Abdul Kadir Usman
DALAM DIRI Abdul Kadir Usman (biasa disingkat AKU) berjalin-berkelindan tiga dunia: wartawan, politikus dan pengacara. Ketiga profesi itu ia tekuni secara serius dengan rekam jejak yang boleh dibilang hebat. Sebagai wartawan dan pengarang ia mempunyai pengalaman bekerja di berbagai media, sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, dan menghasilkan sejumlah buku.
Sebagai politikus tak ada yang meragukan kepiawaiannya, sehingga bisa menjadi Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat. Sebagai pengacara apalagi. Ia pendiri dan Direktur LBH Padang, dan banyak membela kaum lemah.
Nama lengkapnya ialah H. Abdul Kadir Usman, S.H. Datuak Yang Dipatuan. Ia dilahirkan di Nagari Barung-Barung Belantai, Pesisir Selatan, 13 September 1933. Masa kecil dan remaja ia jalani di Liwa, Lampung. Karena kedua orang tuanya – Usman Gelar Rajo Magek (Ayah) dan Siti ‘Ainiyah (Ibu)—merantau ke sana sejak sebelum zaman Jepang. Menjelang Proklamasi, tahun 1945, ia berhasil menamatkan Sekolah Rakyat (SR) di Balik Bukit, Liwa. Setelah itu meneruskan ke Madrasah Tsanawiyah, dan berlanjut ke tingkat Aliyah, tapi tidak sampai tamat karena tahun 1950 orang tuanya kembali ke Pesisir Selatan.
Masih ingin terus menimba ilmu, Abdul Kadir kemudian pindah ke Padang awal tahun 1950-an. Belum bisa menyelesaikan pendidikan SLTA yang terbengkalai, ia masuk berbagai kursus, seperti kursus tertulis Hitung Dagang hingga meraih sertifikat Bon B. Ia juga ikut kursus tertulis wartawan Parada Harahap karena ingin jadi wartawan. Ketika masih belajar menulis, Abdul Kadir Usman sudah menjadi Sekretaris Persatuan Wartawan Pelajar Sumatera Tengah yang diketuai Noerbahrij Joesoef–kelak menjadi wartawan Antara di Riau.
Karier wartawan dan politik dijalaninya hampir bersamaan. Setelah mendapat kursus wartawan, ia mulai menulis di Harian Haluan sejak pertengahan tahun 1950-an. Namun menjelang Pemilu 1955, Abdul Kadir juga menjadi anggota Partai Masjumi yang dipimpin Mohammad Nasir. Waktu Pemilu pertama itu, ia sudah menjadi Wakil Masjumi duduk dalam Panitia Pemilihan Daerah (semacam KPU sekarang).
Ketika terjadi Pergolakan Daerah (Peristiwa PRRI), Abdul Kadir ikut “ijok” alias mengungsi ke hutan, antara lain bersama Azhar Muhammad–kelak jadi pendiri dan pimpinan Toko Buku Sari Anggrek yang terkenal di Padang. Karier wartawannya tidak berlanjut, karena Haluan kemudian dilarang terbit karena dituduh mendukung PRRI. Abdul Kadir Usman sendiri sempat ditangkap dan ditahan Tentara Pusat, tetapi kemudian dibebaskan.
Setelah PRRI, Abdul Kadir sempat menjadi wartawan di beberapa media. Pertama di surat kabar Panarangan di bawah pimpinan Zakaria Yamin, kemudian ke mingguan Fakta yang dipimpin Annas Lubuk. Setelah Annas Lubuk keluar dari Fakta, dan surat kabar itu berganti nama menjadi Duta Masyarakat, Abdul Kadir juga keluar. Alasannya, koran itu ternyata mendukung faham Nasakom yang ditentangnya.
Sementara itu, setelah Universitas dibuka kembali setelah sempat tutup semasa PRRI, terbuka kesempatan bagi Abdul Kadir melanjutkan studinya. Ia ingin masuk Fakultas Hukum. Tapi karena tidak memiliki ijazah setingkat SMA, maka ia harus mengikuti ujian seleksi yang disebut Colloquium Doctum. Dan ia lulus, sehingga bisa kuliah di Fakultas Hukum.
Sementara di bidang politik, pertengahan tahun 1960-an itu Abdul Kadir sempat pula ikut mendirikan Sekber Golkar tingkat Pesisir Selatan, kampung halamannya. Namun karena berbeda pendapat dengan Bupati Zaini Zein, ia kemudian keluar.
Ketika Haluan kembali terbit tahun 1969, Abdul Kadir yang hampir tamat Fakultas Hukum, bergabung dengan surat kabar itu. Tapi tak lama, karena setelah menggondol ijazah Sarjana Hukum (SH) tahun 1970, ia kembali terjun ke politik. Menjelang Pemilu 1971 ia bergabung dengan Parmusi yang dianggap reinkarnasi Masjumi. Ikut Pemilu, Abdul Kadir Usman terpilih menjadi anggota DPRD Sumatera Barat.
Ketika Parmusi kemudian berfusi dengan empat partai Islam lain menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Abdul Kadir pun bergabung dengan partai itu. Melalui PPP, ia kembali terpilih menjadi anggota DPRD Tingkat I Sumatera Barat dalam Pemilu 1977, dan terpilih lagi dalam Pemilu 1982. Untuk periode 1982-1987 Abdul Kadir Usman bahkan terpilih pula sebagai Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat di samping jabatannya sebagai Wakil Ketua DPW PPP Sumbar.
Ketika ia menjadi Wakil Ketua DPRD Sumbar itulah, tahun 1984, ia diminta oleh Adnan Buyung Nasution mendirikan dan memimpin Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, kepanjangan dari YLBHI di Jakarta. Sejak itu, kiprahnya sebagai pengacara muncul ke permukaan. Di LBH ia banyak membela orang miskin. Secara pribadi pun ia banyak membela orang lemah. Lebih 10 persen perkara yang ditanganinya bersifat prodeo alias gratis.
Sehabis masa jabatan sebagai Wakil Ketua DPD Sumatera Barat (1987), Abdul Kadir Usman mundur dari kegiatan politik. Alasannya, ia tidak betah berada dalam partai yang mulai gonjang ganjing untuk berebut kuasa. Setelah itu, ia banyak terlibat dalam kegiatan sosial dan gerakan koperasi. Misalnya dengan menjadi Ketua Pusat Koperasi Unid Desa (Puskud), Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sumatera Barat, dan menjadi pengurus Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang.
Sementara, waktu luang dimanfaatkannya untuk kembali aktif menulis. Mulanya di Haluan Minggu ia menulis rubrik “Guman” berisi tulisan khas semacam refleksi dan kritik sosial. Kumpulan tulisannya itu kemudian dibukukan menjadi Alam Takambang Jadi Gumam. Selain itu, ia juga menulis secara teratur “Kamus Minangkabau”. Hasilnya kemudian menjadi buku Kamus Umum Bahasa Minangkabau – Indonesia setebal 571 halaman yang diterbitkan Angrrek Media Padang (2002).
Setelah Reformasi, Abdul Kadir Usman mencoba kembali menekuni dunia pers dengan menerbitkan Tabloid Mingguan Bijak. Awalnya cukup sukses, tapi dengan cepat lalu meredup. Hanya bertahan sekitar setahun.
Abdul Kadir Usman Dt. Yang Dipatuan meninggal di Padang pada 12 Oktober 2003. Ia meninggalkan seorang istri, Hj. Saruni binti Yasun, lima orang anak dan belasan cucu. AKU pergi meninggal “Gumam” dan Kamus Umum Bahasa Minangkabau – Indonesia, dua karya fenomenalnya. (Penulis: Indra Sakti Nauli)
Disadur dari buku: 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong (2018)