OLEH Wiztian Yutri (Wartawan Senior)
Hadir di tengah-tengah saudara-saudara kita, korban bencana gempa bumi, selain menyedihkan, memprihatinkan, kadang-kadang juga merisaukan. Persoalannya karena yang ada dalam pikiran mereka, bukan hanya rumah yang hancur kapan dibangun lagi, kondisi ekonomi yang kian sulit, ataupun sekolah dan rumah ibadah yang runtuh, siapa pula yang akan menegakkan kembali? Bukan hanya itu yang bergelayut namun ada sebuah pertanyaan yang senantiasa bergerak pada setiap denyut dan langkah: “Bara lamo lai gampo ko, Pak?”
Pertanyaan di atas, terdengar dari seorang tokoh masyarakat di Kenagarian Situjuah Tungka, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota. Ketika itu, bersama rombongan Padang Ekspres Group, kami mengantarkan bantuan kemanusiaan yang berasal dari para donatur ke Kabupaten Limapuluh Kota tersebut.
Kami sampai sudah tengah malam karena sebelumnya harus ke Kabupaten Padangpariaman dulu untuk misi yang sama. Secara kebetulan di Nagari Situjuh Tungka sedang ada acara rapat kenagarian lengkap. Hadir sejumlah tokoh dan pemuka masyarakat. Rapat nagari tersebut dipimpin Wali Nagari K Datuak Majolelo guna membicarakan bencana alam gempa serta langkah-langkah untuk membangun kembali sejumlah bangunan milik masyarakat dan rumah ibadah yang rusak.
Mengapa saya memakai istilah “merisaukan”? Jawabannya karena kami langsung dihadirkan mengikuti rapat nagari sehingga kami pun mendengar secara jelas dan gamblang: apa sebetulnya yang jadi pusat pembicaraan serta langkah-langkah apa yang disatuvisikan oleh masyarakat setempat sebagai solusi dari persoalan yang ada?
Tak nyana, di sela-sela acara tersebut, tiba-tiba, bagai disambar geledek, sebuah pertanyaan muncul dalam rapat itu, dan langsung mengarah kepada kami:
“Bapak-bapak sebagai urang media, tantulah tahu bara lamo gampo ko lai?”
Terus terang, kami tak menyangka munculnya pertanyaan seperti itu. Sebab, di media cetak dan televisi, sudah banyak dibahas, bahkan di SCTV dan ANTV Gubernur Gamawan Fauzi sendiri sudah menjelaskan bagaimana kondisi alam Sumbar yang berada di daerah Patahan Semangko dan rawan terhadap goncangan gempa.
Walaupun sejumlah analisis ahli geologi dan kegempaan telah tersebar luas, seperti apa gempa bumi yang menghantam Sumbar dengan kekuatan 5,8 skala richter (SR) beberapa hari lalu, tidak hanya mengguncang Sumbar, juga provinsi tetangga seperti Riau, dan malah sampai ke Malaysia.
Sekali lagi karena pertanyaan kepada kami sebagai orang media, maka kondisi mendasar yang bisa kita “tangkap” di sini, ternyata masyarakat masih trauma. Masyarakat dipelosok negeri kita masih diliputi perasaaan was-was dan ketakutan akan datangnya guncangan gempa berikutnya.
Traumatis! Lantas pertanyaan berikutnya, mengapa pemerintah atau setidak-tidaknya para peduli korban gempa, tidak berusaha untuk “merasakan” perasaan masyarakat yang sedang terbelenggu ini? Bukankah ini juga sebuah “bencana” dalam konteks ketakutan massal?
Saya melihat, penyuluhan lapangan, menjadi salah satu alternatif untuk “mengobati” dan “menguatkan” hati rakyat. Datanglah jugalah ke lokasi-lokasi gempa dengan bahasa-bahasa yang memberi kekuatan mental, selain juga membawa pesan-pesan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) yang bersifat teknis dan mengingatkan— jangan bangun rumah di jalur-jalur patahan semangko—misalnya, sehingga masyarakat bisa mafhum, waspada. Di samping itu juga diperlukan kehadiran pesan-pesan spritual: Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.. (Ali-Imran (3):189). (*)