
OLEH Harris Effendi Thahar (Profesor Emiritus FBS UNP)
PADA suatu ketika, penyair Leon Agusta (5 Agustus 1938-10 Desember 2015) bercerita kepada saya bahwa ada suatu keinginannya yang sangat sulit untuk diwujudkan di Kota Padang. Sebagai sebuah kota yang modern, mestinya di kota ini ada sebuah gedung kesenian yang dapat menyuguhkan sebuah konser musik serius, semacam Padang Philharmonic Orchestra. Jadwal akan penampilannya ditunggu-tunggu warga kota dan pendatang dengan tiket mahal, meski jumlah kursi penonton sangat terbatas.
”Saya tidak mengatakan bahwa Kota Padang sangat meniru budaya Barat. Menurut saya pertunjukan musik serius atau orkestra itu boleh menyuguhkan lagu-lagu lokal kita, produk budaya kita. Artinya, tradisi berkeseniannya yang kita tiru, penghargaan yang tinggi bagi seniman-seniman musik berkelas. Tidak sekadar pemain orkes dangdut dengan orgen tunggalnya.”
Percakapan itu muncul ketika kami sedang mengopi di beranda Wisma Seni Taman Budaya Sumatera Barat sambil menghadap ke pekerja-pekerja yang sedang sibuk membangun gedung teater utama yang kini telah diruntuhkan. Gubernur Sumatra Barat Azwar Anas (2 Agustus 1933–5 Maret 2023) dan rombongan baru saja pergi setelah meninjau dari dekat pelaksanaan pembangunan gedung teater itu.
“Kenapa tidak Abang sampaikan mimpi Abang itu kepada gubernur tadi?”
Bang Leon terdiam sambil merenung jauh. Lalu dia menjawab. “Ide ini tidak cukup disampaikan sambil lalu. Saya harus menulis panjang tentang ini di media massa agar diketahui khalayak ramai.”
Pada masa Gubernur Azwar Anas dua periode (1977-1987), Taman Budaya Sumatra Barat, mulai menjadi pusat kegiatan seni budaya di Kota Padang. Pada saat teater utama sedang dibangun, masih ada gedung teater tertutup, teater terbuka, laga-laga, dan bangunan-bangunan lain tempat bernaung sanggar-sangar seni seperti sanggar tari, sanggar seni rupa, sanggar-sanggar teater, yang hidup sepanjang hari.
Sanggar Tari Nan Jombang juga berasal dari Taman Budaya ini. Taman Budaya punya kalender pertunjukan seni sepanjang tahun yang menjadi destinasi tontonan gratis dan bermutu bagi warga kota, bahkan peminat datang juga dari luar Kota Padang.
Ada empat kampus Perguruan Tinggi yang setia mentas drama di Taman Budaya pada masa itu, seperti Kampus Selatan dari FPBS IKIP Padang, Kampus Fakultas Sastra Unand, dan Kampus Proklamator Universitas Bung Hatta, dan Kampus IAIN (kini UIN) Imam Bonjol Padang. Sesekali juga tampil pertunjukan dari STSI (kini ISI) Padang Panjang. Setiap mahasiwa yang mentas dari berbagai PT itu saya tanyakan kesannya, “Kami bangga bisa tampil di Taman Budaya ini.”
Selain itu, sanggar-sanggar seni di daerah juga punya jadwal yang disusun oleh Taman Budaya bekerja sama dengan Dewan Kesenian Sumatera Barat untuk mengisi kalender acara penampilan seni tradisi, termasuk dari Kabupaten Kepulauan Mentawai. Komunitas-komunitas seni yang ada di Kota Padang, membentuk sanggar-sanggar dan merasa Taman Budaya adalah rumahnya, tempat berekspresi, latihan, menempa diri, dan berusaha untuk tampil sebagai suatu prestasi.
Sanggar-sanggar itu tidak terbatas pada seni teater saja, tapi juga ada sanggar tari, sanggar senirupa, dan bengkel baca puisi, bahkan sanggar/dojo olahraga bela diri dan perkumpulan randai. Dan, sebagai sanggar main stream adalah Sanggar Bumi (teater, sastra, dan seni rupa). yang diasuh oleh Wisran Hadi (27 Juli 1945-28 Juni 2011).
Satu hal yang amat menggembirakan pada masa itu adalah tumbuhnya komunitas-komunitas seni yang saling bersaing untuk mencapai sesuatu yang membanggakan, yakni proses berkesenian yang hidup dan berkembang. Di sinilah tumbuh generasi demi generasi berikutnya hingga terhenti hari ini ketika Taman Budaya hanya tinggal nama dan seperangkat administrator yang masih bekerja sebagai pegawai negeri di bawah Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Untung masih ada galeri seni rupa yang sewaktu-waktu dapat dipinjam untuk berdiskusi tentang bagaimana cara kita berkesenian kembali di kota ini.
Pada masa Taman Budaya masih bernama Pusat Kesenian Padang (PKP), kami (saya, Darman Moenir (27 Juli 1952-30 Juli 2019), Asnelly Luthan (22 Maret 1952-20 September 1983), dan Hamid Jabbar (27 Juli 1949-29 Mei 2004), membentuk grup diskusi sastra “Krikil Tajam’ atas anjuran AA. Navis (17 November 1924-22 Maret 2003).
Mula-mula kegiatannya menumpang di Kantor PWI Sumatera Barat, sebelah Kantor Haluan untuk berdiskusi perdana. Pesertanya banyak yang didominasi para wartawan. Kami, para penulis sastra yang kemudian disebut orang sebagai sastrawan merasa terganggu atas “kebrutalan” pada kuli tinta itu dalam berdiskusi. Seolah-olah karya-karya kami berupa cerpen dan puisi hanyalah sebagai bahan caci maki mereka. Tak ada kritik yang benar, yang ada hanya caci maki.
Bung Darman Moenir dan saya menghadap Pak Boestami, Kepala Museum Adityawarman, minta izin di hari Minggu menggunakan salah satu ruangan, kalau tidak salah ruang rapat, untuk berdiskusi sastra bulanan yang akan menghadirkan AA Navis. Diskusi sastra “Krikil Tajam” dirancang hanya untuk para penulis sastra, bukan untuk jurnalis. Pak Bustami welcome sekali, malah memberi kami uang sekadar untuk membeli kopi dan jajan sebagai konsumsi diskusi. Biasanya, kami beriyur ala kadarnya untuk membeli kopi.
Kepala Museum itu juga menawarkan kalau ada seni pertunjukan yang bagus, boleh juga menggunakan aulanya yang cukup representatif. Memang, aula itu lebih sering disewakan kepada keluarga yang memerlukan ruangan untuk melaksanakan hajat berhelat (pesta) pernikahan.
Dari sisi kedekatan, gedung Museum Adityawarman yang megah itu berseberangan dengan Kompleks PKP yang kemudian bernama Taman Budaya Sumatra Barat. Pada masa itu, saya lihat museum itu seperti bangunan megah tempat menyimpan barang-barang kuno. Tak ada yang tertarik untuk sekadar melihat-lihat. Hampir sepanjang hari, ruang benda-benda bersejarah itu tutup.
Apakah tujuan pemerintah mendirikan museum itu? Tujaun museum modern adalah untuk mengumpulkan, melestarikan, menafsirkan, dan memamerkan objek-objek yang memiliki signifikansi artistik, budaya atau ilmiah untuk studi dan pendidikan masyarakat.
Ketika saya tinggal beberapa bulan di negara maju, saya juga diajak teman ke museum. Ternyata pengunjung museum itu cukup ramai. Mereka tidak saja warga setempat, tapi pendatang atau wisatawan yang ingin lebih dalam mengenal sejarah negeri itu melalui museumnya. Tidak sekadar melihat-lihat objek-objek yang disuguhkan museum itu, di pelataran museum itu juga sedang berlangsung permaian musik tradisional negeri itu, lengkap dengan pakaian tradisi Skotlandia yang lelakinya memakai semacam rok. Begitu saya meninggalkan museum itu sekitar seratus meteran, masih terdengar alunan musik yang didominasi oleh alat tiup itu, mendayu-dayu.
Bagaimana dengan Museum Adityamarman yang terletak bersebelahan dengan Taman Budaya Sumatra Barat? Kedua lembaga yang berstatus UPT ini adalah “anak kandungnya” Dinas Kebudayaan. Sebelum ada Dinas Kebudayaan, keduanya berada di bawah Dinas Pariwisata. Gedung museum yang megah ini kadang-kadang terkesan angker. Maksud saya karena sepinya pengunjung. Rasanya, kalau saja Taman Budaya masih belum rampung pembangunannya seperti yang pernah dijanjikan pihak pemerintah, mungkinkan limpahan kegiatan berkesenian para pegiat seni yang selama ini entah di mana, menumpang ke pelataran museum?
Katakanlah, misalnya ada sekelompok tari tradisi anak-anak tampil di hari Minggu di halaman museum sebagai bonus bagi pengunjung museum yang datang? Atau di hari-hari tertentu ada sanggar teater berlatih olah vokal dan olah gerak di samping museum. Atau pertunjukan teater uang mentas malam hari di Auditorium Museum Adityawarman? Mungkin ini sementara sifatnya. Tapi, siapa tahu, seperti di negara-negara maju, museum juga menyediakan pertunjukan seni sewaktu-waktu sebagai bonus untuk pengunjung.
Saya tidak mengatakan bahwa Taman Budaya Sumbar dimuseumkan.*
Padang, 22 Februari 2025
Disampaikan dalam Panggung Ekspresi Seni & Orasi Budaya Forum Seniman Sumatera Barat (FPS-SB), Selasa, 25 Februari 2025 di Pelataran Parkir Taman Budaya Sumatera Barat.