OLEH Ka’bati, Direktur Ruang Kerja Budaya (RKB)
Minangkabau adalah wilayah kultural yang berpusat di Sumatera Barat. Sebagai sebuah teritorial budaya jangkauan kekuasaannya tentu saja tidak bisa dibatasi dengan mengacu pada territorial administratif yang meliputi 19 kabupaten kota dan dihuni oleh 5,5 juta penduduk di atas luas wilayah yang luasnya sekitar 4.229.730 hektare.
Pembatasan wilayahnya juga tidak bisa mengacu pada batasan administratif yang dibuat pemerintah dimana sebelah Utara berbatas dengan Sumut, Selatan berbatas dengan Bengkulu, Timur dengan Riau dan Jambi serta Barat dengan Samudra Hindia.
Merujuk pada buku The history of Sumatra yang ditulis oleh William Masden pada tahun 1784, daulat kerajaan minangkabau itu bahkan sampai ke daerah Malaysia, Filipina, Brunai dan Thailand. Pengaruh kekuasaan yang hari ini dibahasakan sebagai wilayah kultural itu terbangun atas dasar hubungan sapiah balahan (merujuk pada garis keturunan matrilineal/suku ibu), kuduang karatan (garis keturunan dari laki-laki), kapak radai serta tibang pacahan (orang-orang kepercayaan, orang dekat atau yang dihormati).
Sebagaimana berkembangnya Sumatera Barat sebagai sebuah daerah administratif di bawah pemerintah Republik Indonesia, wilayah kultural minangkabau sampai hari ini juga terus berkembang bahkan melintasi sampai keluar teritorial yang dibuat oleh pemerintah secara formal. Pernikahan dan tradisi merantau salah satu penggerak utamanya.
Dalam tambo, batasan-batasan wilayah kultural Minangkabau dijelaskan dalam pemaknaan yang sering kali terkesan absurd bagi sebagian orang.
Dari Sikilang Aia Bangih
Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi
Dari Sirangkak nan Badangkang
Hinggo Buayo Putiah Daguak
Sampai ka Pintu Rajo Hilia
Sipisau-pisau Hanyuik
Hinggo Aia Babaliak Mudiak
Sampai ka ombak nan badabua
Jika territorial yang disebutkan tambo itu ditelusuri secara geografis, sebagiannya bisa bertemu tetapi sebagiannya bisa hanya bertemu dalam wilayah makna konotatif saja.
Membicarakan wilayah kultural ini menjadi menarik ketika membahas fenomena politik khususnya politik elektoral di Sumatera Barat dan kaitannya secara nasional. Kenapa orang-orang di Sumatera Barat yang secara nasional, baik dari sisi jumlah pemilih maupun sumbangan ekonomi maupun politiknya pada pembangunan nasional rendah menjadi kelompok etnis yang signifikan? Paling heboh? Salah satu jawabannya adalah karena kekuatan kulturalnya yang terus dijaga dan (terus) dikalkulasikan sebagai kekuatan politik.
Di dalam laku budaya masyarakat minangkabau sesungguhnya tak ada yang mutlak benar-salah atau menang-kalah. Selalu ada ruang negosiasi yang bisa diperebutkan, akan selalu juga ada pembenaran-pembenaran atas berbagai kenyataan. Contohnya saja pada kasus membangun hubungan kekerabatan.
Berbeda dengan Yahudi, misalnya, yang sepengetahuan saya sangat menjaga kemurnian darah Yahudinya berdasarkat talian darah (matrilineal), untuk menjadi bagian dari Minangkabau malah bisa dilakukan dengan berbagai cara. Keterbukaan ini bisa dibaca melalui adagium-adagium adatnya, misalkan dunsanak batali darah, dunsanak batali ameh dan dunsanak batali budi.
Jadi tidak benar kalau ada yang beranggapan orang minang itu masyarakat yang tertutup. Nyatanya banyak sekali celah untuk masuk dan menjadi bagian dari minangkabau sepanjang cerdik membaca rambu-rambu atau dalam pendekatan sosiologi dikenal dengan istilah skemata-skemata sosial yang ada.
Minangkabau hanyalah satu dari sekian banyak teritorial budaya atau wilayah kulturan yang ada di Indonesia. Ada Bugis di Sulawesi, Ada Melayu di Riau, ada Jawa, Sunda dan sebagainya. Jadi berbicara tentang keminangkabauan sebenarnya bukan dalam rangka ‘mangapik daun kunyik’ atau menceritakan kehebatan masa lalu atau lebih sempit memperpolitikkan identitas budaya (politik identitas), tetapi sesungguhnya ini adalah jalan masuk untuk membangun rasa nasionalisme (kebangsaan) yang belum juga kunjung selesai di negara tercinta kita ini karena kegagalan kita memilih dan menyatukan visi kebangsaan di bawah satu pimpinan republik bernama presiden. Kita yang saya maksud di sini adalah partai politik dengan perangkat (struktur sosial) yang mendukungnya, termasuk elit-elit politik dari pusat sampai daerah.
Pemimpin
Bagi orang di Minangkabau, konsep pemimpin itu sederhana tetapi tidak bisa disederhanakan.
Didahuluan sa langkah, di tinggian sa rantiang. Kok gadang jan malendoh, kok panjang jan malindih, kok cadiak jan manjua.
Bagaimana agar seorang pemimpin tidak sampai malendoh (melanggar), malindih (menindih/menggiling) dan manjua (menjual)? Syarat utamanya, dia harus lulus mata pelajaran membaca. Membaca jelas bukan sekedar kemampuan mengenal alphabet atau melafaskan bunyi dengan perantara simbol-simbol yang dikenal sebagai huruf. Lebih dalam dari itu, membaca adalah proses mencari makna melalui teks (lisan dan tulisan).
Tujuan membaca untuk menangkap, memahami dan mampu menceritakannya kembali 'sesuatu yang dibaca', sehingga terjadi transfer pengetahuan yang bisa mengubah keadaan dari yang buruk menjadi baik, dari yang tidak tahu menjadi tahu dari gelap menjadi terang. Pada pemaknaan inilah pemimpin yang sesungguhnya perlu dihadirkan. Pemimpin yang mampu membaca keadaan, mampu menangkap gejolak dan persoalan di jantung masyarakat, jamaah ataupun rakyat yang dipimpinnya.
Pandai membaca harus dimulai dari pandai mengamati dan mendeskripsikan pengamatan. Juga pandai bertanya, pandai mengkonfirmasi dan terakhir punya referensi.
Jadi pemimpin bukan hanya sekadar takah, tokoh atau tagek yang semuanya bisa dipoles melalui pencitraan tetapi yang sangat-sangat penting adalah mampu ‘membaca’ persoalan di wilayah kulturan bangsa ini lalu melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Tau di dahan nan ka maimpok
Alun rabah lah ka ujuang
Alun di bali lah bajua
Alun dimakan lah taraso
Tahu di kieh kato bayang.
Pemimpin itu harus ada tetapi bukan segala-galanya karena setiap orang bisa saja menjadi pemimpin. Sama seperti kehadiran imam pada waktu solat., jika imam yang telah ditetapkan tidak jadi datang, siapa saja bisa jadi imam pengganti, yang penting bisa membaca. Pada kemampuan dan kepasihan membaca inilah semuanya diletakkan.
Persoalannya memang, tidak semua orang pandai membaca. Melafaskan mungkin bisa, tetapi membaca jelas tidak sekedar melafaskan bacaan. Karenanya, lebih baik solat sendiri-sendiri saja daripada solat berjamaah dengan imam yang tak pandai membaca bacaan solat. Kalau membaca sekadar melafaz, anak kecil lima tahun saja sekarang sudah sangat lancar bacaan ayatnya. Bahkan banyak yang hafal 30 juz. Tapi apakah akan berimam kita kepada anak yang belum balig dan berakal?
Begitulah pemimpin yang sebenar pemimpin. Siapakah dia?