Tenggara Festival 2025: Perayaan Siasat dan Imajinasi dari Kota Solok

“TIDAK KAYU, TANGGA DIKEPING!”

Jum'at, 01/08/2025 06:20 WIB

Solok, sumbarsatu.com – Tenggara Festival kembali hadir tahun ini dengan semangat yang tetap menyala: membangun ruang temu antara warga, seniman, dan alam. Memasuki edisi ketiganya, festival dua tahunan ini akan digelar pada 1–10 Agustus 2025 di berbagai titik di Kota Solok, dengan tema penuh makna: “Tidak Kayu, Tangga Dikeping!”

Tema ini lahir dari pengalaman kolektif komunitas-komunitas lokal yang telah terbiasa hidup dan berkarya dengan sumber daya terbatas, namun penuh kreativitas. “Tidak Kayu, Tangga Dikeping” menjadi metafora atas daya juang, siasat, dan solidaritas yang lahir dari keterbatasan. Ia mencerminkan cara warga Solok terus menyambung harapan lewat keberdayaan lokal.

“Sejak pertama kali digelar pada 2020, Tenggara Festival telah menjadi ajang bagi warga Solok untuk menjalin relasi antara seni, kehidupan, dan kota. Di tahun pertamanya, festival ini menyulap 20 titik mural di ruang-ruang publik—mulai dari lapas, sekolah, hingga taman kota,” kata Albert Rahman Putra, Ketua Komunitas Gubuak Kopi kepada sumbarsatu, Jumat (1/8/2025)/  
.

Dua tahun kemudian, pada 2022, festival membawa semangat Do It Yourself ke ruang-ruang domestik seperti sawah, bengkel, dan dapur rumah. Kini, di 2025, skala dan jangkauan program makin luas, namun tetap berpijak pada nilai kebersamaan dan gotong royong.

60 Seniman dan 9 Titik Aktivasi

Tenggara Festival 2025 menghadirkan beragam program seni, edukasi, dan budaya, dengan melibatkan sekitar 60 seniman serta komunitas seni dari berbagai daerah. Aktivitas berlangsung di sembilan titik utama seperti Rumah Tamera (Lingkar Utara), Gallery 88 (Kampung Jawa), Satusatusembilan Space (Tanjung Paku), hingga area publik seperti RN Coffee dan SMKN 1 Solok.

Program yang ditawarkan sangat beragam: dari mural dan graffiti, pameran seni rupa, pertunjukan musik, pemutaran film, hingga simposium dan diskusi publik. Ada pula program anak-anak (Tenggara Kids), motor riding, hingga Tenggara Mart yang menjadi ruang berbagi produk kreatif warga.

Beberapa musisi yang tampil antara lain Tuan Kembara (Tikalak), Rani Jambak (Agam), Western Tiger dan Tomy Bollin (Bukittinggi), hingga Siboy Music dari Solok sendiri. Pertunjukan tradisi juga tak ketinggalan, seperti Sisinga Barantai dan Sanggar Kencak Galundi dari Kampung Jawa.

Tenggara juga menjadi ruang diskusi tentang isu penting yang membumi. Di RN Coffee, akan digelar simposium dengan tiga panel bahasan: pertanian sehat, kedaulatan pangan, serta pelestarian nilai budaya melalui praktik seni. Ada juga pameran fotografi, pemutaran film oleh Sawala Sinema, serta pameran poster dan bincang karya di Naluri Coffee.

“Festival ini bukan hanya tentang seni, tapi tentang hidup bersama di kota yang ingin terus belajar menjadi lebih baik,” ujar Albert Rahman Putra, Ketua Komunitas Gubuak Kopi, yang juga merupakan penggagas utama festival ini.

Tenggara Festival berbeda dari festival seni pada umumnya. Ia bukan sekadar pertunjukan, melainkan upaya kolektif menyulam relasi antara seni, memori, dan masa depan. Ia membuka ruang tanya—bukan hanya menjawab siapa kita, tapi juga bagaimana kita bertahan, tumbuh, dan berdaya bersama.

“Festival ini lahir dari keseharian warga dan komunitas, tumbuh dari inisiatif lokal. Ia adalah undangan untuk bersiasat, berkolaborasi, dan membayangkan masa depan yang lebih adil dan lestari,” tambah M. Badri, salah satu kurator.

Dengan pendekatan lintas disiplin dan akar rumput, Tenggara Festival 2025 sekali lagi menunjukkan bahwa kota bukan hanya ruang administratif, tapi juga ruang kultural, tempat warga menjadi subjek yang menentukan arah hidupnya sendiri.

Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media, berdiri pada tahun 2011, dan berbasis di Kota Solok, Sumatera Barat. Kelompok ini melakukan penelitian dan pengembangan pengetahuan seni dan media berbasis komunitas, dalam merespon persoalan kewilayahan.

Komunitas Gubuak Kopi memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan literasi media melalui praktik artistik, mengorganisir kolaborasi antara profesional (seniman, penulis, dan peneliti) dan warga, mengembangkan media lokal alternatif, serta membangun ruang bagi peningkatan kapasitas anak muda di Solok, yakni Rumah Tamera Hub. ssc/like



BACA JUGA