Cerita Gempa Bumi Periode Kolonial Belanda di Sumatera Barat

--

Sabtu, 27/05/2023 01:35 WIB
padang panjang gampo

padang panjang gampo

OLEH Yenny Narny

Setelah dua pekan lalu menelusuri cerita bencana banjir di Kota Padang, “Pakansi” kali ini kembali menelusuri sejarah salah satu bencana lainnya yang tidak hanya sangat “akrab” dengan Kota Padang namun hampir di sebagian besar wilayah Sumatera Barat. Bencana ini dikenal dalam bahasa daerah setempat sebagai gampo atau yang kita kenal dengan kata gempa.

Gempa bumi di wilayah pantai barat Sumatra dengan magnitudo 7,3 yang diperbaharui menjadi 6,9 yang terjadi Selasa, 25 April 2023 pukul 03.00.57 WIB, BMKG melansir merupakan gempa dangkal akibat adanya aktivitas subduksi lempeng Indo-Australia yang memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault).

Sirine peringatan dini tsunami meraung-raung memecah sunyinya malam. Warga yang berada di daerah pesisir Sumatera Barat sontak panik. Berbondong-bondong mereka membawa keluarganya menyelamatkan diri ke dataran yang lebih tinggi. Suasana panik dan  mencekam ini berlangsung beberapa jam hingga peringatan dini tsunami itu dicabut oleh BMKG di pagi harinya.

Kisah di atas adalah cerita yang berulang, tidak hanya tentang kepanikan namun juga tentang kehancuran bangunan dan juga kehilangan nyawa ribuan orang. Catatan tentang kegempaan di Sumatera Barat sudah dimulai sejak periode Kolonial Belanda. Djoko Surio dalam Bencana Gempa di Sumatera (2016) menyebutkan bahwa gempa tertua di Sumatera Barat terjadi di tahun 1757 di Kota Padang. Gempa ini mengakibatkan banyak rumah ambruk dan tanah retak.

Masih di abad yang sama, Kota Padang kembali dihoyak gempa besar yang berkekuatan 8,5 SR pada tahun 1797. Gempa ini diikuti oleh gelombang tsunami setinggi lebih-kurang 5 meter. Akibatnya, seluruh kota terendam air, rumah-rumah hanyut diterjang gelombang, dan menimbulkan korban jiwa.

Di abad berikutnya katalog gempa bumi BMKG mencatat, telah terjadi gempa di Pulau Sumatera pada 26 Agustus 1835. Gempa yang berpusat di Kota Padang ini mengakibatkan banyak rumah masyarakat serta bangunan lainnya rusak. Gempa besar kembali terjadi pada November 1833 di Pagai Selatan. Gempa yang berkekuatan 8,3 SR ini mengakibatkan rumah, gereja, benteng, serta menara rusak parah hingga tak dapat digunakan kembali di Kota Padang. Gempa yang menimbulkan tsunami setinggi 3-4 meter di pesisir Kota Padang ini juga menyapu dermaga serta kapal-kapal yang mengakibatkan nelayan tidak dapat berlayar ke laut.

Berbagai persoalan pun muncul sebagai dampak dari gempa besar ini, baik itu persoalan ekonomi, sosial, dan lainnya. Namun sayang, bencana ini tidak terdokumentasikan dengan baik sehingga tidak diketahui jumlah korban, kerugian yang ditimbulkan, serta tindakan yang dilakukan pemerintah Belanda dalam menanggulanginya.

Di abad berikutnya gempa besar melanda Padang Panjang pada 28 Juni 1926. Gempa dengan kekuatan mencapai 7,8 SR ini meluluhlantahkan Kota Padang Panjang serta menimbulkan berbagai persoalan yang serius, mulai dari hancurnya stasiun kereta api terbesar di Kota Padang Panjang, putusnya jalur transportasi dan komunikasi, meluapnya air Danau Singkarak hingga membanjiri wilayah sekitarnya, ribuan rumah dan bangunan rusak parah serta merenggut ribuan korban jiwa.

Berbagai surat kabar pun memberitakan bencana ini. Sebut saja surat kabar Dagblad Noord Brabant, Leeuwarder Courant dan Het Huisgezin yang terbit bersamaan dan berisi informasi mengenai korban serta kerusakan yang terjadi di daerah-daerah yang terdampak gempa. Pihak swasta juga banyak yang menyampaikan belasungkawanya melalui surat kabar. Mereka pun mengirimkan berbagai macam bentuk bantuan untuk para korban yang terdampak.

Untuk memulihkan kembali sebagian besar daerah di Sumatera Barat pascagempa, Pemerintah Sumatera Westkust meminta bantuan ke pemerintah pusat di Buitenzorg (Bogor) agar mengirimkan bala bantuan. Sebagai jawaban, Pemerintah Pusat mengirimkan pasukan militer pada Juli 1926 untuk melakukan evakuasi korban baik yang selamat maupun tidak serta mengamankan keadaan. Pemerintah kolonial juga melakukan rehabilitasi dengan cara membangun kembali rumah, fasilitas umum seperti kantor, rumah sakit, pasar hingga jalur kereta api.

Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi kegempaan di Sumatera Barat bahkan Hindia Belanda yaitu dengan membangun lembaga penelitian bernama De Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen BG, yaitu lembaga yang berfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan serta menjadi pusat informasi terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di Hindia Belanda termasuk gempa.

Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia yang bertugas melakukan penelitian dalam bidang geologi termasuk melakukan pengamatan seismograf atau pencatatan getaran bumi untuk mengetahui sumber getaran. Lembaga ini sempat memasang alat microseismic dan photographic seismograph untuk mendeteksi gelombang dan getaran lapisan bumi untuk Kota Padang pada tahun 1907, namun tidak berfungsi dengan baik sehingga dicabut kembali.

Pada tahun 1912, dibentuk lembaga Meteorologisch  en  Geofisiche Dienst yang berfungsi untuk melakukan pengamatan meteorologi. Setelah Indonesia merdeka, lembaga ini berganti nama menjadi Meteorologi dan Geofisika di bawah koordinasi Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum. Lembaga inilah yang nantinya menjadi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Cerita tentang kepanikan berlanjut terus hingga sekarang. Masyarakat tetap belum terbiasa dengan gempa walaupun kejadian terus berlangsung dari generasi ke generasi. Dan pembangunan tanpa berbasis kesadaran akan bencana ini terus berjalan. ***



BACA JUGA