
OLEH Halim HD (Networker-Organizer Kebudayaan)
DALAM satu dekade terakhir “literasi” menjadi istilah yang sedang naik daun yang hampir pada setiap perbincangan menjadi topik pembicaraan. Terasa istilah itu begitu memukau khususnya dalam setiap peristiwa yang ada hubungannya dengan masalah pendidikan yang berkaitan dengan berbagai seginya. tampaknya taka da kaum terdidik yang tak menyinggung soal literasi, dan terasa dianggap ketinggalan zaman jika tak menyinggung masalah itu.
Setiap kata atau istilah tentu saja tak muncul seketika. Kata, istilah dan bahasa menjadi tanda bagi suatu zaman yang sedang terus berubah dan menuntut untuk selalu diikuti perubahan itu oleh siapa saja, jika tidak ingin ketinggalan zaman, atau bahkan digilas oleh waktu peMelalui rubahan. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita memahami sejarah kata itu melalui suatu pendekatan konstekstual, bahwa setiap kata memiliki perkembangan dan perluasan makna berkaitan dengan perubahan dan kebutuhan untuk menggunakannya.
Pada periode pemerintahan Bung Karno tahun 1950-60an, Gerakan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) dilaksanakan di kampung-kampung dan di wilayah perdesaan dengan sasaran agar warga dan masyarakat bisa baca dan tulis. Yang menarik, yang saya masih ingat komentar seorang ustadz madrasah yang mengajar di suatu sekolah agama yang terletak di seberang sungai, menyatakan bahwa ada warga yang tidak buta huruf dalam konteks bacaan Al Qur’an.
Saya kurang tahu maksud ungkapan ustadz itu. Tapi ada benarnya, bahwa dalam soal kapasitasa membaca dan menulis, seseorang ditentukan juga oleh perangkat bahasa yang dikenalnya. Terlepas dari ungkapan yang disampaikan oleh sang ustadz yang selalu berpakaian rapi daan selalu melintasi kampung kami dengan sepeda onthel, konteks PBH yang ingin disampaikan oleh pemerintah adalah bagaimana agar warga dan masyarakat bisa membaca dan menulis dalam bahasa nasional, bahasa Indonesia dan dengan huruf latin.
Dalam konteks inilah bahasa sebagai perangkat strategis kebudayaan dan peradaban menjadi penting. Walaupun kepentingan itu bisa juga bermakna bagai pedang bermata dua: kapasitas membaca dan menulis melalui bahasa nasional atau bahasa internasional seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Cina dan Arab menjadi jembatan bagi pergaulan antar bangsa dan menciptakan perkembangan ilmu pengetahuan melalui pemahaman kepada bahasa yang bersangkutan. Tapi kita juga harus menyadari bahwa bahasa-bahasa internasional yang disampaikan melalui sastra, agama, dan ilmu pengetahuan menjadi kekuatan yang bisa menguasai suatu bangsa lainnya.
Berkaitan dengan hal inilah maka betapapun juga bahasa nasional bisa sebagai alat propaganda dan indoktrinasi serta alat control pemikiran, menjadi penting dalam menciptakan ikatan kesatuan nasional melalui bahasa. Bahasa nasional sebagaimana juga bahasa-bahasa lokal yang menjadi modal kultural bagi suatu masyarakat bagai ruang kultural yang terus berkembang dan berubah.
Kita menyaksikan perkembangan bahasa Indonesia yang dibentuk oleh puluhan Bahasa yang berasal dari berbagai negeri lain disamping bahasa-bahasa local yang ada di nusantara, seperti juga bahasa lokal yang kita miliki tak sepenuhnya berasal dari dirinya sendiri: interaksi dan relasi antar budaya yang pernah terjadi di kawasan nusantara ikut membentuk, merubah dan mengembangkan bahasa lokal itu sendiri, seperti juga bahasa Indonesia yang terus berkembang. Tapi kita juga menyaksikan adanya bahasa-bahasa lokal yang kian surut, bahkan menuju kemusnahan penggunanya dampak dari pengaruh bahasa nasional. Segi lain yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan dunia literasi adalah masalah etik(a).
Ketika saya menulis catatan menyambut buku yang ditulis oleh Janwan Tarigan kondisi sosial politik sedang hangat dan bahkan letupan isu sosial politik terjadi hampir setiap saat dan pertempuran isu dan gossip politik melanda dan merasuk ke dalam berbagai ruang sosial dan personal. Poin lain yang ingin saya kaitkan antara literasi dengan etik(a) berkaitan dengan kondisi Pendidikan tinggi kita khususnya yang dalam dua dekade terakhir mengalami sejenis degradasi dalam disiplin dan komitmen keilmuan.
Saya meragukan kaitan kuat antara kesadaran literasi dengan kesadaran politik dalam konteks praktek etik(a). di dalam struktur kefilsafatan etik(a) sebagai bunda kandung politik (dan ekonomi) melandasi kajian yang bersifat fundamental. Suatu kerangka politik yang kita hadapi sehari-hari diuji oleh sejauh mana kerangka politik itu memiliki komitmen dan dasar etik(a). Jika suatu kekuasaan politik diraih dengan ambisi yang menghalalkan segala cara, dan dengan kerangka keilmuan yang mendukungnya. Maka menjadi pertanyaan kita, bukankah pelaku politik itu memiliki kesadaran literasi namun jauh dari kerangka dan dasar etik(a)? tanpa harus memberikan gambaran tentang para buzzer atau inluencer yang dengan sigap dan dengan sejenis kecerdasan analisis kita diperhadapkan kepada masalah, bahwa ada suatu makna yang hilang pada saat hasil kajian keilmuan itu disodorkan kehadapan publik.
Banyak orang menganggap bahwa suatu kajian mestilah diperhadapkan dengan kajian lainnya. Secara keilmuan barangkali benar. Tapi bataas terpenting antara perhadapan suatu kajian dengan kajian lainnya sesungguhnya bukan hanya kerangka teoritik dan data. Di balik itu, ada hal yang lebih fundamental, yakni kaitan antara kepentingan suatu kerangka teoritik dengan tujuan yang ideal yang didasarkan kepada kepentingan masyarakat dan tujuan untuk ikut menciptakan suatu kehidupan berbangsa yang lebih beradab. Namun kita juga menyaksikan bahwa kerangka keilmuan yang tanpa dasar etik(a) telah menjadi bagian yang secara simultan disorongkan kehadapan masyarakat, dan dibalik itu pula jenis keilmuan dengan prinsip pragmatisme diterapkan. Dalam konteks inilah kapasitas literasi seseorang atau suatu lembaga dipertanyakan berkaitan dengan dasar etik(a)nya.
Dunia internet dengan sistem yang makin canggih telah ikut membantu kemajuan dan perkembangan dunia Pendidikan. Informasi kian mudah didapat yang membuat seseorang anak didik atau mereka yang sedang menempuh kuliah lanjutan dengan gampang melacak suatu bahan perkuliahan. Ditambah lagi dengan perkembangan tehnologi informasi dengan sistem digital maka likuiditas informasi meresap ke dalam berbagai segi kehidupan di dalam kampus dan Lembaga pendidikan.
Seorang siswa sekolah menengah pertama dengan lancar dan bahkan fasih mengetahui perkembangan informasi. Tentu saja minat terhadap informasi ditentukan oleh sejauh mana apresiasi tentang makna informasi yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan sangat menentukan arah anak didik yang bersangkutan. Pada sisi lainnya, dunia internet dengan dukungan tehnologi digital membuat segala sesuatu dengan gampang diraih dan dipindahkan. Copy dan paste begitu populer sebagai petunjuk dan perangkat untuk ikut mendukung suatu tulisan atau raihan informasi yang ingin kita sodorkan.
Berkah dunia internet dengan dukungan tehnologi digital itu membuat kita bisa ikut memasuki dan memahami dunia global dengan gampang. Tapi, dalam konteks inilah kita menghadapi masalah. Semakin kita memasuki dunia global sesungguhnya kita ditantang untuk memahami apa yang kita miliki sendiri yang berasal dari lingkungan sosial kita, atau apa yang menjadi dasar pemikiran kita.
Perkembangan internet yang kita harapkan ikut mendukung dunia pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ingin kita raih, ternyata menghadapi masalah. Masalahnya bukan terletak kepada kapasitas menggunakan sarana tehnologi informasi atau media sosial. Persoalan yang kita hadapi justru terletak kepada kondisi sejarah sosial yang jauh sebelum masuknya tehnologi informasi dan internet ke dalam masyarakat dan khususnya dunia pendidikan kita, yakni masalah kapasitas menulis yang tak berkembang dampak dari sistem pendidikan yang lebih menekankan hafalan ketimbang pemikiran.
Dunia pendidikan kita terlalu lemah di dalam pengembangan kapasitas menulis sebagai proses pengembangan pemikiran dan imajinasi. Pelajaran mengarang misalnya, menjadi pelajaran yang langka, dan jikapun ada sekedar pelengkap. Dalam konteks itulah terbentuknya kondisi di mana siswa dan bahkan mahasiswa mengalami masalah kbisnis ketika mendapatkan tugas menulis makalah, yang berlanjut dalam proses penulisan skripsi.
Kegagalan pengembangan kapasitas menulis dan berpikir kritis inilah yang memunculkan dampak lain dan terciptanya suatu keadaan di mana banyak mahasiswa yang melakukan plagiarism, penjiplakan. Dan yang lebih parah lagi, dengan tak ragu mahasiswa yang mengalami kesulitan menulis, memesan skripsi atau tesis dari “pembimbing tersembunyinya”. Bisnis pembuatan makalah, skripsi, tesis berkembang di sekitar kampus. Ironisnya justeru masalah itu nampak dan terasa dianggap hal yang wajar.
Padahal masalahnya bukan sekedar kegagalan pengembangan kapasitas teknis menulis. Lebih jauh dari hal itu, terjadi degradasi etik(a) dalam kehidupan pendidikan dan dunia akademis. Jika kita ditanya apa makna dari kaum terdidik yang meraih pendidikan tinggi dan berada pada posisi sosial di dalam masyarakat, tentu kita akan menjawab bahwa mereka adalah kaum terpelajar yang telah memahami ilmu pengetahuan dan memahami apa makna ilmu dalam kehidupan masyarakat.
Secara teoritik kita akan menjawab seperti itu, bahkan kita akan menambahkan bahwa mereka adalah kaum yang terpilih dari mayoritas masyarakat yang beruntung menikmati fasilitas pendidikan yang sekaligus identik dengan kelompok dari masyarakat yang secara literasi memahami, minimal wilayah ilmu pengetahuannya. Tapi seperti gambaran singkat yang saya tuliskan di atas, bahwa posisi pendidikan seseorang tak selalu seiring dengan kapasitas menulis, yang membawa dampak kepada degradasi etik(a) dan hilangnya komitmen moral.
Dunia akademis kita penuh ironi. Penulis esai Janwan Tarigan memberikan data yang menarik tentang bagaimana tak produktifnya kaum akademisi kita dalam kaitannya dengan dunia penerbitan atau buku, seperti yang diuraikannya dalam pengantar buku ini.
Membaca esai-esai Janwan Tarigan tentang kaitan literasi dengan lintasan biografi para tokoh membuat saya mendapatkan inspirasi untuk mengaitkan antara literasi dengan etik(a) sehubungan dengan gejala plagiarism, jual-beli makalah-skripsi-tesis yang telah melanda dunia pendidikan tinggi kita.
Dalam konteks inilah esai-esai Janwan Tarigan perlu kita nikmati dan bisa menjadi inspirasi untuk melacak lebih jauh tentang makna literasi dan biografi tokoh. Contoh ideal dari para tokoh bukan hanya memahami literasi dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, dan melalui pelacakan dan pemahamannya kepada kandungan literasi yang dipahaminya itu justeru menguatkan pandangan dan praktek tentang etik(a).
Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, merupakan contoh terbaik bagi kita. Sosok yang bagai batu granit moralitas yang dengan teguh perkasa menjadi bukti di dalam kehidupan sosial politik, ekonomi dan didalam kehidupan keseharian yang sederhana, sebagaimana sosok pendiri bangsa Ki Hajar Dewantara, Bung Karno, Mohammad Yamin, Agus Salim, yang dihimpun dalam kumpulan esai Janwan Tarigan, bersama juga dengan sosok Kartini, Multatuli dan Tirto Adisuryo. Semuanya para tokoh sejarah yang menggetarkan hati, yang rentang perjalanan kehidupannya sangat inspiratif dalam konteks kehidupan kini bagi kaum muda dari generasi millennial maupun generasi Z. Inspirasi itu bukan hanya dalam soal kapasitas literasi para sosok sejarah yang telah mengisi kehidupan kebangsaan kita. Yang lebih penting dan sangat mendasar adalah bahwa kapasitas literasinya memiliki kaitan bobot etik(a).
Hal inilah juga untuk menunjukan suatu bukti tentang kecerdasan intelektual sangat dekat dan tak terpisahkan dengan kecerdasan moral, yang pada masa kini kita dihadapkan kepada dunia akademis yang amburadul oleh ketiadaan etik(a), sebagaimana juga kehidupan sosial politik di negeri ini. Suatu pembentukan kehidupan bangsa tentu saja memiliki beragam jalan.
Salah satunya melalui dunia sastera. Dalam dunia sasteralah sesungguhnya, disamping dunia pendidikan, literasi diawali yang memang dekat dengan masalah kapasitas membaca dan menulis. Melalui dunia sastera yang juga sangat dekat dengan dunia jurnalisme, literasi berkembang. Perkembangannya bukan hanya pada wilayah kapasitas literasi tapi terdapat bobot sastera yang ikut membentuk suatu cara berpikir kritis, reflektif dan eksplorasi daya pemikiran yang memiliki kaitan kuat dengan proses menjadikan warga sebagai anak bangsa yang memiliki kesadaran kesejarahan, keadilan sosial dan kesadaran diri tentang kaitan antara sastera dengan masalah-masalah kemasyarakatan dan kabangsaan.
Dalam esai esai Janwan Tarigan ini kita disajikan sosok sosok yang mengarungi dunia sastera dalam jenis karya sastera puisi, novel dan juga yang berkaitan dengan dokumentasi: Sutan Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, HB. Jassin, Pramudya Ananta Toer, Y. B. Mangunwijaya, Rendra dan Sapardi Djoko Damono, yang telah mengisi kehidupan pemikiran dan peradaban masyarakat dan bangsa kita.
Jika kini kita bisa memahami sejarah dan kehidupan masyarakat secara mendalam dan dengan imajinasi yang luar biasa kaum pengarang itu telah mengisi relung relung terdalam diri kita. Dan melalui pemahaman karya sastera itulah kita ditumbuhkembangkan sebagai warga suatu bangsa yang terus mencari jati diri. Di antara penyajian sosok sosok kesejarahan dalam berbagai bidang, Janwan Tarigan menutup bukunya melalui suatu esai yang sangat menarik, suatu pertemuan dia dengan sosok petani di suatu desa yang berpuluh tahun hanya mengolah tanah. Sang petani tua hanya mengenal lahan yang diolahnya, dan memahami semua lika liku dari jagat yang setiap hari ditetesi keringatnya. Sang kakek tak menginjakan kakinya di halaman sekolah, apalagi ruangan kelas.
Upayanya untuk membangun dunia impiannya, suatu lahan pertanian yang beragam tanaman dan mengolah lahan secara simultan melalui kesadaran ekonomis, yakni bagaimana menghasilkan produk pertanian yang akan menambah penghasilan hidupnya. Dorongan ekonomis membuatnya mencari kemungkinan jalan lain dalam mengembangkan pengetahuan secara personal melalui belajar membaca dan menulis yang dikuasainya secara belajar mandiri, otodidag, yang ada kaitannya dengan dunia pertanian.
Bagi sang kakek, ruang kehidupan merupakan ruang belajar dan di situlah sang kakek tak henti belajar dan menapakan kakinya langkah demi langkah kearah penciptaan dan perwujudan impiannya. Esai penutup ini sangat mengesankan dan ingin menyatakan bahwa proses belajar tak harus dari bangku sekolah dan bangku kuliah.
Tantangan kehidupan dan keinginan untuk mewujudkan impian membuat seseorang belajar sebagai jalan menuju impian dambaannya. Dari esai inilah kita Kembali menemukan inspirasi etik(a) dan etos kerja yang dibentuk sang kakek bukan hanya dari hari ke hari tapi dari setiap langkah dan setiap helaan napasnya yang menciptakan enerji spiritualitas – meminjam ungkapan Romo Mangunwijaya – religiositas: kesadaran mengolah semesta dengan kapasitas kemanusiannya.
Studio Plesungan, Karanganyar, 22 Februari 2024