Eros Djarot
Jakarta, sumbarsatu.com– Budayawan Eros Djarot mengajak masyarakat sipil, terutama pendukung paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, untuk melakukan perlawanan atas segala bentuk ketidakadilan yang sedang terjadi di negeri ini.
Gerakan ini untuk menyadarkan masyarakat terhadap seluruh hal yang sedang terjadi di negeri ini mulai dari ketidakadilan hingga penghinaan kemanusiaan.
Hal itu disampaikan Eros dalam Diskusi Publik “Rethinking Indonesia: Pemilu Terburuk dalam Sejarah Indonesia, Akankah Kita Terpuruk?” yang diselenggarakan Desantara Foundation di Jakarta, Sabtu (2/3/2024).
Diskusi ini juga dihadiri oleh berbagai tokoh seperti Sudirman Said (Ketua Institut Harkat Negeri), Sandrayati Moniaga (eks Komisioner Komnas HAM), Jumhur Hidayat, Muhammad Nurkhoiron, Yusuf Martak, dan lainnya.
“Ramadan ini panggung. Cobalah gunakan panggung ini menyadarkan gerakkan perlawanan, tapi bukan menghasut, gunakan data dan fakta objektif setiap hari. Tim 01 [AMIN] strategis melalui ceramah dalam Tarawih,” ucap Eros.
Dia melihat adanya silent majority dari berbagai latar belakang yang bisa menjadi bara dalam sekam.
“Pak Jokowi, Anda hati-hati, Anda Presiden RI, tidak lebih lama dari direktur perusahaan mebel. Segala gerak Anda jadi contoh dan panutan. Untuk itu, mari menyusun rencana gerakan perlawanan,” ucap Eros.
Eros menilai pemilu hanya menjadi pintu gerbang bagi para penguasa untuk bisa tetap bertahan. Menurutnya, para konglomerat tidak mempersoalkan siapa pun pemenang dalam Pemilu 2024, tetapi mereka tetap menjadi penguasa sesungguhnya melalui penguasaan ekonomi.
“Jadi, buat saya pemilu itu dibuat hanya untuk window saja, pintu gerbang besar yang sebetulnya untuk mempertahankan yang selama ini sesungguhnya penguasa Indonesia [para konglomerat/oligarki]. Jokowi hanya CEO saja, tapi komisaris ada [para konglomerat]. Siapa pun yang menang, the riil power bukan Jokowi. Pompa ada di belakang.”
Oleh sebab itu, ketika bicara penggelembungan suara, kata dia, menjadi poin yang salah. Justru kekuatan “pompa besar” di belakang Jokowi yang perlu dipersoalkan. “Itu bukan kecurangan, itu kewajiban mereka [oligarki], supaya mereka bertahan, lewat penjaga gerbang [pemilu].”
Menurutnya, situasi saat ini jauh lebih dalam dari politik yang tampak (beyond politic) karena terdapat persoalan yang lebih substansial, yaitu kebudayaan dan peradaban bangsa. Bagaimana mengembalikan pembangunan kebudayaan dan peradaban Indonesia.
Siapa pun presidennya di Republik ini, sejatinya telah dititipkan amanat untuk membangun sebuah peradaban. Arahnya sudah jelas tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, berbagai peraturan turunannya, dan titipan perjalanan bangsa selama ini serta semangat dalam ruh dan jiwa atas tujuan reformasi 1998. Semua itu dapat mengikat semua pihak untuk membangun peradaban bangsa yang diinginkan.
Di sisi lain, menurutnya, arah pembangunan peradaban bangsa saat ini sudah mengkhawatirkan. Masyarakat, lanjutnya, digiring untuk meributkan pemilu. Padahal, masalah terbesar justru dalam pembangunan peradaban bangsa.
“Presiden adalah seorang yang selalu ditempatkan dalam posisi sebagai solusi, yang bisa memberikan jawaban berbagai masalah, menyelesaikan masalah. Yang sedang kita hadapi saat ini, dia [presiden] adalah masalahnya, the sources of problem. Saya tidak mau terjerat dan terjebak dalam situasi seperti itu karena ini kan masalah. Pemilu itu buat saya justru hanya pintu gerbang, what is the behind, itu persoalan,” kata Eros Djarot. SSC/KBA