Padang, sumbarsatu.com--Rabu sore (17/08/2022) terjadi kericuhan saat Satpol PP Padang melakukan penertiban terhadap pedagang kreatif lapangan (PKL) di Pantai Purus, Padang. Melalui akun Instagram resminya @satpolpppadang, mengatakan kericuhan dipicu karena pedagang menolak diterbitkan. Satpol PP Padang juga mengklaim bahwa seorang pedagang membawa senjata tajam.
Berdasarkan rilis Satpol PP, kombinasi dua hal tersebut kemudian berujung pada pelemparan yang dilakukan oleh PKL terhadap personil Satpol PP. Akibatnya, menurut rilis tersebut, 5 orang personil terluka, dan mobil mengalami kerusakan. Namun pengunjung dan pedagang Pantai Purus punya versi berbeda.
Menurut Lindung, salah satu pedagang, ia dikeroyok oleh 15-16 anggota Satpol PP Padang. Sore itu dirinya yang baru menggelar dagangan melihat sejumlah petugas cekcok dengan mamaknya (pamannya) yang juga berdagang di Pantai Purus. Lindung melihat beberapa petugas mengejar mamaknya sampai ke rumahnya di seberang jalan.
“Saya baru buka kedai Rabu sore. Saya melihat ada yang cekcok, Satpol PP saya lihat mau masuk ke rumah mamak saya,” kata Lindung.
Lindung kemudian berlari ke arah kericuhan. Namun ia langsung dikeroyok.
“Saya langsung dikeroyok, 15 sampai 16 petugas. Mungkin karena dianggap menyerang, padahal saya tidak bermaksud menyerang,” kata Lindung.
Pengunjung bernama Sarah kemudian kebetulan lewat di Pantai Purus pada momen tersebut. Ia menceritakan saat itu dirinya mencoba merekam kejadian tersebut.
“Karena jalan macet, saya turun. Saya lihat ada cekcok, saya rekam, lalu ditanya oleh petugas perempuan Satpol PP Padang/ “Kenapa merekam?” katanya.
Sarah mengatakan dirinya berhak merekam kejadian tersebut. Namun ia dihalangi, petugas juga mencoba mengambil HP-nya.
“Saya kemudian dihadang petugas. Ada yang coba mengambil paksa HP saya. Saya lalu dicekik. Tangan saya dipegang. Sekitar 15 petugas. Saya kesulitan bernapas,” lanjutnya.
Ia mengaku baru bisa terlepas saat ditolong beberapa warga.
“Saya berteriak minta tolong. Saya kemudian ditolong beberapa warga,” katanya.
Regia, seorang siswa perempuan kelas 3 SMA, anak salah satu pedagang, ikut menolong Sarah. Namun ia juga mengaku dipukuli petugas.
“Anak saya mencoba menolong Sarah, tapi dia dipukuli petugas. Anak saya disiksa,” kata Rika orangtua Regi.
Selain dipukuli, Regi juga mendapat kekerasan verbal.
“Anak saya dikatakan poyok (pelacur). Ada yang berkata “Kau manggaleh di siko sambia mamoyok (kamu berjualan di sini sambil melacur),” aku Rika.
Menurut ketiga korban inilah yang memicu saling lempar antara petugas dan massa. Karena melihat dua perempuan yang mendapat kekerasan ini, massa yang terdiri dari warga dan pengunjung yang kebetulan ada di sana menjadi terprovokasi. Kericuhan pun pecah, terjadi saling pukul dan saling lempar batu.
Hal tersebut diungkapkan Lindung, Sarah, dan Rika orangtua Regia, saat melaporkan dugaan tindakan penganiayaan yang dilakukan personil Satpol PP Padang pada dirinya ke KomnasHAM Sumbar, Kamis (18/08/22). Ketiga korban datang didampingi LBH Padang.
Dugaan Pelanggaran HAM
Subkorbid Penegakan Fungsi Komnasham Perwakilan Sumbar, Firdaus, yang menerima laporan mengatakan pihaknya akan laporan tersebut. Ia melihat adanya dugaan pelanggaran HAM terhadap pedagang dan pengunjung oleh aparat Satpol PP Padang.
“Diduga ada tindak penyiksaan di sini,” jelas Firdaus pada sumbarsatu yang hadir pada kesempatan tersebut bersama wartawan lainnya.
Ia menambahkan, di samping dugaan penyiksaan juga ada pelanggaran terhadap hak warga untuk mencari kesejarahteraan.
“Pedagang ini nasibnya tidak jelas, ketidakjelasan semacam ini melanggar hak atas kesejahteraan,” lanjutnya.
Karena itu pihaknya bakal mengkomunikasikan kasus ini dengan Wali Kota Padang.
“Apa tindakan yang akan diambil oleh Pemerintah Kota. Kenapa ada tindakan yang brutal seperti itu,” jelasnya.
Ia juga mengatakan bahwa Kepolisian harus bertindak sesuai hukum atas kejadian tersebut.
“Ini bukan tindak pidana biasa. Ini penyiksaan karena pelakunya diduga petugas Satpol-PP, aparatur,” tutupnya.
Sebelumnya ketiga korban telah melakukan pelaporan ke Polresta Padang. Para korban mengatakan laporannya sudah diproses, mereka telah menjalani visum dan mengisi BAP.
LBH Padang: Hentikan Represif
LBH Padang yang menjadi pendamping hukum para korban mengatakan dalam konferensi pers di kantor LBH Padang di kawasan Ulak Karang (18/08/2022) bahwa Satpol PP tidak seharusnya melakukan penertiban dengan cara represif.
LBH Padang juga menilai Satpol PP Padang diduga telah melanggar sejumlah pasal seperti UUD Pasal28; Konvensi Anti Penyiksaan ( UU No 5 Tahun 1998); UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Konvensi Internasional Hak Ekosob; serta Peraturan Presiden No 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi PamongPraja.
Sambil menunjukkan sejumlah foto dan video bukti dugaan kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP Padang, Diqi mengatakan bahwa saat ini ada sejumlah korban lain dari pedagang dan warga yang sudah terdata oleh LBH Padang, namun belum melapor ke kepolisian.
Diqi Rafiki dari LBH Padang mengatakan lebih jauh bahwa penertiban seharusnya tidak menggunakan kekerasan apalagi sampai melanggar Hak Asasi Manusia.
Ia juga meminta Wali Kota Padang untuk memerintahkan Satpol PP menghentikan penertiban dengan cara-cara keras selama belum ada solusi yang jelas terkait masa depan PKL Pantai Purus.
Jika cara-cara keras tetap dilakukan, di situasi seperti saat ini menurutnya konflik berpotensi makin meruncing dan memakan korban lebih banyak.
LBH Padang telah menyurati Pemerintah Kota guna meminta hearing. Selain melaporkan pada KomnasHam Perwakilan Sumbar, LBH Padang juga akan membawa kasus ini pada Komnas Perempuan karena adanya korban perempuan yang tidak hanya menerima kekerasan fisik, namun juga kekerasan verbal
LBH Padang juga menuntut agar kepolisian bertindak objektif dalam menyelesaikan kasus ini.
Merekam Hak Publik
Di saat bersamaan, LBH Pers Padang juga menyatakan kecaman terhadap dugaan kekerasan yang dilakukan anggota Satpol PP Padang terhadap Sarah saat mencoba merekam penertiban.
Aulia Rizal, Direktur LBH Pers Padang dalam siaran pers yang diterima sumbarsatu Kamis, (18/08/2022) mengatakan anggota Satpol PP Padang telah keliru apabila memandang bahwa tindakan merekam atau mendokumentasikan seperti yang dilakukan seorang Sarah tersebut hanya dapat atau dibolehkan terhadap jurnalis semata.
“Tindakan pendokumentasian yang merupakan bagian dari hak atas informasi dalam peristiwa tersebut, sejatinya dilindungi dan dijamin oleh konstitusi, khususnya Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” jelas Aulia.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa tindakan merekam dan/atau mendokumentasikan tersebut bukanlah tindakan yang melanggar hukum, melainkan dijamin hukum oleh karenanya harus dilindungi.
“Tindakan pendokumentasian yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap aparat, pejabat atau institusi negara, atau penyelenggara negara lainnya, adalah bagian dari partisipasi warga negara dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara agar tindakannya semakin dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel),” tutupnya. SSC/RAN