
merupakan seniman kedua yang mempresentasikan hasil “residensi daring”nya dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3
Solok, sumbarsatu.com—Memasuki hari kedua, Selasa (15/9/2020) Festival Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3 yang digelar Komunitas Gubuak Kopi menghadirkan Avant Garde Dewa Gugat a.k.a AGDG atau yang biasa disapa Dewa. AGDG merupakan seniman kedua yang mempresentasikan hasil “residensi daring”nya dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3.
Festival Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3 sebuah perayaan dari studi pelestarian nilai-nilai tradisi melalui proyek seni berbasis media, yang digagas Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2017.
Tahun ini, Komunitas Gubuak Kopi mengangkat tema kuratorial “Merayakan Silaturahmi di Normal Baru”. Kuratorial ini berupaya mengkritisi nilai-nilai dari tradisi silaturahmi masyarakat Minangkabau dan kemungkinan respons pada masa “Normal Baru” ini.
Para seniman yang terlibat melakukan residensi daring dan residensi di rumah sendiri, melakukan riset sederhana terkait tema, percobaan-percobaan pada platform media sosial, dan diskusi intens secara daring, sejak 5 September 2020 lalu.
AGDG melakukan pertunjukan di sebuah studio yang disiarkan melalui platform “Live Instagram”, pada Selasa 15 September 2020, pukul 20.00. Pada pertunjukan ini AGDG atay Dewa menerjemahkan tema kuratorial dengan menyajikan penafsirannya dari gangguan-gangguan bunyi yang ia alami selama masa pandemi, baik itu dalam ruang daing ataupun luring.
Gangguan yang terjadi menghasilkan beberapa bunyi-bunyi yang kini menjadi familiar, seperti distorsi suara karena masker, karena gangguan sinyal, kualitas perangkat komunikasi, dan lainnya.
Gangguan ini ia respons kembali dengan perangkat sound yang biasa ia mainkan sejak empat tahun terakhir, yakni perangkat pedal box, software FL Studio, dan sebuah masker khusus dengan penangkap suara. Pertunjukan ini ia beri tajuk “Gara-gara Icor”, dengan durasi sekitar 15 menit.
“Dalam karya ini saya bercerita tetang pengalaman menggunakan masker dalam keseharian dan bunyi-bunyi gangguan teknologi komunikasi yang sering terdengar di era normal baru ini. Saya tak merespons dengan perangkat teknologi komunikasi itu secara langsung tetapi mengumpulkan bunyi-bunyi itu yang selanjutnya diolah dengan praktik seni bunyi yang biasa saya geluti,” kata Avant Garde Dewa Gugat.
Untuk pertunjukan ini, Avant Garde Dewa Gugat menyiapkan masker khusus yang sudah dilengkapi mik dan beberapa rekaman lapangan dan data audio untuk dengan interpretasi sudut pandang terhadap bunyi-bunyi di normal baru ini.
Dewa lahir di Bukittinggi, 1997, aktif bermusik di sejumlah kelompok seni seperti Komunitas Hitam Putih dan Diafora. Saat ini ia aktif memproduksi karya musik eksperimental bersama kelompok Pro Kontra.
Sebagai komposer, karya-karyanya telah dipresentasikan di sejumlah iven seperti Pekan Komponis di Jakarta 2018, Performer Pentas Kolaborasi Indonesia - Jepang - Thailand, di Padang Panjang & Sungai Landia (2019), Asia Butoh Tree Camp, Bersama Asia Butoh Tree, Chiang Mai, Thailand 2020, dan baru-baru ini karyanya dirilis di Album Kompilasi, Noise a Noise 19.3, Iran 2019.
Saat ini sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Seni Karawitan, Institut Seni Indonesia Padang Panjang.
Selain Dewa, LLD #3 ini melibat 5 orang seniman muda lainnya dari berbagai kota, antara lain: Theo Nugraha, seniman sound dan seni perfromans asal Samarinda; Taufiqurrahman, yang biasa disapa Kifu, desainer dan seniman visual asal Palu; Siska Aprisia, penari, koregrafer, dan pegiat budaya asal Pariaman dan kini berdomisili di Yogyakarta; Robby Ocktavian, pegiat budaya dan seniman performans asal Samarinda; dan Utara Irenza, penari dan aktor asal Agam. LLD #3 dikuratori oleh Albert Rahman Putra, pendiri Komunitas Gubuak Kopi. SSC/Rel