
Diskusi AFE menghadirkan sutradara Riri Riza, Arief Malinmudo (sutradara film Surau dan Silek) dan S Metron Masdison (penulis skenario film) di Convention Hall Unand, Minggu (3/12/2017).
Padang, sumbarsatu.com—Pada pengujung perhelatan akbar festival film Andalas Film Exhibition (AFE), diselenggarakan diskusi khusus dengan tajuk “Film Regional dalam Membangun Nasional” bersama sutradara kawakan Riri Riza, Arief Malinmudo (sutradara film Surau dan Silek) dan S Metron Masdison (penulis skenario film) di Convention Hall Unand, Minggu (3/12/2017). Diskusi yang dipandu Donny Eros memunculkan banyak pemikiran segar dan layak untuk diterapkan membangun ekosistem film, khususnya di Sumatera Barat.
Menurut Riri Riza, dalam produksi film regional yang sedang kita kembangkan melalui medium film adalah isu budaya lokal dan karakteristik lokalitas. Sekarang ini di Indonesia, potensi yang dimiliki oleh film-film dari wilayah regional serta etnik-etniknya mampu membangun film nasional. Hal tersebut dibangun dengan keberagaman suku yang dimiliki Indonesia.
“Spirit ini luar biasa. Di Sumbar belakangan sudah ada film Surau dan Silek yang mengisi perfilman nasional. Ini membuktikan bahwa film regional mampu diterima dalam taraf nasional. Jika sudah banyak film-film regional maupun nasional menjadi bagian percakapan dalam kalangan masyarakat, maka film tersebut sudah dapat dinyatakan sukses,” kata Riri Riza, di depan puluhan peserta diskusi AFE, Minggu (3/12/2017).
Lebih jauh Riri Riza menyebutkan, selain tingkat profesionalisme dalam produksi film dan distribusinya pun harus meningkat secara kualitas.
“Pendidikan dan pengetahuan film mesti diberikan sebanyak-banyaknya agar film-film regional terus mengalami perkembangan isi dan visual secara signifikan,” ujar sosok bernama lengkap Mohammad Rivai Riza kelahiran Makassar pada 2 Oktober 1970 ini.
Tak jauh beda dengan Riri Riza, Arief Malinmudo mengatakan, film regional tidak harus diproduksi oleh sutradara ataupun sineas yang berasal dari wilayah tersebut.
“Bila kita mengangkat film-film dengan unsur lokal sebuah wilayah, tidak harus orang asli wilayah itu yang menggarap. Misalnya film dengan nuansa Sumbar tidak harus sutradara Sumbar yang menggarap. Yang paling penting itu ialah riset mengenai budaya wilayah tersebut,” ujar Arif Sutanmudo.
Sementara di luar dari teks konten dan distribusi film yang dibicarakan dua sutradara itu, S Metron M, penulis naskah film dan teater, memberi perhatian pada instrumen lain yakni soal kehadiran Komite Film Daerah.
Menurutnya, kehadiran Komite Film Daerah sudah menjadi keniscayaan dan kebutuhan yang penting agar film-film regional dengan konten lokalitas menjadi kuat.
“Kebutuhan Komite Film Daerah saya pikir sudah mendesak, terutama di Sumatera Barat, karena dekade terakhir geliat film di ranah Minang ini sudah marak dan masif. Selain itu, iven film dan festival sudah banyak diagendakan,” terang S Metron M, yang juga seorang kurator di pelbagai festival seni ini.
Selain diskusi, juga dilakukan pemutaran film Surau dan Silek garapan Arief Malinmudo dan film dokumenter Rel Air garapan Findo Bramata Sandi. Pemutaran film ini merupakan rangkaian penutupan dalam kegiatan AFE yang diselenggarakan mulai dari tanggal 18 November hingga 3 Desember 2017.
“AFE diproyeksikan menjadi agenda tahunan di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unand,” kata Annisa Irfayuli, Koordinator Media AFE 2017. (SSC/Rel)