
Malam ini "Monopolis" karya Kurniasih Zaitun dari Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang akan dipentaskan di Teater Salihara Jakarta
Jakarta, sumbarsatu.com--Hari ini, Sabtu, 25 Maret 2017, pukul 20.00, Kurniasih Zaitun, perempuan sutradara dari Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang, Sumatera Barat akan mementaskan karya teater "Monopolis" dalam program Helateater 2017 di Komunitas Teater Salihara Jakarta.
Usai geladi bersih yang dilakukan pada Jumat (24/3/2017) malam tadi, Kurniasih Zaitun, yang akrab disapa Tintun, di depan sejumlah awak media, mengatakan, pertunjukan "Monopolis" merupakan representasi-reflektif terhadap kondisi kekinian tentang perilaku kerakusan manasia. Salah satu bentuk kerakusan itu adalah penguasaan tunggal atau memonopoli semua yang menyangkut hidup orang banyak.
"Pertunjukan teater "Monopolis" menyampaikan pesan itu sesuai dengan konsep dan tema Helateater Salihara 2017 ini, dengan bahasa non verbal. Bahasa nonverbal itu direpresentasikan pada tubuh, identitas yang melekat, latar panggung, properti, musik, dan pencahayaan. Semua elemen teater, terutama teks verbal, kami terjemahkan menjadi "bahasa-bahasa" dan simbolisasi, di atas panggung menjadi bahasa nonverbal," kata Tintun yang juga pengajar di Jurusan Teater ISI Padang Panjang ini.
Festival tahunan Helateater Salihara 2017 ini, sebelumnya telah menampilkan 2 pertunjukan teater di gedung yang sama, yaitu "Burung-burung Prenjak" sutradara Djarot B Darsono dari Studio Taksu Solo, Jawa Tengah, Sabtu, 18 Maret 2017, dan pada Sabtu, 11 Maret 2017,
"Mati Berdiri" dari Sena Didi Mime Jakarta dengan sutradara Yayu A.W. Unru.
"Tiga kelompok yang tampil pada Helateater Salihara 2017 ini, telah mengikuti proses kurasi dan seleksi dari kurator di Komunitas Salihara," kata Hendro, salah seorang kurator teater di Komunitas Salihara di Jakarta.
Dijelaskan Tintun, pertunjukan "Monopolis" merepresentasikan secara reflektif-provokatif cara manusia mencapai penguasaan tunggal, terutama sektor ekonomi, dengan cara membenarkan segala cara. Ketiga pemain (semuanya laki-laki) adalah wajah-wajah dan karakter monopolis itu sendiri.
"Monopolis" dihadirkan sebagai pertunjukan dalam ruang visual yang disimbolkan melalui keterkaitan unsur-unsur dramaturgi yang dikesankan penuh disiplin panggung tapi tetap berada dalam pusaran nonverbal. Dialog dan konflik direpresentasikan pada properti, peristiwa dramatik, tubuh, grouping, simbolisasi, bebunyian, juga musik, dan percaturan dan artistiknya secara keseluruhan," terang Tintun.
Dalam proses capaian demikian itu, jelasnya, dadu yang merupakan salah satu alat main di atas papan catur, menjadi sentral peristiwa teater yang dibangun. Dadu identik dengan monopoli dan judi. Pertaruhan. Monopoli dalam skala luas, jadi problem global, dalam ukuran mikro, ia jadi bak dadu yang dilempar oleh para monopolis. Indonesia dalam kerangka ini adalah buah dadu itu.
“Monopolis” adalah multisosok. Berkarakter multiganda dan tak mungkin teridentifikasi dalam perspektif verbal," ujar Tintun, ketika ditanya wartawan alasan memilih judul itu dengan tiga pemain semuanya laki-laki itu. Menurutnya, pertunjukan teater itu, sebenarnya dikesankan tanpa jenis kelamin. "Ia bebas nilai."
"Pertunjukan "Monopolis" berhasil menjawab apa yang diinginkan dari tema dan konsep Helateater Salihara 2017 ini," kata Tony Prabowo, kurator musik dan tari Komunitas Salihara.
Tiga pemain yang sudah malang melintang di dunia seni pertunjukan ikut memperkuat "Monopolis" ialah Fabio Yuda, Erwin Mardiansyah, dan Deni Saputra, sedangkan musik digarap Indra Arifin. Sementara untuk skenografi Yusril Katil dan penata gerak Ali Sukri, serta dramaturginya Nasrul Azwar.
Kurniasih Zaitun salah seorang perempuan pegiat teater yang kini tercatat sebagai pengajar di ISI Padangpanjang. Ia ikut mendirikan Komunitas Seni Hitam Putih, pada 1992. Sebelumnya "Monopolis", Tintun menghasilkan karya teater "Sign Out" (2014) dalam program hibah Cipta Perempuan dari Yayasan Kelola. (SSC)