Abdullah Ahmad
Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang, pada 1878 dan wafat di Padang 1933, lebih dikenal sebagai ulama pembaharu pendidikan Islam, pendiri Perguruan Adabiah di Padang dan pelopor pendidikan madrasah di Indonesia.
Oleh Profesor Abuddin Nata, Abdullah Ahmad dimasukkan di antara 21 tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Kiprah dan pemikirannya disejajarkan dengan K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, dan Ki Dajar Dewantara.
Namun tokoh ini juga banyak menggunakan media cetak sebagai alat perjuangan dan menyebarkan pemikiran pembaruannya. Ia tercatat sebagai pendiri dan wartawan dari sejumlah majalah, di antaranya pendiri majalah Al-Moenir yang terbit di Padang pada tahun 1911 sampai 1916. Tahun 1913 dia mendirikan majalah berita Al-Akhbar, dan pada tahun 1916 menjadi Redaktur Bidang Agama majalah Al-Islam yang diterbitkan Sarekat Islam di Surabaya. Abdullah Ahmad sangat aktif menulis bahkan ia menjadi Ketua Persatuan Wartawan di Padang pada tahun 1914.
Kaum Islam pembaharu Minangkabau yang dimotori Abdullah Ahmad menerbitkan majalan Al-Moenir untuk menyiarkan pemikiran mereka. Al-Moenir terbit perdana pada 1 April 1911 (hampir bersamaan dengan Oetoesan Melajoe) dimaksudkan untuk meneruskan ide-ide pembaharuan Islam yang sebelumnya dikampanyekan oleh majalah Al-Imam yang terbit di Singapura dan diasuh Syekh Tahir Jalaluddin, teman seperguruan Abdullah Ahmad di Mekkah.
Selain aktif menulis dan memimpin majalah dan surat kabar, Abdullah Ahmad mengabdikan sepanjang hidupnya untuk pendidikan dan kemajuan umat. Di samping mendirikan dan mengelola sekolah, ia juga menaruh perhatian besar bagi kemajuan para pendidik sendiri. Bersama sejumlah ulama dan tokoh pendidikan terkemuka di Minangkabau, pada tahun 1919 Abdullah Ahmad mendirikan organisasi Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI).
Abdullah Ahmad memang salah seorang ulama besar Minangkabau yang mendapat pendidikan di Mekkah. Dalam usia 17 tahun, pada tahun 1895, ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar ilmu agama Islam kepada Syekh Ahmad Katib, ulama asal Minangkabau yang menjadi Imam Besar Majidil Haram dari Mazhab Syafii.
Selama empat tahun di Mekkah, Abdullah Ahmad juga menuntut ilmu dari beberapa orang ulama lainnya di sana. Ia juga aktif mengikuti Gerakan Wahabi yang sedang gencar-gencarnya pada waktu itu. Ia termasuk murid Ahmad Khatib yang tekun dan cerdas sehingga pernah diangkat menjadi asisten oleh gurunya tersebut.
Abdullah kembali ke Minangkabau tahun 1909 dan kemudian mengajar di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, dengan menggunakan sistem halakah (murid duduk melingkar mengelilingi guru). Bersama sahabatnya Haji Abdul Karim Amarullah (ayah Buya Hamka), ia termasuk ulama Kaum Muda yang menentang bida’h dan tarekat.
Sekitar 1906 Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menjadi guru menggantikan pamannya, Syekh Abdullah Halim, yang baru meninggal dunia. Ia menjadi guru agama di Masjid Ganting dan mempunyai pula jemaah tetap sekitar 300 orang yang mengadakan pengajian dua kali sepekan secara bergiliran dari rumah ke rumah. Sebagian murid-murid pengajiannya adalah orang-orang dewasa, di antaranya adalah para pedagang di Kota Padang.
Di Padang Abdullah Ahmad menyaksikan ada perlakuan tidak adil bagi kaum pribumi untuk mendapat pendidikan dari pemerintah kolonial. Waktu itu sudah ada sekolah dasar HIS untuk anak-anak Belanda dan Eropa, atau HCS untuk anak-anak keturunan China. Tetapi tidak ada sekolah untuk anak-anak peribumi kebanyakan, termasuk untuk anak-anak para pedagang. Hal inilah yang melatarbelakangi Abdullah menggagas pendirian Adabiah School pada tahun 1909, yaitu setelah ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura yang didirikan dan dikelola teman sama sekolahnya di Mekkah, Syekh Tahir Jalaluddin.
Sekolah Adabiah (Adabiah School) yang didirikan atas bantuan para pedagang di Kota Padang adalah perguruan Islam yang pertama menggunakan sistem kelas, memakai bangku, meja, dan papan tulis.
Menurut Mahmud Junus, Adabiah adalah madrasah pertama di Minangkabau bahkan di Indonesia karena menurut penyelidikannya tidak ada madrasah atau sekolah serupa yang didirikan lebih dulu dari Sekolah Adabiah. Madrasah ini berdiri sebagai sekolah agama sampai tahun 1914, dan sejak tahun 1915 diubah menjadi HIS Adabiah.
Abdullah Ahmad juga aktif menulis sejumlah buku, di antaranya Ilmu Sejati yang merupakan kumpulan tulisannya yang diterbitkan dalam bahasa Arab-Melayu, terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh percetakan al-Munir. Ia juga menulis Sya’ir Perukunan yang berisi syair-syair untuk nyanyian murid-murid sekolah. Karangannya yang lain berupa buku adalah Pembuka Pintu Surga, al-Ittifaq wal Iftiwaq, serta Izharu Zaglil Kazibin.
Berkat perjuangan, kerja keras, kegigihan, prestasi dan pengabdiannya di bidang pendidikan, pada tahun 1926 Abdullah Ahmad bersama Haji Abdul Karim Amrullah memperoleh gelar Doktor Honoris Causa di bidang Pendidikan Agama dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Tokoh ini meninggal di Padang tahun 1933 dalam usia 50 tahun. (Hasril Chaniago)
Disadur dari buku: 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong (2018)