OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
Myeondong, pusat bisnis seluas hampir seratus hektare di pusat Kota Seoul, merupakan destinasi wajib bagi wisatawan. Di kedua ujung wilayah ini menjulang mal Shinsegae dan Lotte, dua mal besar yang melayani kemewahan gaya hidup modern. Kantor bank, asuransi, jasa keuangan, dan hotel berpencar di kedua sisi jalan utama.
Toko-toko dengan bangunan bertingkat menjulang sepenuh area pasar, dihiasi billboard berlampu di sekujur dinding bangunan. Di dalam toko-toko yang ditata rapi dan efesien itu tersedia sepatu, tas, pakaian, parfum dari merek-merek terkenal.
Bagian depan toko-toko di Pasar Myeongdong dipenuhi banner iklan menampilkan model gadis Korea yang cantik. Dinding toko dipenuhi neon box dengan iklan yang sama, sementara kaca ditempeli pengumuman diskon. Para pramuniaga toko kosmetik tak henti-hentinya bersorak dengan suaranya yang cempreng, merayu pengunjung untuk mampir.
Di tangannya terdapat beberapa sampel make up, sejak dari lotion, masker hingga bedak. Semua merek kosmetik bertumpuk di Myeongodng Etude House, Tonymoly, Missha, Innisfree, hingga Holika-Holika.
Pramuniaga toko sepatu menyapa ramah sambil menunjuk koleksi mereka. Fila dan Adidas, misalnya, punya toko khusus di arah barat jalan. Sama halnya dengan merek klasik, Clarks, Bally, dan Dr. Marten, yang terletak di arah timur jalan. Toko yang menjual berbagai merek lebih banyak lagi. Harganya lebih murah dan kita bisa memilih model yang tepat dari merek berbeda.
Konter pakaian merek Uniqlo, berupa toko besar tiga tingkat, terletak di sudut pasar arah Selatan. Ke arah utara sedikit ada toko yang menjual produk Zara, tak jauh dari toko pakaian merek H&M. Toko arloji Swatch terletak di depan H&M. Toko bertingkat tiga ini tak terlalu besar, tapi memiliki koleksi yang bagus dengan pelayanan yang baik.
Jika ingin barang eksklusif, tempatnya ada di Shinshagae atau Lotte Mall di arah luar. Misalnya anda mau beli arloji Rado, Rolex, Tag Heuer. Aigner atau Cartier. Atau berniat melihat koleksi tas Hermes, Gucci, Louis Vitton atau Dior. Pendek kata, Myeongdong adalah pasar palugada; apa lu mau segala ada.
Meski palugada, pedagang di Myeondong punya spesialisasi sendiri. Misalnya toko kaos kaki, yang terletak tak jauh dari lorong pintu masuk underground market. Sekeliling toko penuh dengan kaos kaki. Di etalase, di pajangan, di gantungan bulat, di rak-rak yang memenuhi dinding, hingga bagian dalam toko yang padat.
Ada kaos kaki yang tebal, sedang dan tipis. Yang berbahan dominan kapas, serat bambu, rami, dan poliyester. Warnanya juga beragam; merah, pink, putih, coklat, kuning, dengan aksen bercorak polka-dot, segitiga, garis melengkung, bintasng yang besrtaburan, hingga bunga warna-warni. Ada juga yang bergambar karakter animasi, boneka, hingga binatang yang lucu. Modelnya, ada yang pendek di bawah mata kaki, menutupi mata kaki, selutut, hingga menutupi paha. Para pengunjung dari Asia Tenggara menjadi pembeli yang dominan saat saya berkunjung.
Jalan masuk ke Pasar Myeongdong hampir dua puluh meter lebarnya. Beberapa pot bunga besar, berisi bunga hidup yang terawat, menghiasi persimpangan jalan yang dibangun dari conblock semen. Sejak senja hingga malam hari, jalan luas itu berubah fungsi menjadi pasar kaki lima.
Sejak sore, para pedagang kaki lima mulai berdatangan mendorong gerobak khusus yang didisain untuk mudah dipindahkan.
Gerobak itu berbentuk meja ukuran dua kali satu meter dari bahan metal. Bagian bawahnya terdapat rak untuk menyimpan kompor, kuali, dan alat memasak lainnya. Baterai besar yang ditaruh di salah satu sisi gerobak, menjadi tenaga penggerak gerobak yang diberi roda mirip motor, lengkap dengan ban dan pelek.
Di bagian atas sisi baterai itu ada panel-panel untuk mengatur kecepatan, maju-mundur, dan arah gerak gerobak. Gerobak yang berat dan kuat itu bisa dengan mudah dikendalikan oleh ibu-ibu separuh baya dengan santai untuk membawa dagangannya.
Sepanjang sorea hingga malam, semua aktifitas di jalan itu hanya berkaitan dengan makanan. Di mana-mana ada orang melahap makanan. Ada yang sambil duduk, berdiri, jongkok, bahkan hilir-mudik sambil mengunyah. Dua turis asing duduk di tangga mengunyah kentang goreng sambil terus meracau, tak peduli pipinya belepotan minyak.
Di dekat persimpangan, seorang wanita muda menjilat-jilatkan lidahnya, asyik menyeruput es krim. Tak jauh dari sana, ada pasangan yang saling menyuapi corndog, kue manis dengan maizena dan coklat yang diberi lidi. Agak di sudut, seorang lelaki paruh baya sibuk mengulum cumi panggang karena giginya sudah tak cukup. Para koki jalanan sibuk memanggang gurita, memasak telur, atau menyiramkan saos teobokki. Wajah mereka memerah dan berkeringat di depan kompor .
Senja hari, Pasar Myeongdong layaknya pasar malam yang riuh. Aroma udang dan gurita yang dibakar menguar dari gerobak pedagang makanan. Harga jajanan itu antara dua hingga tujuh ribu won. Sepanjang jalan itu orang menjual odeng (pasta ikan yang dililit seperti sate), teobokki (kue beras yang kenyal berbentuk bulat-lonjong yang disiram saos pedas-manis), twigim (gorengan), hotteok (sejenis pancake), bongeoppang (kue ikan), hweri gamja (kentang goreng yang dipotong spiral), Dakkoci (mirip sate ayam dengan saos pedas-manis).
Makanan unik yang sering diburu adalah aneka sea-food panggang; gurita, kerang dan cumi. Ada lagi chesnut bakar yang rasanya mirip biji nangka bakar. Jagung rebus juga ada. Tiga tongkol jagung besar yang manis, lengkap dengan asap yang mengepul, harganya lima ribu won. Bagi penggemar kebab, ada dua gerobak penjual kebab yang bisa didatangi.
Seorang wanita asing berjilbab panjang menghampiri sebuah gerobak makanan berlabel halal. Para pedagang di Myeongdong punya cara sendiri menarik pembeli muslim yang makin banyak mengunjungi tempat itu. Mereka menempelkan tulisan halal dalam aksara Arab di gerobak jualan mereka. Ada yang ditulis tangan, juga dicetak. Hebatnya lagi, ada logo halal dengan lambang MUI, Majelis Ulama Indonesia. Saya tak tahu, bagaimana caranya stempel halal dari MUI itu menyelonong sampai ke Korea.
“Hati-hati dengan label halal di Myeongdong, Bapak,” pesan Heejung Kim, mahasiswa saya yang juga seorang youtuber.
“Banyak pedagang Korea tak mengerti apa artinya halal bagi orang muslim. Mereka hanya menempel tulisan itu agar orang datang membeli.”
Pernyataan yang sama saya terima dari seorang pedagang kebab, yang berjualan di Myeongdong. Saya mendatangi gerobak jualannya saat berkunjung ke sana suatu sore. Pemilik gerobak, lelaki imigran asal Bangladesh, melayani saya.
“Anda yakin kebab ini halal?” tanya saya setelah berbincang beberapa saat.
“Oh, saya muslim. Saya mengerti pentingnya makanan halal bagi sesorang muslim,” jawabnya tegas sambal memeprlihatkan barisan giginya yang rapi.
“Tapi kalau pedagang Korea di sana itu, mereka asal tempel saja. Jangan percaya!” lanjutnya dengan suara hampir berbisik sambil menunjuk ke arah gerobak makanan lain di seberangnya.
“Anda tidak bilang pada mereka?”
“Saya sudah sampaikan pada manajemen pasar. Tapi belum ada respons,” jelasnya.
Kini keadaannya lebih mudah. Jika Anda masih bingung untuk menemukan restoran halal, Anda bisa mengunduh aplikasi Korea Halal, yang menyedikan informasi rinci tentang restoran halal di seluruh Korea. Aplikasi itu juga bisa mendeteksi sertifikasi halal barcode etiket makanan yang akan dibeli. (ivan adilla)