-
JANGAN bawa linggis ke kantor-kantor dan ke sumber-sumber berita tapi datanglah dengan pemikiran sehingga komunikasi berjalan dengan lancar dan dialog bisa cair.
Kalimat di atas menyiratkan bahwa menjadi pekerja pers hari ini haruslah semakin cerdas. Dalam “menggarap” narasumber perlu dengan cara-cara yang santun, elegan, serta bijak.
Bawa linggis? Sebetulnya hanya istilah saja. Benda yang akrab digunakan pekerja bangunan tersebut secara fisik tak ada kaitan dengan pekerja pers. Linggis adalah sebuah alat dari besi yang dipakai untuk membongkar paku atau untuk mengupak papan yang berdempet. Terus mengapa tiba-tiba linggis “dikait-kaitkan” dengan dunia pers?
Ceritanya begini. Belakangan dunia pers semakin akrab dengan berbagai kalangan. Banyak yang tertarik jadi wartawan. Mereka pun naik di jalan.
Walaupun sebelumnya punya profesi lain. Sekilas, seolah membayangkan bekerja jadi wartawan itu enak. Punya akses ke mana-mana, bisa pergi ke mana-mana. Bagi oknum pelanggar aturan, mereka ngeri ketemu wartawan. Takut diusik, terbongkar kasusnya?
Di sinilah persoalan itu berawal. Bagi pejabat atau oknum yang melanggar aturan, mereka selain berhadapan dengan pekerja pers yang datang dengan santun untuk konfirmasi, ada juga yang bawa linggis. Yang santun tadi, sadar profesinya dikawal Undang Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik tapi, ‘pekerja pers’ bawa linggis tadi tidak begitu. Dia main gebrak, tak peduli dengan siapa. Bagi mereka, berita harus dimuat, soal konfirmasi, tak penting. Dari sumber sembarangan saja pun mereka kutip. Kalau perlu ditambah dengan sumber-sumber lain di kedai kopi. Kita bisa bayangkan, bagaimana judul dan isi beritanya.
Saya ingin menegaskan inilah beda wartawan yang datang dengan niat mencerdaskan masyarakat lewat informasi dan ‘pekerja pers’ yang sekadar memburu berita dengan linggis. Meskipun wartawan adalah profesi terbuka—siapapun belakangan bisa mengaku wartawan—namun dalam mengemas informasi, seorang pekerja pers memerlukan penghayatan secara totalitas. Lewat penghayatan akan terasa, berita yang dibuat itu untuk siapa? Untuk pemerintah sebagai kritik atau masukan untuk mencerdaskan publik atau sekadar alat provokasi?
Sebetulnya, dalam konteks ideal, wartawan atau pekerja pers dimanapun di dunia, adalah profesi terhormat. Datang ke narasumber membawa kehormatan, lantas dia dihormati karena cara-caranya yang santun dan karya-karya jurnalistiknya pun mendapat kehormatan. Wartawan bawa linggis? Itu sudah kuno. Wartawan harus datang dengan pemikiran-pemikiran yang segar, mencerahkan dan dia menjadi partner pemikiran yang sehat bagi narasumber. Ini kehormatan! ***
REDAKSI—Media daring sumbarsatu secara berkala setiap hari Sabtu di kanal "Harmoni Wiztian Yutri". Tulisan Ciweq—demikian ia akrab disapa—merupakan wartawan senior di Indonesia, pernah membesarkan Harian Padang Ekspres sebagai pemimpin redaksi. Kini, mantan Komisaris Semen Padang ini, menuju ladang pengabdian ke DPDR Sumbar sebagai calon anggota legislatif dari PAN untuk daerah pemilihan Pariaman dan Padang Pariaman dalam pileg 2019 yang akan datang. Tulisan-tulisan Ciweq, lebih bersifat reflektif, sarat renungan, introspektif, dan inspiratif, bisa menjadi teman bacaan Anda setiap akhir pekan. Selamat membaca.