-
OLEH Wiztian Yutri
Tokoh pers Goenawan Mohamad setelah lama “menghilang” tiba-tiba bicara tentang pers, tentang media. GM, begitu ia acap disapa, berbicara di hadapan pemimpin koran kelompok Jawa Pos. Pendiri Majalah Berita Mingguan Tempo itu berharap pers dapat memberikan harapan kepada rakyat. Pers jangan sampai terjebak dari sudut keterpurukan dan sisi gelapnya saja.
Agaknya pernyataan GM itu menarik untuk kita cermati: setidaknya, pers dikaitkan dengan kondisi kekinian. Bahwa, pada berbagai kalangan, masih saja ada pendapat yang melihat pers mementingkan dirinya sendiri sehingga dalam pembentukan opini atau dalam pemberitaan, seolah mengabaikan kepentingan-kepentingan yang lebih mendasar. Pers dilihat seperti jalan seenaknya.
Sebetulnya, bila kita cermati lebih jauh, hari ini, pers berupaya berada pada posisi netral. Memainkan informasi lewat pemberitaan yang kritis dan dinamis. Kalau toh ada yang “nyerempet” kiri kanan, namun tetap dalam konteks proporsional. Mengingat pada dasarnya pers harus melihat persoalan bangsa dan negara secara komprehensif.
Dalam perjalanan sejarah, setelah yudikatif, eksekutif, dan legislatif, pers menjadi kekuatan keempat. Artinya, keberadaan pers atau media sangat penting mengawal ketiga komponen sebelumnya. Mengapa? Agar tidak sampai terjadi kompromistis, pembiaran maupun praktik KKN.
Berangkat dari pernyataan GM di atas, bahwa media memang selayaknya hadir sebagai pembawa harapan rakyat. Dengan media, rakyat jadi cerdas, tercerahkan serta mempunyai harapan untuk hidup. Artinya, informasi yang dikemas media, tentu, tidak sekadar lepas makan, atau bersifat informatif. Mesti ada komitmen yang lebih jauh memberitakan apa yang terjadi dan apa kelemahan yang juga dihadapkan dengan sejumlah argumentasi. Pers harus tetap kritis namun tentu bukan kritis yang “membunuh” dan “melihat” masalah secara sepihak. Keseimbangan tetap harus menjadi pilar utama dalam pemberitaan, sehingga rakyat tetap diposisikan sebagai komunitas yang dapat menyimpulkan dengan cermat serta memiliki solusi.
Misalnya, dalam melihat persoalan kemiskinan yang tejadi di tengah-tengah masyarakat. Kadang, pemberitaan media cenderung melihat sisi gelapnya saja. Seolah-olah masyarakat pasrah dan tidak punya daya untuk bangkit. Mestinya, kondisi demikian ditangkap media secara utuh. Apa latar belakang terjadinya kemiskinan, dan bagaimana mencari solusi sehingga mereka yang “bergelimang” kemiskinan bisa hidup sehat dan sejahtera. Saatnya kini, pers atau media, membuka dialog yang lebih intens dengan masyarakat. Dengan demikian, tentu saja informasi yang dikemas, membuka ruang masyarakat untuk berpikir ke depan, dalam kerangka lebih luas.
Pemberitaan dalam mekanisme dialog, secara tidak langsung akan membuat kegairahan tersendiri bagi masyarakat. Karena telah terjadi keterbukaan informasi dan akses. Saatnya media menjadi harapan rakyat, bahwa sebagai sebuah kekuatan demokrasi, media patut menjadi inspirasi bagi rakyat. Mengingat referensi yang ditawarkan media akan bergerak masuk ke relung-relung hati masyarakat, seterusnya menghujam menjadi spirit dalam membangkitkan semangat kemanusiaan. Akhirnya, media sebagai harapan rakyat, sepenuhnya kembali kepada niat baik pengelola media sendiri, sekaligus seberapa jauh tanggung jawab moralnya terhadap masa depan republik! (*)