran, pola spiral dan geometris, yang sering dikaitkan dengan kesuburan dan siklus hidup dalam berbagai budaya dan sebagainya. Festifal Maek semoga menjadi momen untuk menulis ulang sejarah melalui perspektif perempuan sebagai kekuatan dalam sistem matrilineal. ***