
Batang Kuantan Tahun 1927, Sumber: kitlv.nl
OLEH Febriani Rahayu Putri
Batang Kuantan menjadi salah satu ikon wisata yang terdapat di Kawasan Geopark Nasional Sianok, Kabupaten Sijunjung.Sungai yang berhulu di pedalaman Sumatera Barat ini mengalir memotong tegak lurus tebing kasrt Silokek sehingga menghasilkan pemandanganalam yang sangatmemukau.Di samping keindahan alamnya,Batang Kuantan juga menyimpan berbagai kisah sejarah menarik yang dapat dijadikan potensi wisata kelas dunia Geopark Silokek, khususnya dibidang sejarah dan budaya. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pariwisata berkelanjutan dengan memanfaatkan aset sejarah dan budaya yang ada.
Hulu Batang Kuantan merupakan lokasi pertemuan beberapa sungai,yaitu Batang Ombilin, Batang Palangki, Batang Sukam, dan Batang Sinamar. Di lokasi pertemuan inilah, tepatnya di Kabupaten Sijunjung, sungai-sungai tersebut berganti nama menjadi Batang Kuantan dan mengalir ke hilir hingga bermuara di Teluk Kuantan, Riau. Sungai yang membentang lintas provinsi ini menjadi penghubung daerah-daerah yang berada disepanjang alirannya, mulai dari Silokek, Soengai Batung, Loeboe Djambie hingga daerah di sekitar Selat Malaka.Bahkan, dalam sejarah diceritakan bahwa Batang Kuantan telah menjadi jalur masuk utama dari timur bagi penguasa Malaka ketika berkunjung ke Kerajaan Pagaruyung di Batusangkar. Selain itu, Batang Kuantan juga berperan besar terhadap masuknya Islam ke Minangkabau, terlihat dari letak surau-surau tua di Kabupaten Sijunjung yang umumnya berada di pinggiran sungai.
Jauh sebelum Belanda masuk, nenek moyang masyarakat Silokek telah menjadikan aliran Batang Kuantan sebagai jalur transporasti utama mereka untuk bepergian ke kawasan pesisir timur. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman dan berkembangnya jalur trasnportasi darat membuat peranan sungai sebagai jalur “jalan raya” utama terpinggirkan secara perlahan.Budaya masyarakat sungai yang terbentuk sejak dahulu pun mulai ditinggalkan dantergantikan oleh budaya baru yang lebih modern. Kondisi seperti ini tentu amat disayangkan, mengingat kontribusi Batang Kuantan yang sangat besar terhadap tumbuh kembangnya peradaban-peradaban yang terdapat disepanjang alirannya. Meskipun tidak dapat dikembalikan seperti sedia kala,kisah-kisah sejarah mengenai aktivitas manusia di sepanjang Batang Kuantan, khususnya kawasan Silokek, dapat dikembangkan menjadi aset wisata yang menarik dengan menghidupkan kembali cerita masa lalu tentang masyarakat sungai dan kejayaannya.Beberapa kisah-kisah sejarah tersebut yang dapat dikemas menjadi paket wisatayaitu sebagai berikut:
Peradaban Sungai Nagari Silokek
Dialiri oleh Batang Kuantan membuat Nagari Silokek termasuk dalam salah satu peradaban sungai yang ada di Sumatera Barat. Sungai ini telah menjadi “jalan raya” utama yang digunakan oleh masyarakat Silokek untuk bepergian antar desa maupun berdagang ke kawasan Pantai Timur Sumatera. Batang Kuantan sebagai jalur penghubung utama antar desa terlihat dalam berbagai cerita lokal masyarakat, salah satunya yaitu kisah Datuak Marabanso dan Datuak Palowan. Dikisahkan pada masa dahulu, terdapat sepasang kakak beradik yang hidup di Kampung Tuo Balai Tongah (kini Durian Gadang) yang bernama Datuak Marabanso dan Datuak Palowan Bosar. Sehari-hari, kedua kakak beradik ini bekerja sebagai petani. Namun, diakibatkan adanya ketidakcocokan di antara keduanya mengenai pembagian hasil tani, membuat Datuak Palowan Bosar memilih untuk pergi meninggalkan kakaknya ke Tanjung Medan (kini Silokek) dengan menyusuri Batang Kuantan. Terlepas dari benar tidaknya kisah tersebut, terlihat bahwa Batang Kuantan telah digunakan sebagai jalur utama untuk bepergian antar daerah di sepanjang aliran sungai pada masa lalu.
Kisah Datuk Marabanso dan adiknya ini juga dipercaya sebagai awal mulanya pemberian nama Silokek. Diceritakan bahwa dalam perjalanannya menyusul sang adik, Datuk Marabanso pun akhirnya berhasil menemui Datuk Palowan di daerah Tanjung Medan. Mereka pun berunding dan diputuskan bahwa Datuk Palowan tidak akan kembali ke kampung halamannya dan akan tinggal di perkampungan baru yang ia kelola di wilayah Tanjung Medan. “Yo ndak kan pulang kalian ka ilia lai?” tanya Datuk Marabanso yang diiyakan oleh adiknya. Lalu, ia kembali bertanya, “kan lokek kalian disitu?”, “iyo” jawab Datuk Palowan. Sejak saat itulah daerah ini berganti nama menjadi Silokek. Kisah dua kakak beradik ini merupakan kekayaan legenda yang dimiliki oleh Silokek yang harus dilestarikan. Namun, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui kisah tersebut. Perlu dilakukan upaya agar warisan sejarah ini tidak hilang ditelan zaman, salah satunya yaitu dengan dikembangkannya warisan sejarah dan budaya ini menjadi paket wisata yang selain dapat meningkatkan ekonomi lokal, juga merlestarikan kisah-kisah tersebut.
Selain sebagai penghubung antar desa, Batang Kuantan juga berperan sebagai jalur perdagangan utama yang menghubungkan kawasan pedalaman dengan pesisir timur Sumatera. Pemanfaatan sungai sebagai jalur pedagangan telah dilakukan sejak masa kerajaan-kerajaan Nusantara dan terus berlanjut hingga masa Kolonial Belanda. Terdapat sejarah yang mengatakan bahwa pada masa Kerajaan Siguntur, keramaian jalur perdagangan sungai beralih ke Batang Kuantan dan anak-anak sungainya. Para pedagang daerahpedalaman akan membawa hasil hutan dan tambangnya ke Siguntur. Lalu, dari daerah tersebut para pedagang ini berangkat menuju pantai Timur Sumatra dengan menyusuri aliran Batang Kuantan menggunakan perahu untuk menjual barang dagangan mereka ke pedagang-pedagang Cina, Arab, maupun Eropa.
Pada masa itu, Silokek menjadi salah satu daerah pesinggahan bagi para pedagang Minangkabau yang berdagang melintasi Batang Kuantan. Terdapat beberapa dermaga di Silokek yang berfungsi sebagai tempat pemberhentian barang dan orang, salah satunya di daerah Muko-Muko. Berdasarkan cerita masyarakat, di kawasan ini arus Batang Kuantan cukup tinggi dan deras sehingga memudahkan perahu untuk bergerak baik ke arah hulu maupun hilir.
Interaksi dan proses adaptasi masyarakat Silokek dengan lingkungan alamnya juga telah membentuk budaya sungai dalam masyarakatnya. Salah satu produk fisik budaya sungai yang terdapat dalam masyarakat Silokek yaitu Perahu. Pada masa lalu, perahu memiliki peran yang penting dalam rona kehidupan masyarakat Silokek terutama dalam melakukan aktifitas perdagangan ke Pantai Timur Sumatera. Terdapat dua jenis perahu, yaitu perahu barang dan perahu orang. Perahu barang memiliki kapasitas muatan 7 hingga 8 ton dengan 7 orang awak kapal, dan 1 nahkoda kapal. 7 orang awak kapal ini bertugas mendayung perahu dan nahkoda kapal sebagai pengarah laju perahu. Perahu jenis ini banyak digunakan oleh masyarakat Silokek dan Minangkabau lainnya untuk mengangkat barang dagangan mereka berupa beras, emas, dan karet untuk diperdagangkan ke Pantai Timur Sumatera. Sedangkan perahu orang memiliki ukuran yang lebih kecil dengan kapasitas 8 sampai 10 orang dan berfungsi sebagai alat transportasi antar daerah.Perahumasihdigunakansebagaialattransportasi oleh masyarakatSilokekhinggaakhirtahun 1990-an. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Ir,salah seorangnahkodaperahu,perahuini dibuat menggunakan kayu Gadang, Tamadun, Banio, dan Marsawa.
Kelayakan fisik perahu merupakan tanggung jawab seluruh anggota kru, baik itu penumpang, nahkoda, dan awaknya. Jika terjadi kerusakan atau bahkan perahu hancur dihantam ombak, seluruh kru wajib memperbaikinya. Peraturan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Silokek ini memperlihatkan seberapa pentingnya perahu sebagai titik sentral ekonomi masyarakat Silokek. Tak heran, jika pada masa dahulu banyak masyarakat Silokek yang mahir membuat perahu. Namun, pengetahuan tentang keahlian pembuatan perahu yang di wariskan secara turun menurun inimulai hilangakibat berkembangnya jalur darat.Berdasarkan informasi masyarakat setempat, pengrajin perahu terakhir, yaitu Gindo Batuah, Pajang Ambuik, dan Tang Kasoh telah meninggal dunia pada tahun 1970-an.
Selain berdagang, masyarakat Silokek masa lampau juga berprofesi sebagai pendulang emas. Batang Kuantan yang kaya akan emas dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk dijadikan mata pencaharian sampingan yang menguntungkan. Kegiatan mendulang emas hingga kini masih dipertahankan oleh masyarakatnya. Akan tetapi, seiring perkembangan teknologi, emas-emas ini mulai dieksploitasi besar-besar menggunakan mesin. Kondisi seperti ini dapat berdampak pada keberadaan emas di Batang Kuantan. Selain itu, bahan bakar yang digunakan pada mesin dapat mencemari aliran sungai sehingga membuat air sungai menjadi keruh dan terdapatnya lubang-lubang bekas penggalian. Pendulangan emas menggunakan mesin juga dapat menghilangkan budaya mendulang emas secara tradisional dalam masyarakat Silokek. Padahal, budaya ini dapat menjadi aset wisata yang dapat dikembangkan menjadi salah satu event budaya yang ada di Silokek.
Batang Kuantan Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, E.B. Kielstra (1917) disebutkan bahwaBatang Kuantan beserta daerah yang terdapat disepanjang alirannta termasuk dalam daerah administrasi Kwantandistricten dimana mayoritas penduduknya bersuku Minangkabau. Pada masa ini, peranan sungai sebagai jalur transportasi ini terus berlanjut hingga masa Kolonial Belanda. Salah seorang insinyur hebat Belanda, Willem Hendrik de Greeve, melakukan ekpedisi besar-besaran pencarian batu bara ke pedalaman Sumatera Barat dengan menyusuri aliran Batang Kuantan. Di sungai ini jugalah, penemu batu bara Ombilin ini tewas tenggelam setelah perahu yang ia naiki terbalik akibat arus sungai yang deras di Nagari Doerian Gadang. Meskipun ekspedisi ini harus terhenti di tengah jalan, namun sumbangan pengetahuan yang diberikan sangatlah besar. Adanya ekspedisi ini juga meningkatkan eksistensi Batang Kuatan sebagai salah satu sungai besar yang ada di Pulau Sumatera yang ramai.
Pada masa Belanda ini juga, Batang Kuantan kembali dimanfaatkan sebagai jalur utama untuk membawa komiditi-komoditi dagang dari pedalaman Sumatera, khususnya Minangkabau. E.B. Kielstra (1917) menyebutkan jika Masyarakat sepanjang Sungai Kuantan bergantung hidup pada dunia perdagangan. Dalam surat kabar Belanda, Het Vadeland edisi 10 April 1908, disebutkan bahwa Batang Kuantan digunakan sebagai jalur transportasi utama untuk membawa batu bara Ombilin menuju Pantai Timur Sumatera. Hal serupa juga disebutkan dalam surat kabar Sumatra Bode edisi 3 Maret 1928 yang menyebutkan jika barang-barang impor dibawa memasuki kawasan pedalaman Minangkabau melalui jalur air Batang Kuantan. Dalam surat kabar ini pula disebutkan jika ratusan orang pedagang Minangkabau menggunakan jalur Sungai untuk membawa barang dagangannya berupa beras dan karet menuju Teluk Kuantan,daerah peisisir yang termasuk dalam perdagangan Pantai Timur Sumatera.
Batang Kuantan Masa Pendudukan Jepang
Tidak banyak sumber mengenai Batang Kuantan pada masa pendudukan Jepang. Namun, pada masa ini fungsi Batang Kuantan sebagai alat transportasi sudah mulai berkurang tergantikan oleh berkembangnya jalur transportasi darat baik berupa jalan raya untuk kendaraan roda empat ataupun jalur kereta api. Kisah Batang Kuantan pada masa kedudukan Jepang yang terkenal yaitu Tragedi Ngalau Cigak. Sejarah kelam tentang pembantaian pekerja romusha Jepang ini tak akan terlupakan oleh masyarakat Silokek.
Pada masa itu, para romusha didatangkan dari berbagai daerah ke pedalaman Sumatera Barat untuk membangun rel kereta api sepanjang 220 km dari Muaro Sijunjung hingga ke Kuantan Singingi, Riau. Para pekerja paksa ini banyak yang meninggal dunia akibat kelelahan dan penyiksaan yang tiada henti. Dilansir dari surat kabar Leeuwarder Courant disebutkan jika para romusha tersebut dipukuli serta banyak dari mereka yang terjangkit penyakit mematikan seperti malaria dan disentri tanpa ada yang mengobati. Pada saat romusha sedang bekerja memecahkan tebing di Ngalau Cigak pada malam hari, Jepang dengan teganya meledakan dinamit yang menyebabkan tebing runtuh hingga menimpa ratusan pekerja dibawahnya. Tragedi ini kemudian dikenal dengan death railway atau dalam masyarakat Silokek disebut dengan Tragedi Ngalau Cigak. Mayat-mayat para korban ini tidak dikuburkan oleh pemerintah Jepang, namun dihanyutkan di Batang Kuantan.Akibatnya, sungaiini pun beralihfungsidarijalurtransportasiperdaganganmenjaditempatpembuanganmayatromusha.
Berbagai kisah sejarah yang telah disebutkan sebelumnya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi aset wisata menarik yang dapat menjadi daya tarik bagi Geopark Nasional Silokek. Berbagai event seperti pembuatan paket wisata sejarah napak tilas, susur sungai, pemberian papan informasi, dan lainnya dapat dilakukan untuk mendukung kegiatan pariwisata. Salah satunya yaitu kegiatan napak tilas rekam jejak sejarah dari ekspedisi yang dilakukan de Greve di Batang Kuantan ketika mencari lokasi batubara di Batang Kuantan. Kegiatan ini dapat dijadikan paket wisata sekaligus bagian dari strategi untuk memperkenalkan Geopark Siolek ke masyarakat yang lebih luas.
Kegiatan lainnya dapat berupa kegiatan menyusuri sungai Batang Kuantan menggunakan perahu tradisional masyarakat Silokek. Perahu dagang masyarakat Silokek yang telah punah ini dapat dibangkitkan kembali menjadi salah satu wisata air yang ada di kawasan tersebut.Wisata ini juga dapat memberikan pengalaman bagi wisatawan untuk dapat merasakan bagaimana masyarakat Silokek pada masa lalu bepergian menggunakan perahu tersebut.Adanya berbagai paket wisata ini dapat menjadi sarana edukasi maupun transfer pengetahuan bagi para wisatawan yang berkunjung ke Geopark Nasional, Geopark Ranah Minang Silokek. Selain itu, hal ini juga dapat mendorong perkembangan ekonomi lokal serta mendukung pelestarian sejarah dan budaya masyarakat.