Para Budak Mengukir Batavia

--

Senin, 07/08/2023 09:39 WIB

OLEH Yenny Narny (Dosen FIB Unand)

 

“Pakansi” kali ini kita akan membawa pembaca melompati dari Pulau Sumatra, menelusuri sebuah kota di barat laut Pulau Jawa yang pernah menjadi kota terbesar dengan nuansa Eropa yang kental pada masanya.  Kota itu bernama Batavia atau Jakarta yang kita kenal sekarang.

Batavia awal mulanya hanyalah sebuah kota pelabuhan kecil bernama Jayakarta di pesisir barat laut Pulau Jawa. Jayakarta atau orang Eropa juga menyebutnya dengan Jaccatra lambat laun berkembang menjadi kota pelabuhan besar nan ramai di bawah kekuasaan Kesultanan Banten dengan pelabuhan terkenalnya yaitu Sunda Kelapa. Kondisi ini diuntungkan oleh letak Jayakarta yang strategis, berada di jalur utama perdagangan global dan banyak didatangi oleh pedagang lokal maupun internasional, tak terkecuali pedagang-pedagang Belanda yang tergabung dalam serikat dagang VOC.

Pada awal abad ke-17, perwakilan VOC saat itu, Jacques I’Hermitte, melakukan penandatangan kontrak dengan penguasa Banten, yaitu Pangeran Wijayakrama untuk dapat mendirikan loji dagang di Jayakarta. Namun, siapa yang menyangka bahwa penandatangan ini menjadi awal mula penguasaan Jayakarta oleh Kongsi Dagang Belanda tersebut. VOC yang mulanya hanya membangun sebuah loji kecil di tepi Sunggai Ciliwung kemudian dapat membangun sebuah benteng besar bernama Casteel Batavia yang menjadi tanda kekuasaan mereka atas Jayakarta.

Pada tahun 1619, pasukan Belanda di bawah pimpinan J.P. Coen melakukan penyerangan besar-besaran dan berhasil merebut Kota Jayakarta dari tangan Banten. Dari reruntuhan Jayakarta tersebut, J.P. Coen membangun kota yang ia beri nama Batavia. Ia menyulap kawasan yang hanya berupa tanah berawa menjadi kota dengan landscape arsitektur bergaya Eropa pertama milik VOC di Asia lengkap dengan gedung mewah dan kanal-kanalnya.

VOC juga kemudian memindahkan seluruh kantor-kantor utama mereka di Asia ke Batavia termasuk lembaga-lembaga yang bergerak di bidang ekonomi, hukum, hingga militer dan menjadikan kota ini sebagai pusat kontrol perdagangan dan pemerintahan mereka.

Pembangunan sebuah kota tentu membutuhkan tenaga kerja dan biaya yang besar. Untuk menekan hal tersebut, VOC kemudian mendatangkan budak dalam jumlah besar untuk dipekerjakan sebagai kuli ‘gratis’ yang dapat mereka kontrol sesuka hati. Budak-budak ini berasal dari wilayah-wilayah kekuasaan VOC baik di Asia maupu Eropa, termasuk daerah-daerah di Indonesia seperti Manggarai, Bali, dan Makassar.  

Seiring perkembangannya, budak-budak ini tidak hanya digunakan oleh VOC namun juga oleh bangsawan-bangsawan Eropa di Batavia. Mereka membutuhkan budak untuk dipekerjakan sebagai pekerja di perkebunan, pembantu atau bahkan gundik. Akibatnya permintaan akan budak di Batavia terus mengalami peningkatan hingga menyebabkan hampir separuh penduduk Batavia adalah budak.

Budak-budak yang menetap di Batavia inilah yang memiliki pengaruh besar terhadap keberagaman masyarakat Kota Batavia. Kondisi ini masih dapat dirasakan pada masa sekarang di kota yang telah berganti nama menjadi Jakarta. Terlihat dari beberapa nama kampung di Kota Jakarta yang diambil dari nama asal budak, seperti nama Manggarai dan Kampung Bandan.

Menurut Alwi Shahab (2000), nama Manggarai dan Bandan mengacu pada nama daerah di Nusa Tenggara Timur sedangkan Bandan berasal dari nama Banda yang merupakan daerah asal budak. Kondisi ini memperlihatkan bahwa Jakarta yang sekarang adalah sebuah hasil dari interaksi dan perjumpaan berbagai komunitas di masa lampau  yang sebagiannya diukir oleh para budak. ***



BACA JUGA