De aardbevingen van Wonosobo op 12 November en 2 December 1924 De Aardbeving van Maos op 15 Mei 1923. Ir N J M Taverne;Ch E Stehn [ Weltevreden ]:G. Kloff,1925. (https://masyono.staff.ugm.ac.id/
OLEH Yenny Narny (Dosen FIB Unand)
“Pakansi” kali ini kita membawa pembaca mengunjungi salah satu pulau di lepas pantai barat Sumatera, Pulau Nias namanya. Pulau yang oleh masyarakat lokal disebut dengan nama Taho Niha (Pulau Niha). Pulau ini merupakan pulau terbesar di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki sejarah kegempaan yang panjang dan mencatatkan dirinya sebagai salah satu wilayah paling rawan bencana di Indonesia.
Sebagai bagian dari kawasan Ring of Fire, Nias terletak di zona subduksi yang sangat aktif, di mana lempeng Indo-Australia menghunjam ke bawah lempeng Eurasia. Tumbukan antardua lempeng ini menimbulkan energi besar yang terasa hingga permukaan Bumi. Akibatnya, Pulau Nias sering mengalami guncangan mulai dari skala kecil hingga besar. Bahkan tak jarang, gempa ini diikuti oleh gelombang tsunami akibat letak pulau yang dikelilingi laut lepas.
Pada periode kolonial, pencatatan mengenai bencana gempa di Hindia Belanda mulai dilakukan secara tertulis. Beberapa gempa besar yang tercatat dalam arsip-arsip kolonial Belanda di antaranya, yaitu gempa pada Januari 1843. Gempa yang terjadi pada tengah malam ini mengguncang Pulau Nias hingga menyebabkan rumah masyarakat, barak, rumah komandan hingga gedung pemerintahan runtuh dan menimbun orang-orang yang tidak sempat melarikan diri ke luar rumah mereka. Tak hanya itu, gempa yang berlangsung selama 9 menit ini juga menyebabkan banyak pohon tumbang, longsor di berbagai wilayah dan menimbulkan retakan-retakan besar di tanah. Suara gemuruh yang menakutkan dari runtuhan bangunan dan pohon serta jeritan orang-orang membuat suasana pada saat itu sangat mencekam.
Pada periode ini, tidak hanya pemerintah kolonial yang melakukan pengarsipan atas gempa yang terjadi. Koran-koran sezaman pada masa itu juga memberikan ruang berita yang detail terhadap kejadian gempa yang melanda. Javasche courant edisi 05 April 1843, melansir adanya adanya gelombang tsunami pun menghantam kawasan pesisir pulau dan menyapu semua yang dilewatinya.
Dilansir dari surat kabar Javasche Courant edisi 05 April 1843, gelombang ini menghanyutkan rumah penduduk, hewan ternak serta menimbulkan banyak korban jiwa. Tak hanya itu, gelombang besar ini juga menyebabkan kapal-kapal terlempar ke darat hingga 100-160 kaki dari tempat mereka berlabuh.
Gempa besar lainnya dalam sejarah kegempaan di Pulau Nias terjadi pada 16 Februari 1861. Gempa berkekuatan lebih 8,5 SR ini menyebabkan kerusakan yang parah hampir di seluruh pulau dan merenggut banyak korban jiwa. Menurut surat kabar Padangsch Nieuws- en Advertentie-Plad tertanggal 3 April 1861, gempa ini mengakibatkan retakan-retakan besar di tanah dan rusaknya benteng Belanda di Nias. Pada awal abad ke-20, gempa bumi kembali terjadi di tahun 1928 dini hari yang berpusat di laut antara Pulau Nias dan Sibolga. Berdasarkan surat kabar De Telegraaf edisi 13 Desember 1928, gempa ini berlangsung selama satu menit dan menimbulkan bunyi yang berderit. Namun, tidak ada kerusakan yang para akibat gempa ini dan tidak ditemukan catatan mengenai jumlah korban jiwa.
Para peneliti yang hidup pada periode tersebut juga turut andil alam mencatat peristiwa gempa yang terjadi di tanah Taho Niha ini, di antaranya adalah Arthur Wichmann, seorang arkeolog sekaligus antroplog kelahiran Amsterdam Belanda.
Arthur Wichmann dalam artikelnya yang berjudul Die Erdbeben des Indischen Archipels von 1858 bis 1877 mencatat bahwa gempa besar di Nias ini juga diikuti oleh 3 kali gempa susulan dan gelombang tsunami setinggi 7 meter yang menimbulkan kerusakan besar di pemukiman dan infrastruktur di sekitar garis pantai. Kapal-kapal pun banyak yang terseret arus tsunami dan terlempar ke daratan. Akibat bencana ini, lebih dari 1.000 korban jiwa meninggal dan menjadikan gempa ini sebagai salah satu gempa bumi terparah yang pernah terjadi di Pulau Nias.Top of Form
Dari banyaknya catatan kegempaan yang dilakukan pada periode kolonial sesungguhnya telah dihasilkan data sejarah panjang tentang peristiwa gempa di tanah Taho Niha.
Catatan ini harusnya menjadi sumber data yang berharga bagi para peneliti dan seismologi modern karena dapat membantu untuk memahami pola aktivitas seismik serta meningkatkan pemahaman tentang proses geologi dan risiko gempa dimasa kini, sehingga bisa diujudkan perencanaan kawasan aman bagi masyarakat. ***