Rabu, 10/03/2021 21:31 WIB

Sekali Merdeka, Merdeka Sekali

OLEH Wiztian Yoetri (Wartawan Senior)

Ketika berdialog dengan jajaran redaksi Padang Ekspres Group (Padang Ekspres, PosmetroPadang, dan Padang Televisi) Menteri Komunikasi dan Informatika Syofyan Djalil di Padang, banyak menampilkan joke (lelucon). Salah satu lelucon itu, ialah seperti judul di atas, bahwa ada kesan pers kita, begitu menghirup udara ke­bebasan menjadi kebablasan: Sekali Merdeka, Merdeka Sekali?

Agaknya pernyataan sang menteri tersebut, menarik untuk dicermati. Paling tidak sebagai sinyal pada sebuah kegelisahan, bahwa kecenderungan pers untuk merdeka sekali mulai ”dirasakan” pemerintah. Apa iya, dan faktanya?

Pertanyaan tersebut perlu kita ketengahkan agar ada fakta pendukung sehingga tidak sampai terjadi penyamarataan. Artinya, satu dua pemberitaan yang kebablasan, lantas semua media disamaratakan sehingga pers di negeri ini dieksekusi bahwa inilah dampak krusial dari kebebasan pers.

Kendati demikian, mudah-mudahan saja apa yang disinyalir Menteri Syofyan Djalil, sebuah sindirian kepada pers Indonesia. Supaya tanpa henti bekerja keras meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan profesional. Mengingat kebebasan pers itu sesungguhnya bukan untuk orang pers namun untuk masyarakat demi kelangsungan kehidupan yang bebas pada suatu masyarakat demokratis.

Ada kekeliruan dalam pemberitaan, tak bisa dilepaskan dari berbagai keterbatasan. Bukan berarti itu pertanda pers bebas sekehendaknya. Ada koridor hak jawab, hak koreksi untuk publik atau pihak-pihak yang merasa dirugikan. Kecuali informasi atau berita yang sengaja dirancang untuk menfitnah, memeras atau merugikan subjek berita. Ini bukan karya jurnalistik melainkan tindak kejahatan.

Dalam terminologi pers, pemberitaan semacam itu dapat dikategorikan sebagai ”kabar yang sejak awal penulisan dan pemuatan sudah diketahui bohong”. Ini termasuk pelanggaran kode etik paling berat. Karena bukan hasil kegiatan jurnalistik—artinya tidak didasarkan atas KEJ— karenanya berada di luar UU Pers. Maka pertanggungjawabannya berlaku ketentuan perundang-undangan lain.

Lantas, bagaiamana agar tidak terjebak dalam perangkap ”sekali merdeka, merdeka sekali?” Kembali ke standar jurnalistik. Berita berangkat dari fakta, ada narasumber layak dipercaya dan jelas dimana terjadi peristiwa. Sebuah berita dikemas dengan 5W+1H, memikat untuk dibaca dan merangsang untuk orang membeli. Berita atau informasi itu mencerdaskan dan mencerahkan. Bukan mencerdaskan tapi membodohi. Kita berharap, joke Menkominfo hanya sekadar sindirian, terhadap pers yang belum mengindahkan kode etik jurnalistik dan Undang Undang Pers dalam praktik jurnalistik. Bahwa kebebasan pers bukan bebas sekehendak hati berbuat apa saja. Namun tetap dalam kerangka yang beretika dan bersandarkan hukum pers. Karena keduanya merupakan satu tarikan napas, maka produk yang lahir harus mencerminkan pers yang profesional.

Akhirnya karena wartawan adalah pekerjaan mulia dan terhormat, maka tidak ada alasan menyebutnya sebagai profesi ”pelarian”, ”jalan pintas” ataupun ”pekerjaan antara”. Maka dalam melakoni pekerjaan ini, jadikanlah sebagai medan pengabdian, sebuah panggilan yang menyatu dengan entitas diri, menjadi ibadah.

Dengan demikian dalam melaksanakan tugas sehari-hari tidak dianggap sebagai beban: “Sekali Merdeka, Merdeka Sekali” menjadi sebuah tantangan bagi insan pers di negeri ini untuk meningkatkan profesionalisme serta kepatuhan terhadap etika jurnalistik. (*)

 

BACA JUGA