Foto Google Doodle Ani Idrus
Ani Idrus salah satu perempuan wartawan yang paling menonjol dalam sejarah pers Indonesia. Ia prototipe perempuan Minangkabau benar, “bagak”, pemberani, dan jagoan.
Sampai akhir hayatnya, di usia 81 tahun, ia tetap aktif sebagai wartawan dan Pemimpin Umum Harian Waspada, Medan, salah satu surat kabar tertua di Indonesia yang didirikannya tahun 1947. Selain sebagai wartawan, ia juga aktif di organisasi pergerakan, pendidikan, serta politik. Bahkan juga memimpin Persatuan Sepakbola Wanita di Medan.
Lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 25 November 1918, dan wafat di Medan, 9 Januari 1999, Ani memulai pendidikan di Sekolah Dasar di Sawahlunto, dan sore harinya mengaji di surau. Ayahnya Sidi Idrus, yang berasal dari Sungai Limau, Padang Pariaman, bekerja sebagai pegawai perusahaan tambang batu bara di Sawahlunto. Ibunya, Siti Djalisah, berasal dari Bonjol, Pasaman. Ani mempunyai seorang kakak seayah-seibu bernama Ana.
Ketika Ani dan Ana masih kecil, kedua orang tuanya bercerai. Siti Djalisah pergi ke Medan, sedangkan Sidi Idrus kawin lagi. Ana dan Ani tinggal dengan ayah dan ibu tirinya di Sawahlunto. Setelah Ani berumur 10 tahun, ibunya datang dari Medan untuk menjemputnya. Maka berangkatlah Ani dan Ana ke Medan, tinggal dengan ibunya yang menikah lagi dengan lelaki bernama Misan. Ayah tirinya itu ia panggil ‘Paman’.
Ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Madrasah di Medan. Setelah itu masuk Methodist English School, Meisjes School, Schakel School, dan MULO Taman Siswa. Setelah malang melintang di dunia wartawan, Ani tak berhenti menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal. Tahun 1962-1965 ia menjadi mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatra Utara (UISU) Medan, dan tahun 1975 menjadi mahasiswa Fisipol universitas yang sama. Tetapi baru 1990, ketika usianya 72 tahun, Ani menyelesaikan ujian dan memperoleh gelar doktoranda ilmu sosial politik dari UISU.
Ani memulai jadi wartawan tahun 1930 di Majalah Panji Pustaka Jakarta. Kemudian, tahun 1936 bekerja pada Sinar Deli Medan dan sebagai pembantu untuk majalah politik Penjedar.
Semasa gadis, Ani Idrus dikenal sebagai “Roos van Medan” (Bunga Ros dari Medan), dan ikut bermain dalam sandiwara amatir. Ketika bekerja di Sinar Deli, Ani berpacaran kemudian menikah dengan Mohammad Said, wartawan yang sudah beristri yang waktu itu juga dikenal sebagai pengacara. Pada tahun 1938 pasangan ini menerbitkan majalah politik Seroean Kita. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, kiprah pasangan wartawan ini makin berkibar. Tahun 1947 mereka menerbitkan Harian Waspada. Harian Waspada merupakan salah satu surat kabar tertua di Indonesia dan masih eksis hingga sekarang. Dua tahun setelah itu, mereka menerbitkan pula majalah Dunia Wanita.
Ia menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Umum Waspada, Majalah Dunia Wanita sejak tahun 1969 sampai 1999. Pada tahun 1988 ia menerima Anugerah Satya Penegak Pers Pancasila dari Menteri Penerangan RI, di Jakarta. Penghargaan ini hanya diberikan kepada 12 tokoh pers nasional. Setelah itu, tahun 1990 di Makassar, ia juga menerima penghargaan dari Menteri Penerangan RI sebagai wartawan yang masih aktif mengabdi di usia lebih 70 tahun.
Sebagai wartawati senior, tahun 1951 ia turut mendirikan organisasi PWI Medan kemudian menjadi Ketua PWI Kring Medan selama 10 tahun (1953-1963). Tahun 1959 mendirikan Yayasan Balai Wartawan Cabang Medan, dan dipilih sebagai ketua, selanjutnya mendirikan Yayasan Akademi Pers Indonesia (API) dan menjabat sebagai wakil ketua.
Ani Idrus bukan hanya wartawan di belakang meja, tetapi juga reporter lapangan yang dikenal pemberani. Pada tahun 1956, ia pergi ke Baling di Semenanjung Malaya untuk meliput pertemuan Tunku Abdul Rahman (Ketua Menteri Malaya) dan David Marshall (Ketua Menteri Singapura) dengan Ching Peng, Pemimpin Komunis Malaya yang bergrilya di hutan-hutan menentang tentara Inggris.
Sebelum berangkat Ani Idrus meminta izin kepada suaminya. Mohammad Said yang mengenal watak keras istrinya, mau tak mau, tentu saja mengizinkan. Waktu itu sudah amat kepepet dengan dimulainya perundingan yang akan diliputnya. Ternyata tidak ada alat angkut yang bagus untuk menyeberang dari Medan ke Malaya. Tak ada rotan akar pun jadi. Ani Idrus berangkat ke Penang dengan kapal barang. Dari sana baru melanjutkan ke Baling.
Perundingan di Baling itu gagal. Ching Peng kembali masuk hutan dan melanjutkan perang gerilya. Namun yang menjadi pembicaraan di Indonesia ketika itu adalah tentang keberanian Ani Idrus. Ia satu-satunya wartawan Indonesia yang hadir di pertemuan tersebut. Ia meliput pertemuan Baling dengan pakaian khas wanita Indonesia, yaitu kebaya dan membawa serta putra sulungnya yang masih berusia 11 tahun, Tribuana Said yang kelak menjadi Pemimpin Redaksi Harian Merdeka Jakarta.
Wartawan kawakan Rosihan Anwar dalam bukunya In Memoriam: Mengenang yang Wafat (Penerbit Buku Kompas, 2002), menyebut Ani Idrus sebagai prototipe wanita Minang: bagak. “Beliau seorang wartawan pemberani. Ciri perempuan Minang ialah tegas, mandiri, berjiwa pemimpin, dan bagak.
Sebagai wartawan Ani Idrus banyak melakukan perjalanan Jurnalistik ke luar negeri. Tahun 1953 ia mengunjungi Jepang sebagai wartawan Waspada bersama rombongan missi dagang Fact Finding Pemerintah RI yang diketuai oleh Dr Sudarsono untuk merundingkan pembayaran Pampasan Perang. Tahun 1954 Ani mengunjungi Republik Rakyat Cina (RRC).
Tahun berikutnya, 1955 mengunjungi Belanda, Belgia, Perancis, Italia. Tahun 1956, setelah meliput Pertemuan Baling di Malaya, ia mengunjungi Amerika Serikat, Mesir, Turki, Jepang, Hongkong, dan Thailand. Kemudian, tahun 1961 dan 1962 mengunjungi Inggris dan Jerman Barat serta Perancis.
Lalu tahun 1963 mengikuti rombongan Menteri Luar Negeri Subandrio ke Manila, Filipina dan mengikuti perjalanan Presiden RI ke Belanda dalam rangka penyerahan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia. Selanjutnya, tahun 1976 mengikuti rombongan Adam Malik menghadiri KTT Non-Blok di Kolombo, Srilanka.
Ia juga mempunyai banyak pengalaman di bidang politik. Tahun 1934 ia memasuki organisasi Indonesia Muda, wadah perjuangan pergerakan pemuda, dan pernah duduk sebagai wakil ketua. Tahun 1937 menjadi anggota partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Medan. Kemudian 1949, menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), beberapa kali menjabat sebagai Ketua Penerangan, dan pernah menjadi anggota Pleno Pusat PNI di Jakarta.
Ani Idrus juga menghadiri Kongres Wanita Pertama di Jogyakarta tahun 1949. Lalu, tahun 1950, ia mendirikan Front Wanita Sumatra Utara dan menjabat sebagai ketua. Kemudian menjabat Ketua Keuangan Kongres Rakyat Seluruh Sumatra Utara, menuntut pembubaran Negara Bagian Negara Sumatera Timur (NST).
Selanjutnya menjadi anggota Pengurus Angkatan ‘45 tingkat Pusat di Jakarta. Ia juga mendirikan Wanita Marhaeinis dan menjadi CP (Komisaris Provinsi) Wanita Demokrat di Medan.
Selama tahun 1960-1967, ia menjadi anggota DPRGR Provinsi Sumatra Utara dari Golongan Wanita. Selanjutnya tahun 1967-1970 menjadi anggota DPRGR Tingkat I Sumatra Utara untuk Golongan Karya Wartawan.
Selain menggumuli dunia jurnalistik dan politik, ia juga berkecimpung dalam dunia pendidikan. Tahun 1953 mendirikan Taman Indria berlokasi di Jalan Sisinga Mangaraja Nomor 84, Medan, khusus untuk Balai Penitipan Anak, Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar.
Tahun 1960 mendirikan Yayasan Pendidikan Democratic di Medan, bertujuan mengembangkan dunia pendidikan dengan mendirikan: Democratic English School.
Selanjutnya, 1984, mendirikan Sekolah Pendidikan Agama Islam setingkat SD yaitu Madrasah Ibtidaiyah ‘Rohaniah’ di Jalan Selamat Ujung Simpang Limun, serta membangun mesjid di sampingnya. Kemudian, 1987 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIKP) dan Kursus Komputer Komunikasi (K-3) di Gedung Kampus STIKP.
Selain menulis di surat kabar, Ani juga menulis sejumlah buku, antara lain Buku Tahunan Wanita 1953 (1953), Menunaikan Ibadah Haji ke Tanah Suci (1974), Wanita Dulu Sekarang dan Esok (1980), Terbunuhnya Indira Gandhi (1984), Sekilas Pengalaman dalam Pers dan Organisasi PWI di Sumatra Utara (1985) dan Doa Utama dalam Islam (1987).
Dari pernikahannya dengan Mohammad Said, Ani Idrus melahirkan enam anak, masing-masing Tribuana Said, Saida Said, Indra Buana, Rayati Syafrin, Teruna Jaya Said, dan Prabudi Said. Tribuana dan Teruna Jaya adalah dua di antara putranya yang mengikuti jejak Ani Idrus. Teruna melanjutkan memimpin Harian Waspada, dan Tribuana pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Merdeka Jakarta dan aktif di kepengurusan organisasi PWI Pusat. (Hasril Chaniago)
Sumber: Disadur dari buku 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong (2018)