Marthias Dusky Pandoe, "Gubernur" Kompas di Sumatra Barat

--

Minggu, 06/02/2022 10:37 WIB
Marthias Dusky Pandoe

Marthias Dusky Pandoe

 

KETIKA MEMBERIKAN kuliah umum di Universitas Bung Hatta di Padang awal tahun 1990, pendiri dan Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama pertama kali memberikan salam penghormatan kepa­da Gubernur Sumatra Barat Hasan Basri Durin yang juga Ketua Yayasan Pendi­dikan Bung Hatta, yang hadir dalam kesempatan itu. Setelahnya, Jacob pun mem­perkenalkan Marthias Dusky Pandoe, wartawan Kompas di Sumatra Barat.

“Kalau di pemerintahan ada Gubernur Sumatra Barat, yaitu Bapak Hasan Basri Durin, kami di Kompas juga punya Guber­nur di Sumatra Barat, yaitu Sau­dara Marthias Dusky Pandoe,” kata Jakob yang disambut tepuk tangan hadirin.

Penghormatan seperti itu bukan basa-basi, bukan dibuat-buat, dan bukan sekali itu saja. Nama Pandoe memang lengket dengan Kompas di Sumatra Barat. Dan sebagai wartawan senior, ia dihormati di lingkungan surat kabar itu. Diakui Jakob, Padoe tidak hanya bekerja untuk kepen­tingan Kompas di Sumatra Barat, tetapi dia di Kompas juga menjadi juru bicara Sumatra Barat, kampung halamannya.

Setelah secara resmi pensiun, Pandoe pun masih tetap dihormati. Untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-80, 10 Mei 2010, Penerbit Buku Kompas sengaja menerbitkan buku kumpulan tulisan Pandoe yang berjudul Jernih Melihat Cermat Mencatat. Belum pernah Kompas menebitkan buku khusus untuk memperingati ulang tahun (bekas) wartawannya, apalagi yang sudah lama pensiun.

Marthias Dusky Pandoe lahir di Lawang, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam pada 10 Mei 1930, dan meninggal di Padang 9 Mei 2014, sehari menjelang ulang tahunnya yang ke-84. Ia adalah wartawan sejati, terus membuat berita dan tulisan sendiri hingga menjelang akhir hayatnya. Pekerjaan wartawan memang tidak bisa didelegasikan. Di samping itu, dalam kamus Pandoe, profesi wartawan tidak mengenal kata pensiun.

Sebagai wartawan Marthias Dusky Pandoe adalah seorang otodidak. Sekolahnya hanya sekolah surau, dan tidak ada ijazah formal yang bisa dia panggakkan kalau harus melamar kerja. Ijazahnya adalah kemampuan jurnalistiknya. Alam takambang jadi guru.

Di Sumatra Barat sendiri, Pandoe tidak hanya dilihat sebagai wartawan. Ia juga seorang tokoh masyarakat, seorang intelektual yang selalu diminta pendapat dan pandangannya oleh setiap Gubernur yang memerintah di provinsi ini hingga menjelang akhir hayatnya. Sepanjang 28 tahun karier jurnalistiknya di Harian Kompas, membuatnya tak sekedar jadi ‘orang daerah’ tetapi ia masuk dalam inner cyrcle- nya Kompas. Pemimpin Kompas Jakob Oetama bahkan mempercayakan kepada Pandoe ketika Kompas mengembangkan sayap mendirikan koran-koran di daerah. Antara lain ia membidani lahirnya Sriwijaya Pos di Pelembang, dan koran Nusa Tenggara di Bali.

Tapi karier panjang di Grup  Kompas  itu tidak datang begitu saja kepada Pandoe. Sebagai wartawan, ia adalah wartawan tiga zaman seperti juga Rosihan Anwar. Mulanya ia bergabung dengan koran sore Keng Po. Ini adalah koran Indonesia berbahasa Tionghoa dan Melayu yang terbit di Jakarta sejak 1923. Pandoe bergabung dengan Keng Po pada 1953. Tapi koran yang banyak menyuarakan suara kaum sosialis dari Partai PSI itu tidak sejalan dengan politik Bung Karno, sehingga akhirnya kena bredel.

Setelah Keng Po wafat, ia pun hijrah ke Harian Pemandangan besutan Mr. Soemanang. Tapi tidak lama, karena kemudian Pandoe tertarik pula bergabung dengan Harian Abadi pimpinan Suardi Tasrif. Salah satu faktor pendorongnya, karena koran itu didirikan oleh Mohammad Natsir, pendiri dan pimpinan Partai Masjumi yang oleh Pandoe telah dianggap bapak angkatnya sendiri. Pilihannya bergabung dengan koran tersebut sekaligus menunjukkan aliran politiknya.

Karena jelas terafiliasi dengan Partai Masjumi, maka ketika terjadi Pergolakan daerah PRRI, dan Mohammad Natsir ikut mendu­kungnya, Harian Abadi pun kena dampaknya: dilarang terbit. Bukan hanya itu, Partai Masjumi, pemenang kedua Pemilu 1955, juga diberangus dan tidak pernah lagi diizinkan hidup kembali sekali pun Orde Lama sudah tumbang.

Tidak lama setelah PRRI usai, awal tahun 1960-an, dan Sumatra Barat menerima dampaknya, Pandoe dipanggil Mr. Mohammad Yamin. Dia disuruh menghadap Chairul Saleh dan Hasyim Ning, minta dukungan untuk menerbitkan koran di Padang. Misinya adalah membangkitkan lagi semangat rakyat Minangkabau yang ‘muno’ akibat trauma kalah PRRI.

Pulang ke Padang, bulan Maret 1963 Pandoe bersama Saifullah Alimin dan Darmalis pun menerbitkan surat kabar Harian Aman Makmur. Pandoe menjadi Pemimpin Redaksi, Saifullah Alimin Pemimpin Umum, sedangkan Darmalis menjadi Pemimpin Perusahaan. Untuk memperkuat timnya, Pandoe lalu merekrut wartawan-wartawan muda seperti Zuiyen Rais, Radjalis Kamil, Marwan Zein, Pasni Sata, dan lain-lain.

Kehadiran Aman Makmur mendapat sambutan luas masyarakat Sumatra Barat. Selain berita-berita yang jelas memihak kepada masya­rakat dan pembangunan Sumatra Barat, Aman Makmur juga menya­jikan tulisan bermutu dari wartawan dan penulis kawakan, termasuk wartawan senior H. Rosihan Anwar, bekas Pemimpin Redaksi Harian Pedoman yang korannya sudah dibredel pemerintah Soekarno.

Rosihan Anwar menulis secara tetap khusus tentang adat dan budaya Minangkabau yang dikaitkan dengan masalah-masalah pembangunan dan modernisasi. Karena posisi politiknya, nama Rosihan Anwar tidak bisa dimunculkan di Aman Makmur. Rosihan menulis menggunakan nama Muttaqa’id (artinya orang yang sedang berdiam diri).

Tapi tidak demikian dengan penguasa yang waktu itu semakin dipengaruhi PKI. Lebih-lebih di Sumatra Barat, setelah PRRI kalah, PKI makin kuat pengaruhnya. Bahkan kantor redaksi Aman Makmur berkali-kali didemo orang-orang PKI.

Perjalanan karier sebagai pemimpin redaksi Aman Makmur harus berakhir sekali lagi seperti ketika Pandoe berada di Keng Po dan Abadi. Koran yang berusaha membendung pengaruh PKI itu dianggap musuh. Maka bersama sejumlah koran BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme) yang mengusung moto Penegak Pers Pancasila, Aman Makmur pun dibredel. Ketika itu Menteri Penerangan dijabat oleh  Achmadi.

Berbagai cara ditempuh Pandoe dan kawan-kawan agar Aman Makmur  dapat terbit kembali. Tapi baru setelah Orde Baru bisa terbit lagi. Akan tetapi koran itu tidak cukup sehat sehingga pada 1971 ditutup saja oleh Pandoe setelah memberi pesangon kepada para redaktur, wartawan dan karyawan. Beberapa inventaris kantor diwakafkan ke RSI Ibnu Sina Bukittinggi.

Tapi Pandoe masih tetap mau jadi wartawan. Seorang kenalannya, P.K Ojong yang lahir di Payakumbuh, adalah pendiri Kompas. Dia lalu menghubungi Ojong, dan menawarkan diri menjadi wartawan Kompas. Gayung bersambut, P.K Ojong lewat Jakob Oetama menerima Marthias Dusky Pandoe sebagai wartawan Kompas untuk Sumatra Barat. Sejak itu hingga 1998 ia menjadi bagian dari nama besar Kompas di daerah ini.

Ketika meluncurkan buku Jernih Melihat Cermat Mencatat  sebagai kado ulang Pandoe yang ke-80, Kompas menulis tentang Pandoe. Disebutkan bahwa Pandoe itu diidentikkan sebagai representasi Sumatra Barat di Harian Kompas. Sebaliknya berkat Marthias, Sumatra Barat lebih dikenal lagi di tataran nasional. Sedangkan  di Sumatra Barat ia juga diidentikkan dengan Harian Kompas.

Dari acara peluncuran buku Jernih Melihat Cermat Mencatat  itu saja dapat dilihat betapa Pandoe memiliki hubungan yang luas dengan para wartawan senior nasional. Ketika itu hadir tokoh-tokoh pers Indonesia diantaranya Jakob Oetama, Rosihan Anwar, Djafar Assegaff, Basril Djabar, Rikard Bagun, Julius Pour, dan Abrar Yusra. Juga hadir sejumlah tokoh nasional asal Sumatra Barat seperti  Irman Gusman, mantan menteri Fahmi Idris, mantan gubernur Hasan Basri Durin, sejarawan Taufik Abdullah, dan sejumlah tokoh lainnya.

Pemimpin Kompas Jakob Oetama mengatakan, walau Marthias tidak memiliki ijazah, namun ia tak kalah dari wartawan lulusan perguruan tinggi. Kenapa demikian? “Karena Marthias terus belajar. Otodidak. Pekerja keras, gemar membaca dan membangun jaringan yang luas,” kata pendiri dan Pemimpin Umum Kompas itu.

Marthias meninggal dunia di Padang pada tanggal 9 Mei 2014 dalam usia 84 tahun akibat penyakit stroke yang dideritanya. Ia meninggalkan seorang istri, Zuraida, serta tujuh orang anak. Ketika usianya mencapai 70 tahun, Pandoe meluncurkan buku otobiografi yang ditulisnya sendiri, berjudul A Nan Takana (Apa Yang Teringat), ditulis dengan kiat yang menarik. Dua tahun setelah ia meninggal, anak-anaknya mengumpulkan lagi sejumlah artikel yang ia tulisan menjelang kematiannya, lalu diterbitkan dengan judul: Menanti Maut. (Eko Yanche Edrie)

 

Dikutip dari buku “121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong” yang diterbitkan Panitia Pelaksana Daerah Hari Pers Nasional 2018, Biro Humas Setda Provinsi Sumatra Barat Cetakan I, Februari 2018

BACA: Buku Menanti Maut Karya Marthias Dusky Pandoe Akan Diluncurkan pada 9 Mei

 

 

 



BACA JUGA