OLEH Yesi Natalia Marpaung
Pada 11 Maret 2020, World Health Organazition (WHO) resmi menyatakan Covid-19 sebagai pandemi. Pernyataan resmi itu pertanda dunia sedang mengalami kondisi darurat terkait wabah corona itu. Dampak pandemic ini cukup luas. Selain korban jiwa, juga menimbulkan kerugian material yang besar, berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan kesejahteraan masyarakat.
Di Indonesia sendiri, peperangan ini masih terus berlanjut. Jumlah masyarakat yang terpapar Covid-19, masih menunjukkan tren meningkat setiap harinya dan belum ada petunjuk pasti kapan pandemi ini akan berakhir.
Data yang dilansir situs resmi Kementarian Kesehatan, per Rabu 5 Agustus 2020, warga Indonesia yang positif terinfeksi Covid-19, sebanyak 116.871 kasus, sembuh dari Covid-19 73.889 orang, sedangkan yang meninggal 5.452 orang.
Masifnya penyebaran Covid-19 di Indonesia, menimbulkan kekhawatiran nyata yang berujung kepanikan dan stres yang berkembang di tengah masyarakat. Pandemi Covid-19 menyebabkan terjadinya perubahan perilaku dan cara pandang antarsesama manusia, yang akhirnya tanpa sadar memunculkan masalah baru.
Jika kita amatai lingkungan sekitar kita, dijumpai fenomena sosial terkait dengan Covid-19 ini yang berpotensi memperparah situasi, yaitu stigma sosial terhadap yang pernah terpapar virus corona ini. Stigma sosial pada konteks Covid-19 adalah penilaian negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang karena terinfeksi virus ini. Stigma sosial seringkali membuat penerima stigma, menerima perlakuan diskriminatif dari kelompok mayoritas sehinggamereka merasa tertolak oleh lingkungannya. Stigma ini hadir dalam bentuk pemberian label, stereotip, pemisahan, penghilangan status, dan diskriminasi terhadap orang-orang yang terhubung dengan Covid-19. Salah satu contohnya ialah banyaknya penolakan dari masyarakat saat pemakaman pasien yang meninggal karena wabah Covid-19 ini.
Di Indonesia, stigma yang berkembang dapat dilihat melalui berbagai bentuk yang bisa kita amati melalui pemberitaan di media massa ataupun secara langsung. Mulai dari mengucilkan pasien yang telah sembuh dari Covid-19 karena dianggap masih dapat menularkan penyakitnya. Menolak dan mengucilkan orang-orang yang berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Mengucilkan etnis tertentu karena dianggap sebagai pembawa virus. Mengucilkan tenaga medis yang bekerja di rumah sakit karena dianggap berpotensi besar menularkan virus corona. Menolak jenazah pasien Covid-19 karena dianggap masih membawa virus yang dapat ditularkan kepada orang lain.
Kasus yang paling ekstrem terjadi penolakan pemakaman jenazah korban Covid-19 oleh sejumlah warga. Tidak hanya menolak, warga bahkan melakukan aksi pelemparan batu kepada para petugas medis yang bertugas membawa jenazah korban Covid-19 dengan ambulan. Peristiwa ini menimbulkan banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat. Masyarakat yang pro, menilai stigmatisasi dan perilaku diskriminasi tersebut adalah hal yang manusiawi, sebagai bentuk proteksi warga atas pemukimannya.
Namun di sisi lain, kita perlu mempertanyakan kembali. Apakah proteksi tersebut harus ditempuh dengan melakukan stigmatisasi dan perilaku diskriminasi/memarginalkan, yang akhirnya berujung pada kekerasan dan kerusakan mental penerima stigma? Bukankah seharusnya, wabah Covid-19 ini mengetuk kesedaran dan membuka mata kita untuk bersatu di medan perang, alih-alih justru memecah-belah bangsa dan mengikis rasa kemanusiaan?
Dapat dipahami, pandemi Covid-19 menimbulkan perasaan bingung, gelisah, dan ketakutan yang mendalam di tengah masyarakat. Tetapi bukan berarti, kita boleh berprasangka buruk dan melakukan stigmatisasi atau aksi diskriminasipada pasien Covid-19, perawat, keluarga, ataupun mereka yang tidak sakit tetapi memiliki gejala yang mirip degan Covid-19. Bagaimanapun, rasa kemanusian antarsesama manusia tetap harus dijunjung tinggi.
Jika stigma sosial terus terpelihara dan berkembang di masyarakat, maka laju penyebaran Covid-19 akan terus bertambah dan semakin sulit untuk dihentikan. Hal yang sama ditekankan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kesehatan, yang mengungkapkan bahwa stigma sosial yang diberikan oleh individu atau kelompok terhadap pasien Covid-19 dan tenaga kesehatan, berkontribusi terhadap tingginya angka kematian akibat virus corona.
Lantas, mengapa stigma sosial menyebabkan laju penyebaran Covid-19 bertambah? Dan mengapa stigma sosial berkontribusi terhadap tingginya angka kematian akibat Covid-19?
Akibat Stigma Sosial
Stigma sosial dapat merusak kohesi sosial dengan sikap yang memunculkan perilaku diskriminasi atau secara tidak adil memarginalkan kelompok atau individu tertentu. Hal ini, akan berdampak pada keefektifan respon Covid-19. Virus Corona memiliki peluang yang lebih besar untuk menyebardan bisa mengakibatkan masalah kesehatan yang lebih parah, serta kesulitan mengendalikan wabah penyakit.
Sebuah penelitian WHO menyatakan bahwastigmatisasi pada pasien Covid-19, menimbulkan berbagai dampak negatif pada pasien. Stigma sosial dapat membuat orang menyembunyikan status kesehatannya dan membuat orang menolak memeriksa kesehatan dirinya. Selain itu, stigma sosial juga akan membuat orang takut bahkan kabur saat akan diperiksa, diobati, atau dikarantina. Jikakedua hal itu sempat terjadi,maka akan memperbesar resiko penularan di masyarakat. Stigmatisasi juga akan berdampak pada imunitas pasien Covid-19 sehingga berujung mempengaruhi proses penyembuhan pasien Covid-19.
Tidak terhenti sampai di situ, dampak dari stigma sosial bisa jadi berupa isolasi sosial, kehilangan akses hak hidup dan tinggal, tertekan, bahkan depresi. Dampak-dampak tersebut akan menghambat penyembuhan diri pasien.
Alih-alih mendapatkan dukungan dari masyarakat. Selain berjuang untuk sembuh dari penyakitnya, pasien Covid-19 juga harus berperang melawan stigma negatif dari masyarakat. Begitupun tenaga medis. Alih-alih mendapatkan apresiasi, justru mendapatkan perilaku diskriminasi dengan dikucilkan dari lingkungan atau pengusiran dari tempat mereka tinggal. Padahal, tenaga medis mempertaruhkan nyawa mereka untuk berada di garda terdepan, demi merawat pasien Covid-19.
Munculnya Stigma
Merebaknya perkembangan stigma sosial di tengah masyarakat, dipicu oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang fenomena pandemi yang sedang terjadi. Informasi yang bias, tidak satu arah, tidak jelas, dan tidak otoratif menyebabkan masyarakat memperoleh informasi dari berbagai sumber. Lebih negatif lagi, jika masing-masing sumber itu menyampaikan informasi yang tidak saling mendukung atau diperoleh melalui penggalian informasi yang dangkal, dengan sumber yang tidak terverifikasi.
Ketidakjelasan informasi itulah yang akhirnya menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Kepanikan muncul dari rasa takut. Takut karena Covid-19 adalah penyakit yang baru, misterius, menular, dan masih banyak hal yang belum diketahui tentang Covid-19 ini. Dengan alasan itu, maka munculah rasa khawatir, cemas, dan panik yang menggerogoti masyarakat. kepanikan itu cenderung membuat kita mudah sekali mengaitkan rasa takut dengan keadaan oranglain. Akibatnya, munculah persepsi bahkan mitos-mitos tertentu yang menciptakan perilaku stigmatisasi. Membuat orang-orang akhirnya menstigma siapapun yang terpapar ataupun berhubungan dengan Covid-19.
Perilaku panik ini juga semakin menjadi-jadi, diakibat oleh penggunaan terminologi yang kurang tepat, seperti bahasa yang mengandung unsur memarginalkan, mengkriminalisasi, atau tidak manusiawi. Hal itu semakin memicu, terciptanya kesan negatif tehadap pasien Covid-19. Dampaknya bukan hanya kepada pasien, tetapi juga berkemungkinan menciptakan persepsi yang salah bagi penerima informasi. Dari situlah, kepanikan masyarakat semakin merebak dan terciptalah stigmanisasi Covid-19.
Cegah Stigma
Langkah utama yang bisa dilakukan untuk meminimalisir stigma Covid-19 yang terlanjur berkembang di tengah masyarakat, dengan memperkaya pengetahuan mengenai pandemi Covid-19. Tetapi, pengetahuan saja tidak cukup. Pengetahuan itu harus bisa mengaktifkan rasa empati di dalam diri kita. Bagaimana dengan pengetahuan itu, kita mampu mengasa dan membangkitkan rasa empati antarsesama manusia. Kemudian, dengan rasa empati itu, kita berinisiatif atau tergerak melakukan gerakan solidaritas atau gerakan lingkungan positif untuk membasmi stigma sosial yang berkembang di masyarakat. Solusi seperti itulah yang seharusnya kita pikirkan dan lakukan di situasi krisis saat ini.
Elisabeth Segal, penulis buku social empathy: The art of Understanding Others, mendefenisikan empati sosial sebagai kemampuan untuk memahami orang lain, dengan merasakan situasi kehidupan mereka. Dengan ikut merasakan dan memahami situasi seseorang, kita akan mendapatkan wawasan mengenai ketidaksetaraan dan kesenjangan struktural.
Ketika kita memiliki pemahaman mendalam mengenai pengalaman hidup individu atau kelompok yang berbeda dengan kondisi kita sendiri, berarti kita belajar tentang latar belakang mereka, seperti apa hambatan yang mereka lalui, bagaimana mereka melaluinya, dan bagaimana dukungan terhadap persoalan mereka. Kita akan diajak masuk dan merasakan seperti apa rasanya berada dalam posisi terpinggirkan. Itulah sebabnya, mengapa pengetahuan menjadi faktor penting untuk dapat mengubah stigma sosial menjadi empati sosial.
WHO menyampaika, untuk mengatasi stigma terkait Covid-19, masyarakat harus memahami penyakit ini. Menerapkan langkah-langkah yang praktis dan efektif untuk mengendalikannya dan menunjukkan rasa empati kepada mereka yang terkena dampaknya. Bagaimana cara kita menyampaikan segala sesuatu terkait Covid-19 menjadi sangat penting. Kita mendukung orang untuk mengambil tindakan yang efektif demi melawan penyakit ini, ketika kita mampu menciptakan suatu lingkungan yang membuat orang bisa leluasa mendiskusikan dan membahas penyakit ini, serta dampaknya secara terbuka, jujur, dan efektif. Hal tersebut nantinya, akan mengurangi rasa takut dan stigma sosial yang disebabkan oleh penyakit Covid-19.
Berikut ini, WHO merangkum beberapa tindakan yang disarankan untuk mengurangi stigma sosial, antara lain:
- Memfilter kata-kata atau istilah yang boleh dan tidak boleh dikatakan mengenai Covid-19
Terminologi memperparah stigma sosial. Penggunaan kata-kata atau istilah yang kurang tepat, dapat mempromosikan stereotip negatif, memperkuat asosiasi, menciptakan ketakutan, atau tidak memanusiakan mereka yang menderita penyakit tersebut. Pakailah istilah yang tepat, yaitu penyakit Covid-19. Bukan virus Wuhan, virus Cina, atau Flu Asia. Tidak menyebut orang yang terjangkit Covid-19 sebagai korban atau penderita, tetapi sebagai pasien. Kita harus berhati-hati dalam memilih kata. Cara kita berkomunikasi akan sangat mempengaruhi persepsi dan sikap orang lain.
- Saling berkontribusi dan bekerja sama
Pemerintah, warga negara, sinergitas media, influencer, dan komunitas memiliki peran penting dalam mencegah dan menghentikan stigma sosial di sekitar lingkungan kita. Khususnya, stop untuk melabeli kelompok, etnis, atau daerah tertentu sebagai ‘’penyebab’’ atau ‘’penyebar’’ Covid-19. Kita semua harus berhati-hati dan bijaksana ketika berkomunikasi di media sosial dan platform komunikasi lainnya.
Para influencer, pemimpin agama, penjabat publik, selebriti, dan tokoh masyarakat dapat menciptakan suatu pesan yang dapat mengurangi stigma, mendorong khalayak untuk merenung dan berempati pada orang-orang yang terstigma, dan mengumpulkan gagasan atau ide untuk mendukung mereka. Contohnya adalah influencer mengundang salah satu orang yang terkena dampak stigmatisasi untuk bercerita di poadcast-nya, yang akan disebarluaskan di media sosial.
Rumah sakit, lembaga penelitian, universitas, dan institusi lainnya dapat meluruskan hoaks dengan fakta-fakta. Salah satu penyebab stigma sosial terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang Covid-19. Oleh sebab itu, penyebaran informasi yang akurat sangatlah penting di tengah-tengah masyarakat.
Para jurnalis, menerapkan jurnalisme beretika dalam setiap laporan jurnalistiknya. Menggiatkan konten seputar kesembuhan pasien, praktik pencegahan infeksi dasar, gejala Covid-19, kapan harus mencari perawatan kesehatan, atau berbagi narasi simpatik serta kisah yang memanusiakan pengalaman dan perjuangan seseorang atau kelompok yang terkena dampak Covid-19. Pelaporan jurnalistik yang terfokus pada tanggung jawab pasien, karena mengidap dan ‘’menyebarkan’’ Covid-19 hanya akan memperburuk stigma sosial Covid-19.
Hal yang perlu kita ketahui bahwa mereka yang terkonfirmasi virus Covid-19 bukanlah monster. Tidak ada satu pun orang yang ingin terkena, atau tertular Virus Corona. Mereka membutuhkan dukungan kita, saudara satu tanah air. Fokuslah ke solusi daripada melakukan stigmatisasi.
Stigma sosial tidak akan memberikan solusi, tetapi semakin memperparah situasi. Jangan biarkan pandemi menumpulkan rasa kemanusiaan kita. Tumbuhkanlah rasa empati, saling bekerja sama memerangi Covid-19, dan taati protokol kesehatan. Agar tidak semakin bertambah saudara kita yang tertular Covid-19 dan Indonesia bisa lekas pulih.*
Sumber Bacaan
WHO. (2020). Risk Communications to Address Stigma. https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200224-sitrep-35-covid-19.pdf?sfvrsn=1ac4218d_2
https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/covid19-stigma-guide.pdf?sfvrsn=226180f4_2
https://kawalcovid19.id/content/698/mencegah-dan-menangani-stigma-sosial-seputar-covid-19
Centers for Diseases Control and Prevention. (2020). Reducing Stigma.
https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/daily-life-coping/reducing-stigma.html
Tentang Penulis
Yesi Natalia Marpaung, mahasiswi Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Andalas Padang. Fokus menekuni bidang jurnalistik karena jurnalistik pilihan terbaik. Yesi merupakan salah seorang peserta “Pelatihan Penulisan Feature tentang Pandemik Covid-19 bagi Remaja dan Jurnalis Muda” yang dilaksanakan pada Minggu, 19 Juli 2020 di Padang. Pelatihan Penulisan Feature tentang Pandemik Covid-19 bagi Remaja dan Jurnalis Muda ini dilaksanakan media daring www.sumbarsatu.com dengan dukungan dana Jurnalism Emergency Relief Fund (JERF) Google News Initiative.