solo
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
Seorang wanita sedang memainkan sebuah lagu bertempo lambat dengan instrument berbentuk mirip rabab. Ia memakai hanbok lengkap warna biru yang lembut. Rambutnya yang panjang dijalin rapi, menyentuh tempat duduk kayu. Tangannya yang lentik asyik memainkan lagu.
Ia duduk di sebuah bangku kayu panjang di antara bunga-bunga kecil yang ditanam di pot-pot. Beberapa orang penonton memperhatikan dari agak yang jauh. Suara musik rabab itu tidak begitu kentara di antara desau air sungai yang mengalir di antara bebatauan. Juga desau angin sore yang agak kencang.
Saya beranjak ke arah pemain rabab itu, meminta izin untuk mengambil foto. Dia mengangguk sambil terus memainkan alat musik gesek itu.
“Apakah itu lagu Arirang?” tanya saya setelah ia selesai memainkan sebuah lagu.
“Ha.. benar sekali. Anda tahu lagu rakyat Korea!” bahasa Inggrisnya fasih, menunjukkan ia seorang terpelajar.
“Khamsya immida! Khamsya immida,” lanjutnya mengucapkan terima kasih.
Arirang adalah lagu tradisional Korea yang popular dan sering dinyanyikan dalam banyak acara. Bahkan ada sebuah stasiun televisi hiburan yang diberi nama “Arirang”, diambil dari judul lagu itu.
“Panggap simidha…” ujar saya terbata menyatakan terima kasih kembali. Itu adalah di antara dua-tiga kalimat yang sengaja saya hafalkan untuk bertegur sapa.
“Apa nama alat musik yang Anda mainkan ini?”
“Ini Haegum. Biasanya dimainkan bersamaan dengan Gayageum dan juga Geomungo”, jelasnya.
Haegum sejenis rebab bertali dua dengan bagian bawah yang bulat kecil. Dua alat musik terakhir alat musik petik mirip kecapi.
Lee Jyon, begitu ia mengenalkan diri adalah mahasiswa Jurusan Karawitan di sebuah unversitas di Seoul. Ia telah mempelajari dan berlatih Haegum selama tiga tahun. Sebelumnya ia memainkan biola.
“Kenapa kamu memilih mengamen di tempat wisata di pinggir sungai ini, Lee Jyon?”
“Bermain musik di tempat publik seperti ini melatih mental dan konsentrasi. Tentu juga untuk mengenalkan alat musik tradisional kami pada orang asing,” jawabnya.
Saya mengunduh lagu Bengawan Solo, lengkap dengan not balok. Menunjukkan notasinya dan meminta Lee Jyon memainkan lagu itu dengan alat musik Korea yang dipegangnya. Nada lagu ciptaan Gesang bergema lirih melalui Haegeum, menyeruak di antara pedestrian, batu-batu kali dan rermputan. Mengalir bersama air sungai jernih. mengantarkannya pada ikan, lumut, dan rerumputan sepanjang pinggiran sungai.
“Oh, lagu yang merdu sekali. Saya senang memainkannya. Anda dari mana?”
“Saya dari Indonesia. Ini lagu klasik yang mengisahkan tentang sungai di tempat kami,” jelas saya.
Pesulap
Tak jauh dari tempat kami berbincang, terlihat orang berkerumun setengah lingkaran. Mengelilingi seorang pesulap yang bermain dekat tebing arah ke jalan. Pesulap meniup balon kecil panjang, membentuknya jadi hiasan bunga dan memberikannya pada penonton. Ia meniup lagi sebuah balon lain kemudian menelannya berlahan-lahan. Mata penonton menatapnya dengan cemas. Penonton menahan napas hingga balon itu sempurna menuju lambung pesulap.
Pesulap kemudian mengajak seorang anak untuk ikut bermain. Anak itu diberi sebilah pedang mainan yang dibuat dari balon. Penonton tertawa ketika anak-anak itu ternyata bisa membentuk balon itu menjadi bunga, burung dan mobil dengan cepat. Si anak membagi balon kreasinya pada penonton. Mobil-mobilan untuk seorang lelaki, dan bunga untuk anak perempuan. Ia hanya membawa kreasi berupa seekor burung untuk dirinya sendiri.
Senja berganti malam. Cahaya lampion yang bertebaran sepanjang sungai mulai menggantikan cahaya senjar. Lampu di bagian bawah air terjun dihidupkan, memberikan warna biru yang lembut pada terowongan air terjun itu.
Pengunjung semakin ramai. Keluarga kecil bersama anak mereka berjalan di pedestrian. Nenek dan kakek yang mengenakan celana kaos dan jaket olahraga. Paling banyak adalah pasangan muda mudi. Ada yang duduk, mengobrol, atau menerawang sambil menikmati minuman dan makanan kecil. Yang lain berfoto, mengabadikan panorama dengan aksentuasi alami di antara gedung-gedung tinggi dan keramaian lalu lintas metropolitan.
Seorang muda berjas lengkap sambil menjinjing menjinjing tas kecil. Membuka sepatu kulit yang dipakainya, dan perlahan merendamkan kakinya ke sungai. Suhu air yang hangat membuat kaki terasa rileks.
Ribuan kilometer dari seberang Semenanjung Korea, seorang pemuda duduk sambil menjuntaikan kakinya ke dalam sungai di belakang rumahnya di sebuah wilayah Kota Surakarta. Pemuda itu sedang mengagumi sungai jernih yang berhulu di pegunungan Sewu, Wonogiri, Jawa Tengah.
Usianya dua puluh tiga tahun saat Gesang, nama pemuda itu, menciptakan sebuah lagu Bengawan Solo yang berirama keroncong itu. Hingga hari ini Bengawan Solo masih mengalir. Menghanyutkan sampah yang dua sepertiganya merupakan sampah rumah tangga (National Geographic Indonesia; 1/10/2012).
Airnya kadangkala keruh dan menyebabkan gatal-gatal karena menjadi tempat pembuangan limbah ciu (liputan6.com10/09/2021).
Di atas bus menuju pulang, tiba-tiba saja terlintas bayangan pemain Haegum di taman Sungai Changggyeocheong yang memainkan lagu Bengawan Solo. Iramanya terdengar lirih. Di antara kantuk dan rasa lelah, saya pun bergumam bersenandung, “Air mengalir sampai jauh… akhirnya ke laut...” (ivan adilla)