
OLEH Syarifuddin Arifin (Sastrawan).
Jika tak ada api tentu tak ada asap.
Sepantun langit biru tak berawan,
siang menjadi terik.
Menyimak berita akhir-akhir ini, otak kita dijejali dengan istilah yang belakangan menjadi sangat terkenal di jagat dunia daring dan luring. Diksi ‘hedonis (isme)’ terindeks Google sebanyak lebih kurang 2.100.000 hasil pencarian di dalam mesin pencari raksasa itu.
Istilah psikologi ini kian populer seiring dengan terkuaknya para pejabat-pejabat di Kementerian Keuangan dengan ruang lingkup kerabat keluarganya yang mempertontonkan perilaku hedonis di pelbagai apilikasi media sosial. Rakyat pun muak.
Hedonisme dalam makna hardiahnya adalah ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Terdapat tiga aliran pemikiran dalam hedonis yakni Cyrenaics, Epikureanisme, dan Utilitarianisme. Makna hedonisme telah mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan zaman.
Berita hedonismen ini mungkin mengalahkan popularitas permainan lato-lato. Melihat perilalaku “anak buahnya” itu Menteri Keuangan, Sri Mulyani berang. Pada bagian lain,
Sementara ity, Erick Thohir terpilih sebagai Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini manut, demi keselamatan masyarakat Depo BBM di Plumpang Jakarta dipindah dan Direktur Penunjang Teknisnya, Dedi Sunardi dicopot. Musibah Tanah Merah Bawah yang makan korban terbakar belasan orang akibat Depo Pertamina Plumpang dimamah sigulambai.
Peristiwa dan kejadian itu memunculkan pelbagai tanggapan dan respons dari kaum "nyinyiran": pro dan kontra. Apapun itu, tindakan kedua menteri tersebut, untuk sementara layak dapat jempol.
Seharusnya di sebuah taman, orang merasa adem. Sesuai fungsinya sebagai ruang publik. Fasilitas untuk bermain tercukupi, sejalan dengan jenis dan pemanfaatan taman tersebut. Misal, Taman Budaya di Padang. Di sana ada fasilitas aneka bentuk dan jenis seni budaya, seperti panggung pertunjukan, galeri, ruang latihan, ruang “bacaran” (diskusi). Peralatan kesenian dan senimannya yang giat berlatih, berkreasi, mengolaborasi, inovatif, dan menggelar, mempertunjukkannya.
Ketika Taman Budaya diserahkan pengelolaaanya ke Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, berubahlah kebijakan pengelolaannya. Gedung lama dibongkar dan bikin baru. Biar lebih mentereng, termegah di Indonesia bagian barat. Ternyata? Mangkrak! Pemborongnya berulah.
Kini tampak tiang-tiang beton raksasa meranggas dan sebagiannya tampak murung, diam menghitam. Bagaikan hutan yang dibabat, pohon-pohon beton itu tak berdaun.
Eh, tiba-tiba sebagiannya, pada Zone C terjadi diubah fungsi menjadi hotel. Muncul polemik. Seniman dan budayawan Sumatra Barat meradang. Berang. Murka.
Pihak Dinas Bina Marga, Cipta Karya dan Tata Ruang (BMCKTR) Provinsi Sumatera Barat, pada 22 Desember 2022 mengundang 10 orang seniman dan budayawan untuk diskusi kelompok terpumpun. Dalam undangan tertulis Forum Group Discussion (FGD) DED Reviu Gedung Kebudayaan Sumatera Barat, tentang perubahan fungsi Zona C GKSB (Gedung Kebudayaan Sumatra Barat).
Padahal, ketika lahan bangunan dipagar dan pekerjaan sudah dimulai, para seniman-budayawan yang diundang itu tidak merasa ada keganjilan. Justru, dalam diskusi terpumpun itulah itulah terungkap rencana alih fungsi itu, dan memicu adrenalin karena seniman dan budayawan terkesan diranjau dan dijebak. Dari 10 yang diundang, delapan orang menolak keras alih fungsi itu, satu orang tidak komentar dan satu orang tidak hadir. Uraian dan komentar peserta FGD tersebut sudah dipapar Yulizal Yunus dalam orasinya di panggung ini juga.
Selang 2 hari kemudian, 24 Desember 2022, saya diundang Joni Andra, host podcast Pod Bungo, Yuang Tagie. Youtuber itu berhasil memancing komentar.
“Saya tidak menolak pembangunan. Bila terjadi perubahan fungsi dengan mengabaikan Zone B, rumah kreatif bagi seniman, ini pelecehan. Muncul kesan, Pemprov telah melakukan penipuan publik. Kesan ini semakin nyata ketika Gubernur Mahyeldi menyebut baru tahap wacana.”
Hidayat, anggota DPRD Sumbar menelepon saya dan ditindaklanjuti dengan turun ke bawah, mendengar aspirasi seniman. Sastrawan Gus tf di Payakumbuh pun ikut memberi jempol. Pencipta lagu Minang Pop yang legendaris, Dr. Agusli Thaher menelepon saya dan memberi dukungan. Beberapa hari kemudian muncul tulisannya di situs inspirationcorner.com yang mengkritisi bahwa hotel di Padang sudah berlebih, dibanding dengan jumlah wisatawan yang menginap.
Menurut Agus Thaher, wisatawan yang berkunjung ke Padang hanya separuh dari kunjungan ke Bukittinggi. Selebihnya menyebar ke kota-kabupaten lain. Terbanyak memilih Bukittinggi sebagaimana data DTW tahun 2021 yakni 748.074 wisatawan, Pesisir Selatan 703.300, Limapuluh Kota, 625.155, Agam 509.428 dan ke Kota Padang hanya 376.534 wisatawan berkunjung. Selain itu, jumlah penginapan, hotel di sekitar Taman Budaya saat ini lebih dari 50 unit.
Wartawan dan pemerhati seni budaya Nasrul Azwar membuat petisi secara daring di aplikasi change.org, yang ditandatangani ratusan simpatisan di berbagai daerah di Indonesia. Novelis/wartawan, Khairul Jasmi menyebut polemik tentang Gedung Kebudayaan Sumbar ini cukup menggemparkan.
Goncanganya melebihi gempa di Pasaman. Pamong senior, M. Sadiq Pasadigoe berasumsi bila 0,5% saja warga Sumbar berkesenian itu artinya Pemerintah telah menggusur 28 ribu orang dari habitatnya, yakni rumah seniman yang bernama Taman Budaya. Sementara penulis
autobiografi, sejarawan autodidak dan wartawan senior Hasril Chaniago mengingatkan Pemprov Sumbar agar tidak melulu memikirkan faktor ekonomi dengan meningkatkan fungsi ruang publik yang bersifat benefid, seperti Taman Budaya. Karena justru Taman Budaya telah berjasa melahirkan seniman budayawan nasional maupun international. Jangan abaikan ruang kreatif, inovatif tempat seniman berkarya.
Pada 13 Januari 2023, beberapa seniman budayawan menggelar “Panggung Ekspresi” di Taman Budaya. Giat seni ini digelar tanggal 13 setiap bulan. Hari ini (13 Maret 2023-red) sudah memasukusi yang gelaran ke 3. Sebuah protes, unjuk rasa dalam bentuk pertunjukan seni yang kemudian bernaung dalam Forum Perjuangan Rumah Seniman Budayawan (FPRSB) Sumbar.
Beberapa komunitas, grup kesenian yang dikelola oleh kaum milenial seperti Kelompok Seni Nan Tumpah (KSNT), Sanggar Tari Cahayo Bundo, Kelompok Musik Kuliek, Grup Band Mola Dikao, Kelompok Musik Jalanan (KPJ) Sakato, yang kreatif dan produktif ikut berpartisipasi di “Panggung Ekspresi”, seperti pembacaan puisi, monolog, musikalisasi puisi, melukis spontan, tari-tarian dan bahkan pihak Himpunan Tjinta Teman (HTT) ikut menggelar barongsai di halaman parkir Taman Budaya, dan personil Seniman Minangkabau Indonesia (SMI)
Saat kampanye Pemilihan Gubernur Sumbar 2 tahun lalu, Mahyeldi berjanji akan memberi perhatian kehidupan kesenian daerah ini. Meski kita tahu, lebih 6 tahun sebagai Wali Kota Padang, kesenian tradisi di Kota Padang terseok-seok, dan tentang soal ini sudah saya tulis di Portal Berita Editor, 14 Desember 2020 lalu.
Kaum nyinyiran ngomong seenaknya. ibarat pedagang sayur di pasar tradisi atau pasar kaget yang muncul di setiap persimpangan jalan. Tapi kesenian dan senimannya bukan sayur yang cukup digelar di trotoar. Bila kerja dan kepentingan seniman terganggu, mereka tidak akan turun ke jalan: Demonstrasi. Berunjuk rasa. Seniman budayawan dalam FPRSB dengan elegan menggelar “Panggung Ekspresi” sebagai tempat mencurahkan kekecewaannya. Mengadakan diskusi terbuka dengan peserta dari akademisi, politikus, wartawan, pengamat seni budaya dan instansi terkait. Bila ini tidak ditanggapi Pemprov Sumbar, bukan tidak mungkin akan terjadi gerakan yang lebih dahsyat dan lebih terbuka.
Berbeda dengan sayur-mayur yang masih segar. Sejak dipetik belum tersentuh cahaya matahari. Baru dan murah, dijual eceran. Diikat atau dikantongi sendiri, dan menentukan harga. Rusakkah harga pasar karenanya? Jawabnya tentu tidak. Pedagang tentu cari untung, sepanjang pembeli tidak dirugikan. Pembeli dan penjual sepakat. Begitulah pasar bergulir, mengalir bak air di pancuran. Meskipun di sana, ada pengamat yang resah. Pemerintah tidak mampu menjaga harga pasar. Ibu-ibu rumah tangga kewalahan, karena gaji suaminya tidak mencukupi. Lalu, ada yang menjawab, bahwa pupuk mahal. Belinya pakai dolar. Satu dolar Amerika, nilainya nyaris 15 ribu rupiah.
Kesenian jelas bukan sayur yang layu bila kepanasan. Nilai-nilai kemanusiaan, filosofi dan tata kehidupan yang berbudaya akan dirasakan kemudian hari. Seni budaya adalah peraut tatanan kehidupan masa kini dan akan datang. Pemerintah berkewajiban menjaga nilai-nilai ini. Jangan sampai budaya kita (Minangkabau) layu dan menunduk bila berhadapan dengan kebudayaan daerah lain.
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa dan hasil karya masyarakat. Sebagaimana pasal 5 UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dengan 10 objeknya yakni; tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat dan olahraga tradisional.
Bekas arena Padang Fair yang kemudian jadi Pusat Kesenian Padang, lalu jadi Taman Budaya merupakan rumah seniman sejak 1970-an karena di sanalah semua aspek tersebut dibincangkan, debat kusir saling mempertahankan pendapat. Pengetahuan tentang adat istiadat, pengatahuan tentang tradisi, lisan dan tulis, bahasa dan seni, cerita-cerita rakyat (mitos dan kaba) diolah, alih wacana menjadi sebuah pertunjukan dalam bentuk teater, tari, musik).
Kenapa tiba-tiba Pemerintahan Provinsi Sumbar menjadi gamang dan cemas kelak membiayai Gedung Kebudayaan ini? Bila Gedung Kebudayaan Sumatera Barat selesai menurut rancangan aslinya maka dana operasional dan perawatannya tentu dari APBD karena gedung itu lebih bersifat benefit. Bukan profit yang nyata mendapatkan keuntungan. Kerja kreatif seniman tidak bisa diukur dan dinikmati secara instan. Itulah sebabnya mengapa wartawan senior Fachrul Rasyid mencurigai pemerintah yang tidak serius membangun daerah ini.
Pengamat ekonomi, Prof Syafruddin Karimi, SEMA pada program Detak Sumbar, Padang TV mengevaluasi kinerja Pemprov Sumbar setelah 2 tahun di tangan Mahyeldi Ansharullah dan Audy Joinaldi. Menurutnya kita tidak punya entrepreneurship yang handal, tidak berani dan tidak inovatif. Gubernur yang juga ketua partai itu sibuk mengumpulkan orang banyak lalu diekspos. Padahal kita membutuhkan usaha kepariwisataan yang nyata. Membangun dan memperbaiki infrastruktur jangan setengah hati. Sekarang ya, besok lain lagi. Saat kampanye memang butuh masa pendukung, tapi ketika jadi pemimpin daerah ini, cara berpikir janganlah sektoral.
Meski Gubernur Mahyeldi kepada wartawan mengatakan tidak akan ada hotel di Gedung Kebudayaan Sumatera Barat (GKSB), namun wacana perubahan fungsi diganti dengan peningkatan fungsi yang bernilai ekonomis oleh pihak BMCKTR, sebagaimana rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat No. 9/SB/2022 menyebut skema pinjaman atau kerja sama dengan pihak ketiga atau dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN,) terutama untuk penyelesaian Main Stadium dan Gedung Budaya. Lalu, merevisi rencana penggunaan Gedung Budaya (maksudnya, Gedung Kebudayaan) menjadi tempat yang bernilai ekonomis dan memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Seakan mendesak, dengan mengabaikan Zone B, maka pengerjaan Zone C didahulukan. Bila pembangunan Zona B dan Zona C sekali jalan dikerjakan, tentu tidak ada riak-riak pro-kontra. Tidak ada FPRSB Sumbar.
Pertanyaan saya, apakah untuk mendongkrak pendapatan daerah kita harus membangun hotel berbintang kerja sama dengan pihak ketiga? Masih belum kapokkah kita dengan Hotel Balairung dan Novotel yang ternyata kontribusinya terhadap PAD daerah ini mengecewakan itu? Kontribusi Novotel di Bukittinggi konon di bawah target. hanya mampu sekian puluh juta per tahun karena harus membayar hutang. Bandingkan dengan restribusi kaki lima di sekitar Jam Gadang yang sekian juta per bulannya. Kenapa Pemprov Sumbar dalam hal ini pihak Dinas Pariwisata tidak meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sektor ini? Suguhan hiburan dan aneka kuliner di Taplau Padang, misalnya? Ya karena kita tidak punya entrepreneur yang inovatif. Bimbingan teknis atau workshop atau pelatihan itu perlu, tetapi tidak kumpul-kumpul lalu ekspos sementara hasilnya tidak ada.
Tentu saja muncul kesan adanya pemaksaan kehendak. Pada hal pihak Bappeda telah merekomendasi agar Gedung Kebudayaan Sumatera Barat tetap diselesaikan menurut rencana semula, hal yang ternyata sejalan dengan kehendak Forum Perjuangan Rumah Seniman Budayawan (F-PRSB) Sumbar. Ketika temu ramah sejumlah seniman budayawan dengan gubernur dan SKPD terkait di Istana Gubernur, 4 Februari 2023 lalu. Seniman menyerahkan Pernyataan Sikap Bersama yang dengan enggan diterima oleh Buya Gubernur.
Isi Pernyataan Sikap tersebut adalah 1). Menolak dibangunnya hotel di area Gedung Kebudayaan; 2). Mendesak pihak terkait untuk menuntaskan persoalan hukum yang terjadi di Zone B sehingga mempunyai kepastian hukum untuk dilanjutkan pembangunan zone tersebut; 3). Mendesak untuk tetap melanjutkan pembangunan Gedung Kebudayaan, sesuai dengan rencana dan fungsi semula.
Terkesan, program unggulan gubernur menjadikan GKSB, Museum dan Perpustakaan Provinsi sebagai pusat pendidikan dan wisata IPTEKS (educations tourism) tak lebih sebagai pemanis kata saat kampanye.
Bukankah seharusnya Buya Gubernur menegur "anak buah"nya, sebagaimana Meteri Sri Mulyani demi menjaga perasaan masyarakat, menyabit cepat dengan tangan besinya. Mengalahnya Erick Thohir atas musìbah Plumpang yang menyelesaikan masalah di lingkungannya demi keselamatan warga sekitar?
Padang, 13 Maret 2023
Dibacakan pada Panggung Ekspresi Seniman Budayawan Sumbar, 13 Maret 2023, pukul. 20.00 WIB