
KomunitasSeni Nan Tumpah
Padang, sumbarsatu.com--Peristiwa budaya dua tahunan "Festival Seni Nan Tumpah" diawali dengan pertunjukan teater "Alam Takambang Jadi Batu" naskah-sutradara Muhatma Muhammad. Pementasan yang diusung Komunitas Seni Nan Tumpah dimulai malam ini, Sabtu (23/9/2017) di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat.
Sebelumnya, repertoar ini sudah ditampilkan dalam gelaran KABA Festival 4 di Padang dan Pekan Teater Nasional 2017 di Yogyakarta, Agustus lalu.
Sutradara Mahatma mengatakan, karya ini bermula dari puisi yang ia tulis pada tahun 2012 dengan judul yang sama.
“Dari puisi tersebut saya jadikan lakon Alam Takambang Jadi Batu dengan melakukan riset dan pembacaan terhadap beragam teks cerita rakyat Malin Kundang. Teks tersebut berupa kaba klasik, cerpen, puisi, esai, skenario film, cerita anak dan naskah drama yang ditulis oleh banyak sastrawan, baik yang sekadar terinspirasi, mengintrepetasi ulang atau bahkan yang mendekonstruksi ulang cerita rakyat tersebut,” kata Mahatma, Sabtu siang (23/9/2017).
Di samping itu, tambah Mahatma, juga dikumpulkan dan melakukan pembacaan terhadap beragam cerita rakyat dari berbagai daerah di nusantara yang memiliki kesamaan cerita dengan Malin Kundang.
Namun menurut Mahatma, pembacaan beragam teks tersebut tidak untuk sekadar latah untuk ikut-ikutan menulis ulang cerita rakyat yang populer tersebut.
“Dalam naskah lakon dan pertunjukan ini, saya menggunakan tokoh dalam cerita rakyat tersebut sebagai pintu masuk cerita yang lebih luas. Tokoh Malin Kundang dan tokoh Ibu dalam cerita rakyat tersebut saya gunakan untuk merepresentasikan laki-laki dan perempuan Minang dari masa ke masa, yang hidup dalam sistem kekerabatan Matrilineal,” tukas Mahatma.
Konsep Garapan
Garapan Alam Takambang Jadi Batu mengusung spririt eksplorasi kreatif randai, tupai janjang serta indang dalam konsepsi pengemasan pertunjukannya.
“Meskipun demikian, spirit randai, tupai janjang serta indang tersebut tidak sekedar dalam rangka merepetisi seni tradisi sebagaimana prinsip pelestarian seni tradisi dalam kerangka kerja Dinas Pariwisata atau sekedar pelestarian tradisi dalam rangka memelihara warisan masa lalu,” ujar Mahatma.
“Selain karena dekat dengan kreator sebagai identitas budaya, spirit eksplorasi kreatif randai serta indang diusung dalam rangka mencari hingga menemukan kebaruan dan inovasi-inovasi darinya, membuka berbagai ruang kemungkinan dari ketiga seni tradisi tersebut melalui lakon Alam Takambang Jadi Batu,” lanjut Mahatma.
Dalam proses latihan, aktor dan seluruh kreator pertunjukan terlebih dahulu diarahkan atau diminta kembali untuk mempelajari, mengenal lebih dekat dasar-dasar kesenian tradisi dengan studi langsung ke ruang-ruang pelestariannya. Kemudian aktor dan kreator lainnya dituntut lebih peka dalam ‘membaca’ ekspresi seni lainnya yang berkembang, baik itu seni-seni yang berbasis budaya massa maupun industri hiburan yang populer.
Hal inilah yang menjadi titik tolak pencarian pasca pembelajaran aktor dan kreator, ketika kembali masuk ruang latihan untuk eksplorasi. Aktor dan pendukung seni pertunjukan lainnya diposisikan sebagai kreator yang diberikan kebebasan ekspresi sehingga lebih leluasa untuk ‘keluar’, berpikir terbuka untuk memberikan penawaran, menghasilkan komposisi dan makna-makna baru yang tidak ada dalam tradisi aslinya, baik melalui bentuk, idiom, gaya atau prinsip-prinsip estetiknya.
Mahatma menjelaskan, dalam prosesnya, penulisan lakon Alam Takambang Jadi Batu dan penggarapan pertunjukannya merupakan kerja yang sejalan, kerja kreatif yang tidak terpisahkan. Baik naskah lakon maupun pertujukan dilihat sebagai ‘teks’ yang yang ditempatkan dalam sebuah ‘ruang tekstual’, yang di dalamnya teks tersebut berinteraksi dan berdialog secara terbuka dengan berbagai kemungkinan dan pembacaan terhadap teks-teks lain.
Dengan demikian, konsepsi pengemasan pertunjukan yang muncul dalam garapan ini, tidak hanya sekedar kreasi gerak lingkaran, tapuak galembong, rapa’i, dendang, pantun, tarian (gerak silek) atau sastra lisan kaba yang berlandaskan pada konvensi, kode, pakem yang diwariskan secara turun-temurun dalam randai dan indang saja, tapi juga kemungkinan interaksi randai, tupai janjang atau indang dengan seni pertunjukan lainnya dalam model perkawinan silang antar budaya, teks, bentuk dan idiomnya.
Aktor yang berperan dalam pertunjukan ini ada Ivan Harley, Yunisa Dwiranda, Emilia Dwi Cahya, Desi Fitriana, Tenku Raja, Novi Delviana, Rizki Asrul, dan Suci Dwi Cintya. Untuk urusan penata panggung dipercayakan kepada Karta Kusumah dan Fajry Chaniago, Pimpinan Produksi Windi Fidia dengan tim produksi Septia Reta, Lydia Apriani, Ismail Idola, Halvika Padma, Nur Aisyah, Astari Ayuni, Putri Aulia Rahmi serta Kerabat KSNT 2010-2017. (SSC)